Pendahuluan
Indonesia pada perjalananya telah
menjalani sejarah yang panjang. Indonesia
sebagai yang besar, mulai dari pra-hindu budha Indonesia sudah
menjadi negara para pelaut. menurut teori yang menyatakan bahwa masyarakat
Indonesia berperan aktif dalam penyebaran Hindu Budha ke Nusantara masa itu.
Dilanjutkan pada masa Islam masuk ke nusantara. Yang pada masa itu berdiri
kerajaan-kerajaan Islam yang mempunyai posisi penting dalam perdagangan dan
pelayaran internasional. Seperti Banten, Malaka, Aceh, Makassar dan lain
sebagainya.
Pada masa kolonial, banyak
kebijakan-kebijakan yang tidak menguntungkan masyarakat pribumi. Bahkan
kebijakan tersebut menyangkut Agama dan keyakinan. Masyarakat Pribumi Indonesia dalam hal ini yang
mayoritas Beragama Islam sangat dirugikan dengan kebijakan-kebijakan seperti
ini. Dari itu, ketika masyarakat merasa terdesak, terjadilh
pemberontakan-pemberontaka melawan kolonial karna kebijakan-kebijakannya
tersebut yang tidak menguntungkan masyarakat pribumi tersebut. Maka dalam
tulisan ini penulis akan membaas tentang pemberontakan Masyarakat pribumi yang
dalam hal ini masyarakat pribumi Cilegon sebagai tempat kelahiran penulis
sendiri.
a. Faktor geografis sebagai suatu penyebab terjadinya pemberontakan
Secara Geografis, Banten mempunyai
luasnya sekitar 114 mil persegi. Pada tahun 1892, penduduk Banten berjumlah
568.935 jiwa, dan daerah yang paling padat penduduknya adalah distrik Cilegon.
Banten dapat dibagi menjadi dua yaitu Banten Utara dan Banten Selatan, Banten
Utara merupakan daerah yang padat penduduknya dan tanah yang subur sudah
digarap oleh penduduknya. Di Banten Utara juga penduduknya tidak hanya etnik
Sunda tetapi ada yang dari Lampung, Jawa, Bugis, dan Melayu dan lain-lain.[1]
Sedangkan pada bagian Banten Selatan merupakan daerah
pegunungan yang terdiri dari hutan belantara dan sangat jarang
penduduknya. Serta sangat jarang menjadi ajang
peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah Banten. Di selatan hanya dihuni oleh
masyarakat Badui yang dalam hidupnya masih sangat sederhana. Peralatan hidup
mereka masih diproduksi sendiri dan mereka selalu melestarikan alam.
Beberapa dasawarsa terakhir,sebelum terjadi
pemberontakan, Banten ditimpa bencana-bencana alam yang membuat rakyat Banten
frustasi yang berkepanjangan. Kejadian yang sebelumnya tidak diduga dengan
kekuatan yang dahsyat telah menghancurkan segala fasilitas yang telah ada.
Bencana alam yang terjadi berupa letusan Gunung Krakatau yang tidak diduga
kedahsyatannya. Kebanyakan diantara masyarakat
Banten hanya dapat merenungi nasib mereka akan kejadian tersebut.
Pada
tahun 1879 di bumi Banten dan sekitarnya terjadilah wabah Kolera dan menjalar
keseluruh wilayah jawa, sukar dipastikan dimana wabah dimulai dan pada masa itu
sangat sulit sekali untuk menanggulanginya, sehingga pemerintah kolonial
memobilisasi berbagai karakter orang yang mampu bekerja dengan imbalan tertentu
untuk menjadi relawan, akhirnya kebijakan tersebut mengganggu kewibawaan
pemerintah Kolonial pada masyarakat karena diantaranya terdapat pemabuk dan
pemadat yang kebiasaannya berfoya foya dan mabuk-mabukan sehingga melalaikan
tugas yang harusnya dikerjakan, karena tidak menguasai pekerjaan yang harusnya
dilakukan sehingga perlakuan Petugas pada ternak (kerbau) yang terjangkit wabah
panyakit dilakukan pembinasaan dengan ditembak, sementara ganti rugi tidak
sesuai harapan pemilik ternak, memerkosa anak perempuan pemilik ternak,
sementara pihak penguasa kolonial tidak memperdulikan sama sekali sikap
perlakuan seperti itu, pada masa itu rakyat Banten sangat menderita dengan
perlakuan penanganan masalah tersebut oleh Pemerintah Kolonial.
