Kamis, 12 Mei 2016

Peristiwa Geger Cilegon 1888

Pendahuluan
Indonesia pada perjalananya telah menjalani sejarah yang panjang.  Indonesia sebagai  yang besar,  mulai dari pra-hindu budha Indonesia sudah menjadi negara para pelaut. menurut teori yang menyatakan bahwa masyarakat Indonesia berperan aktif dalam penyebaran Hindu Budha ke Nusantara masa itu. Dilanjutkan pada masa Islam masuk ke nusantara. Yang pada masa itu berdiri kerajaan-kerajaan Islam yang mempunyai posisi penting dalam perdagangan dan pelayaran internasional. Seperti Banten, Malaka, Aceh, Makassar dan lain sebagainya.
Pada masa kolonial, banyak kebijakan-kebijakan yang tidak menguntungkan masyarakat pribumi. Bahkan kebijakan tersebut menyangkut Agama dan keyakinan. Masyarakat  Pribumi Indonesia dalam hal ini yang mayoritas Beragama Islam sangat dirugikan dengan kebijakan-kebijakan seperti ini. Dari itu, ketika masyarakat merasa terdesak, terjadilh pemberontakan-pemberontaka melawan kolonial karna kebijakan-kebijakannya tersebut yang tidak menguntungkan masyarakat pribumi tersebut. Maka dalam tulisan ini penulis akan membaas tentang pemberontakan Masyarakat pribumi yang dalam hal ini masyarakat pribumi Cilegon sebagai tempat kelahiran penulis sendiri.
a.      Faktor geografis sebagai suatu penyebab terjadinya pemberontakan
Secara Geografis, Banten mempunyai luasnya sekitar 114 mil persegi. Pada tahun 1892, penduduk Banten berjumlah 568.935 jiwa, dan daerah yang paling padat penduduknya adalah distrik Cilegon. Banten dapat dibagi menjadi dua yaitu Banten Utara dan Banten Selatan, Banten Utara merupakan daerah yang padat penduduknya dan tanah yang subur sudah digarap oleh penduduknya. Di Banten Utara juga penduduknya tidak hanya etnik Sunda tetapi ada yang dari Lampung, Jawa, Bugis, dan Melayu dan lain-lain.[1]
Sedangkan pada bagian Banten Selatan merupakan daerah pegunungan yang terdiri dari hutan belantara dan sangat jarang penduduknya. Serta sangat jarang menjadi ajang peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah Banten. Di selatan hanya dihuni oleh masyarakat Badui yang dalam hidupnya masih sangat sederhana. Peralatan hidup mereka masih diproduksi sendiri dan mereka selalu melestarikan alam.
Beberapa dasawarsa terakhir,sebelum terjadi pemberontakan, Banten ditimpa bencana-bencana alam yang membuat rakyat Banten frustasi yang berkepanjangan. Kejadian yang sebelumnya tidak diduga dengan kekuatan yang dahsyat telah menghancurkan segala fasilitas yang telah ada. Bencana alam yang terjadi berupa letusan Gunung Krakatau yang tidak diduga kedahsyatannya. Kebanyakan diantara masyarakat Banten hanya dapat merenungi nasib mereka akan kejadian tersebut.
Pada tahun 1879 di bumi Banten dan sekitarnya terjadilah wabah Kolera dan menjalar keseluruh wilayah jawa, sukar dipastikan dimana wabah dimulai dan pada masa itu sangat sulit sekali untuk menanggulanginya, sehingga pemerintah kolonial memobilisasi berbagai karakter orang yang mampu bekerja dengan imbalan tertentu untuk menjadi relawan, akhirnya kebijakan tersebut mengganggu kewibawaan pemerintah Kolonial pada masyarakat karena diantaranya terdapat pemabuk dan pemadat yang kebiasaannya berfoya foya dan mabuk-mabukan sehingga melalaikan tugas yang harusnya dikerjakan, karena tidak menguasai pekerjaan yang harusnya dilakukan sehingga perlakuan Petugas pada ternak (kerbau) yang terjangkit wabah panyakit dilakukan pembinasaan dengan ditembak, sementara ganti rugi tidak sesuai harapan pemilik ternak, memerkosa anak perempuan pemilik ternak, sementara pihak penguasa kolonial tidak memperdulikan sama sekali sikap perlakuan seperti itu, pada masa itu rakyat Banten sangat menderita dengan perlakuan penanganan masalah tersebut oleh Pemerintah Kolonial. 