Sebagai
akibat pembantaian Kerbau secara Massal dan kuburan masal kerbau dimana-mana,
di seluruh Banten terjangkit Wabah penyakit panas, pada Agustus 1880 tercatat
kurang lebih 210.000 orang menderita panas 40.000 diantaranya meninggal dunia,
diduga akibat penularan dari sumber air yang digunakan masyarakat pada masa itu
yang tercemari kuman – kuman dari kuburan masal kerbau, karena rakyat Banten
ketika terjangkit wabah penyakit pada kerbau menguburkannya tergesa-gesa tidak
melakukan desinfektan terhadap kuburan kerbau, sehingga kuman dan Bakterinya
menyebar menimbulkan berjangkitnya penyakit pada manusia, karena di daerah lain
tidak terjadi wabah penyakit seperti yang terjadi pada rakyat Banten. Sementara
pada Petugas yang disiapkan pemerintah Kolonial terjadi penyalahgunaan, obat
yang seharusnya dibagikan cuma-cuma ditukar dengan ayam pada penduduk atau
minuman keras (Wiski) pada pedagang Cina.
Sehingga penanggulangan wabah tidak sesuai harapan
mengakibatkan banyak jatuh korban dikalangan petani sehingga produksi bahan
pokok menjadi berkurang, lahan pertanian tidak tergarap akibat langkanya kerbau
untuk membajak serta tenaga kerjanya, sehingga menimbulkan kekurangan bahan
makanan berakibat terjadinya kelaparan. Kebijakan pemerintah kolonial Belanda
pada saat itu sudah mulai memperhatikan masyarakat Banten.
Pada Agustus 1883, meletuslah Gunung Krakatau bencana
alam yang sangat dasyat meluluh lantakkan wilayah Banten. menyebabkan penderitaan yang semakin bertambah. ketika sebelumnya daerah Banten mengalami wabah
penyakit ternak tahun 1879 yang menyebabkan jumlah ternak menurun. Kemudian
wabah demam yang menyebabkan lebih dari sepuluh persen penduduk meninggal
dunia. Dan meletusnya Gunung Krakatau yang merupakan letusan yang paling hebat
yang pernah tercatat dalam sejarah vulkanologi di Indonesia. Lebih dari
20.000 orang tewas, serta banyak desa yang makmur dan sawah-sawah yang subur
berubah menjadi gersang. Dengan kejadian tersebut, maka kesengsaraan melanda
sebagian besar wilayah Banten.
Gelombang Tsunami yang amat dahsyat melanda pantai
Barat Banten, pantai Carita, anyer. banyak manusia yang tewas tenggelam
tertelan gelombang Tsunami Gunung Krakatau, Jalan antara Anyer sampai Carita
yang pemandangannya cukup Indah tergenang lumpur dan bangkai manusia serta
hewan berserakan dimana-mana, abu vulkanik, timbunan pohon serta persawahan
yang larut dan tergenang lumpur dan abu vulkanik, pada saat itu orang Banten
teringat akan Ramalan datangnya Kiamat yang sering diingatkan para Ulama supaya
tersadar dari kehidupan yang telah terjadi yaitu hidup dibawah kekuasaan bangsa
Kafir kolonialis Belanda.
b. Keresahan Sosial-keagamaan
Keresahan
yang terjadi sebelum terjadi pemberontakan tersebut adalah berkaitan dengan
perampokan, penyamunan, pembegalan dan lain sebagainya yang diaggap melanggar
hukum. Dalam hal ini yang menjadi perampok, penyamun dan lain sebagainya
dilakukan oleh kaum pemilik tanah atu aristokrat yang kehilangan harta bendanya,
sehingga mereka menempuh jalan tersebut untuk mempertahankan hak-hak mereka.
Sering juga antara pemberontakan dan perampokan merupakan protes rakyat
terhadap penindasan pamongpraja yang bertindak sewenang-wenang. Selain
itu juga adanya situasi politik yang memburuk di Banten, sehingga sering
terjadi tindakan anarki, dan juga sistem administrasi yang kacau balau
membuatnya semakin terpuruk.
Di lain pihak, tekanan hidup yang makin terdesak
membuat warga banyak lari ke klenik (tahayul). Tersebutlah di desa Lebak
Kelapa, terdapat pohon kepuh besar yang dianggap keramat, dapat memusnahkan
bencana dan meluluskan yang diminta asal memberikan sesajen bagi jin, penunggu
pohon. Berkali-kali Ki Wasyid mengingatkan penduduk bahwa meminta selain
kepada Allah termasuk syirik. Namun
fatwa Ki Wasyid tidak diindahkan. Melihat keadaan ini, Ki Wasyid dengan
beberapa murid menebang pohon berhala pada malam hari. Inilah yang membawa Ki
Wasyid ke depan pengadilan kolonial pada 18 November1887. Ia dipersalahkan melanggar hak
orang lain sehingga dikenakan denda 7,50 gulden.[2]
Hukuman yang dijatuhkan kepada Ki Wasyid menyinggung
rasa keagamaan dan rasa harga diri muridnya. Satu hal lagi yang ikut menyulut
api perlawanan adalah dirobohkanmenara musala di
Jombang Tengah atas perintah Asisten Residen Goebels. Goebels menganggap menara
yang dipakai untuk mengalunkan azan setiap waktu salat, mengganggu ketenangan ksrena
suaranya yang keras apalagi waktu azan salat subuh. Asisten Residen menginstruksikan
kepada Patih agar dibuat surat edaran yang melarang salawat, tarhim
dan azan dengan
suara keras.[3]
Sejak terjadinya peristiwa bencana dan malapetaka yang
bertubi-tubi menimpa masyarakat Banten akhirnya menjadikan kehidupan beragama
menjadi meningkat dan mengarah kepada perjuangan membebaskan diri dari belenggu
penjajahan, masyarakat Banten pada masa itu percaya jika penguasa Kafir dapat
diusir maka masyarakat kehidupannya akan sejahtera dan kegiatan perlawananpun mulai
dilakukan walaupun terselubung dengan kemasan kehidupan beragama, sementara
pemerintah Kolonial Belanda melaksanakan kebijakan sistem perpajakan baru dan
sistem kerjapaksa, rodi yang banyak menyengsarakan rakyat, sehingga mulailah
timbul gerakan – gerakan yang mengarah terjadinya pemberontakan terhadap
kolonial Belanda.
c. Berlangsungnya geger Cilegon
Peristiwa geger cilegon diawali
sejak hari Sabtu, tanggal 7 Juli 1888, diadakanlah pertemuan para kiyai untuk
persiapan terakhir/pematangan gerakan di rumah Haji Akhia di Jombang Wetan.
Hadir dalam pertemuan itu antara lain: Haji Sa’id dari Jaha, Haji Sapiuddin
dari Leuwibeureum, Haji Madani dari Ciora, Haji Halim dari Cibeber, Haji Mahmud
dari Tarate Udik, Haji Iskak dari Seneja, Haji Muhammad Arsad (penghulu kepala
di Serang) dan Haji Tubagus Kusen (penghulu di Cilegon). Untuk menutupi
kecurigaan Belanda atas pertemuan itu diadakan suatu kenduri besar. Sekitar jam
23.00, datang Nyi Kamsidah, istri Haji Iskak, memberitahukan bahwa Haji Wasid
dan Haji Tubagus Ismail ingin bertemu dengan para kiyai yang hadir.
Maka setelah lewat tengah malam para
kiyai segera berangkat ke Saneja untuk mengadakan pertemuan kedua di rumahnya
Haji Ishak. Dalam pertemuan ini hadir pula Haji Abubakar, Haji Muhiddin, Haji
Asnawi, Haji Sarman dari Bengkung, dan Haji Akhmad, penghulu Tanara. Haji Ashik
dari Bendung, dan kiyai-kiyai dari Trumbu, tidak hadir dalam pertemuan ini
karena sudah dipastikan bahwa mereka akan memulai pemberontakan pada hari Senin
tanggal 29 Syawal atau 9 Juli 1888.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali,
Haji Wasid dan Haji Ismail pergi ke Wanasaba untuk mengadakan pembicaraan
dengan murid-muridnya, di antaranya Haji Sadeli dari Kaloran. Dari sana,
keduanya pergi ke Gulacir, ke rumah Haji Ismail; selesai shalat magrib dengan
dikawal sejumlah muridnya Haji Wasid berangkat ke Cibeber untuk kembali
mengadakan pertemuan dengan murid-muridnya yang lain.
Pertemuan itu dilangsungkan di dalam
masjid ─ di luar masjid sudah berkumpul pengikut-pengikut mereka, terutama dari
Arjawinangun dan Gulacir ─ yang juga dihadiri oleh Haji Burak, saudara Haji
Tubagus Ismail, Haji Abdulgani dari Beji, Kiyai Haji Abdulhalim dari Cibeber
dan Nuh dari Tubuy; untuk membicarakan langkah terakhir pemberontakan.[4]
Pada hari itu juga dikirim utusan-utusan
ke berbagai jurusan; Haji Erab diutus ke Haji Mohamad Asyik, Bendung, Haji
Mahmud dan Haji Alfian diutus menemui Haji Abdulrazak, Tanara, Nasaman dan
Sendanglor ke Cipeundeuy menemui Kiyai Haji Sahib, Haji Abdulhalim dan Haji
Abdulgani ke Tunggak menemui Haji Usman, Haji Kasiman di Citangkil dan Haji
Mahmud di Terate Udik. Ketiga yang terakhir ini diperintahkan untuk mengerahkan
pejuang-pejuang dari Anyer untuk segera bergerak supaya pagi-pagi sekali sudah
berada siap di Cilegon.
Sementara itu, setelah pertemuan di
rumah Haji Ishak, beberapa kiyai kembali lagi ke pesta di rumah Haji Akhiya,
yang pada keesokan harinya, Minggu, 8 Juli 1888, diadakan arak-arakan sambil
meneriakkan takbir dan kasidahan yang dimulai dari rumah Haji Akhiya di Jombang
Wetan dan berakhir di rumah Haji Tubagus Kusen, penghulu Cilegon.
Para kiyai dan murid-murid mereka
memakai pakaian putih-putih dengan ikat kepala dari kain putih pula sambil
membawa pedang dan tombak. Pada malam harinya barisan bertambah panjang
bergerak dari Cibeber ke arah Saneja dipimpin langsung oleh Haji Wasid dan Haji
Tubagus Ismail ─ yang kemudian dijadikan sebagai pusat penyerangan. Malam itu
juga, dari Saneja, Haji Tubagus Ismail memimpin pengikut-pengikutnya dari
Arjawinangun, Gulacir dan Cibeber bergerak menuju Cilegon untuk menyerang para
pejabat pemerintah kolonial.
Pada hari Senin malam tanggal 9 Juli 1888,
diadakanlah serangan umum ke Cilegon. Haji Tubagus Ismail dan Haji Usman dari
Arjawinangun dan pengikutnya menyerang dari arah selatan, sedangkan pasukan
yang dipimpin oleh Kiyai Haji Wasid, Kiyai Haji Usman dari Tunggak, Haji Abdul
Gani dan Beji dan Haji Nuriman dari Kaligandu menyerang dari arah utara.[5]
Dengan memekikkan kalimat takbir
mereka menyerbu beberapa tempat di Cilegon. Pasukan dibagi dalam beberapa
kelompok: kelompok pertama dipimpin oleh Lurah Jasim, Jaro Kajuruan, menyerbu
penjara untuk membebaskan para tahanan; kelompok kedua dipimpin oleh Haji
Abdulgani dari Beji dan Haji Usman dari Arjawinangun menyerbu kepatihan, dan
kelompok ketiga dipimpin oleh Kiyai Haji Tubagus Ismail dan Haji Usman dari
Tunggak menyerang rumah Asisten Residen. Sedangkan Haji Wasid dengan beberapa
pengawalnya tetap di Jombang Wetan memonitor segala kegiatan penyerbuan.[6]
Dalam keadaan yang kacau itu, Henri
Francois Dumas, juru tulis di kantor Asisten Residen, dapat dibunuh oleh Haji
Tubagus Ismail, demikian juga Raden Purwadiningrat, ajun kolektor, Johan
Hendrik Hubert Gubbels, asisten residen Anyer, Mas Kramadireja, sipir penjara
Cilegon, dan Ulric Bachet, kepala penjualan garam ─ semuanya adalah orang-orang
yang tidak disenangi rakyat. Sedangkan Patih Raden Pennah, seorang pegawai
negeri yang kebelanda-belandaan lolos dari kematian, karena dia sedang di
Serang waktu itu.
Seperti yang sudah direncanakan
semula, berbarengan dengan kejadian di Cilegon ini, di beberapa tempat juga
meletus pemberontakan, seperti di Bojonegara, Balegendong, Krapyak, Grogol,
Mancak dan Toyomerto. Di daerah Serang, pemberontakan dipimpin oleh Haji
Muhammad Asyik, seorang ulama dari Bendung, Haji Muhammad Hanafiah dari Trumbu
dan Haji Muhidin dari Cipeucang. Pusat-pusat kegiatan mereka ialah Bendung,
Trumbu, Kubang, Kaloran dan Keganteran.
Sehari semalam kekacauan tidak dapat
diatasi, Cilegon dapat dikuasai sepenuhnya oleh pasukan “pemberontak”. Tetapi
seorang babu (pembantu rumah tangga) Gubbel dapat melarikan diri ke Serang
membawa kabar kejadian di Cilegon itu. Maka Bupati bersama Kontrolir dengan 40
orang serdadu yang dipimpin oleh Letnan I Bartlemy berangkat ke Cilegon.
Terjadilah pertempuran hebat antara
para pemberontak dengan tentara kolonial yang memang sudah terlatih baik,
sehingga akhirnya kerusuhan dapat dipadamkan. Haji Wasid sebagai pemimpin
pemberontakan dihukum gantung, sedangkan yang lainnya dihukum buang; Haji
Abdurahman dan Haji Akib dibuang ke Banda, Haji Haris dibuang ke Bukit Tinggi,
Haji Arsyad Thawil dibuang ke Gorontalo, Haji Arsyad Qashir dibuang ke Buton,
Haji Ismail dibuang ke Flores, dan banyak lagi lainnya dibuang ke Tondano,
Ternate, Kupang, Menado, Ambon, dan Saparua; semua pimpinan pemberontakan yang
dibuang ini ada 94 orang.[7]
Penutup
Dari
pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa, Banten pada waktu itu mengalami
kekacauan dahsyat baik dari segi geografisnya, yaitu terjadinya letusan gunung
Krakatau pada 1883. Setelah sebelumnya
daerah Banten
mengalami wabah penyakit ternak tahun 1879 yang menyebabkan jumlah ternak
menurun. Kemudian wabah demam yang menyebabkan lebih dari sepuluh persen
penduduk meninggal dunia.
Faktor sosial-keagamaan juga menjadi penyebab terjadinya peristiawa ini. tekanan
hidup yang makin terdesak membuat warga banyak lari ke klenik (tahayul).
Tersebutlah di desa Lebak Kelapa, terdapat pohon kepuh besar yang dianggap
keramat, dapat memusnahkan bencana dan meluluskan yang diminta asal memberikan
sesajen bagi jin, penunggu pohon. Berkali-kali Ki Wasyid mengingatkan penduduk
bahwa meminta selain kepada Allah termasuk syirik. Namun
fatwa Ki Wasyid tidak diindahkan. Melihat keadaan ini, Ki Wasyid dengan
beberapa murid menebang pohon berhala pada malam hari. Inilah yang membawa Ki
Wasyid ke depan pengadilan kolonial.
Berlangsungnya
pemberontakan pada waktu itu diawali dengan perkumpulan para kyai yang ada di
Cilegon. Menyusun strategi penyerangan sampai pada waktunya Pada hari Senin malam tanggal 9 Juli 1888,
diadakanlah serangan umum ke Cilegon. Yang di mahsyur sebut Geger Cilegon.
Daftar
pustaka
Hamka., Kebudayaan Islam di
Indonesia, (Jakarta: Pustaka Panjimas 1982).
Kartodirdjo,
Sartono., pengantar sejarah indonesia baru: 1500-1900 dari emporium sampai imperium Jilid 1, (Jakarta: PT Gramedia,
1988.)
Kartodirdjo,
Sartono., Pemberontakan Petani Banten
1888, terjemahan Hasan Basri, (Jakarta:
Pustaka Jaya 1984).
Pudjiastuti,
Titik., perang, dagang, persahabatan:
Surat-Surat Sultan Banten, (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2007).
[1] Kartodirdjo, Sartono., pengantar
sejarah indonesia baru: 1500-1900 dari emporium sampai imperium Jilid 1,
(Jakarta: PT Gramedia, 1988.), hlm. 75
[3] Titik Pudjiastuti, perang, dagang, persahabatan: Surat-Surat
Sultan Banten, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), hlm. 234
[4] Titik Pudjiastuti., hlm. 83
[5] Sartono kartodirjo, hlm.
139
[6] Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan
Petani Banten 1888, terjemahan Hasan
Basri (Jakarta: Pustaka Jaya 1984). hlm. 301-303
[7] Sartono Kartodirdjo., Ibid., hlm. 315
Tidak ada komentar:
Posting Komentar