Sebagai akibat pembantaian Kerbau secara Massal dan kuburan masal kerbau dimana-mana, di seluruh Banten terjangkit Wabah penyakit panas, pada Agustus 1880 tercatat kurang lebih 210.000 orang menderita panas 40.000 diantaranya meninggal dunia, diduga akibat penularan dari sumber air yang digunakan masyarakat pada masa itu yang tercemari kuman – kuman dari kuburan masal kerbau, karena rakyat Banten ketika terjangkit wabah penyakit pada kerbau menguburkannya tergesa-gesa tidak melakukan desinfektan terhadap kuburan kerbau, sehingga kuman dan Bakterinya menyebar menimbulkan berjangkitnya penyakit pada manusia, karena di daerah lain tidak terjadi wabah penyakit seperti yang terjadi pada rakyat Banten. Sementara pada Petugas yang disiapkan pemerintah Kolonial terjadi penyalahgunaan, obat yang seharusnya dibagikan cuma-cuma ditukar dengan ayam pada penduduk atau minuman keras (Wiski) pada pedagang Cina. 
Sehingga penanggulangan wabah tidak sesuai harapan mengakibatkan banyak jatuh korban dikalangan petani sehingga produksi bahan pokok menjadi berkurang, lahan pertanian tidak tergarap akibat langkanya kerbau untuk membajak serta tenaga kerjanya, sehingga menimbulkan kekurangan bahan makanan berakibat terjadinya kelaparan. Kebijakan pemerintah kolonial Belanda pada saat itu sudah mulai memperhatikan masyarakat Banten.
Pada Agustus 1883, meletuslah Gunung Krakatau bencana alam yang sangat dasyat meluluh lantakkan wilayah Banten. menyebabkan penderitaan yang semakin bertambah. ketika sebelumnya daerah Banten mengalami wabah penyakit ternak tahun 1879 yang menyebabkan jumlah ternak menurun. Kemudian wabah demam yang menyebabkan lebih dari sepuluh persen penduduk meninggal dunia. Dan meletusnya Gunung Krakatau yang merupakan letusan yang paling hebat yang pernah tercatat dalam sejarah vulkanologi di Indonesia. Lebih dari 20.000 orang tewas, serta banyak desa yang makmur dan sawah-sawah yang subur berubah menjadi gersang. Dengan kejadian tersebut, maka kesengsaraan melanda sebagian besar wilayah Banten.
Gelombang Tsunami yang amat dahsyat melanda pantai Barat Banten, pantai Carita, anyer. banyak manusia yang tewas tenggelam tertelan gelombang Tsunami Gunung Krakatau, Jalan antara Anyer sampai Carita yang pemandangannya cukup Indah tergenang lumpur dan bangkai manusia serta hewan berserakan dimana-mana, abu vulkanik, timbunan pohon serta persawahan yang larut dan tergenang lumpur dan abu vulkanik, pada saat itu orang Banten teringat akan Ramalan datangnya Kiamat yang sering diingatkan para Ulama supaya tersadar dari kehidupan yang telah terjadi yaitu hidup dibawah kekuasaan bangsa Kafir kolonialis Belanda. 
b.      Keresahan Sosial-keagamaan
Keresahan yang terjadi sebelum terjadi pemberontakan tersebut adalah berkaitan dengan perampokan, penyamunan, pembegalan dan lain sebagainya yang diaggap melanggar hukum. Dalam hal ini yang menjadi perampok, penyamun dan lain sebagainya dilakukan oleh kaum pemilik tanah atu aristokrat yang kehilangan harta bendanya, sehingga mereka menempuh jalan tersebut untuk mempertahankan hak-hak mereka. Sering juga antara pemberontakan dan perampokan merupakan protes rakyat terhadap penindasan pamongpraja yang bertindak sewenang-wenang. Selain itu juga adanya situasi politik yang memburuk di Banten, sehingga sering terjadi tindakan anarki, dan juga sistem administrasi yang kacau balau membuatnya semakin terpuruk.
Di lain pihak, tekanan hidup yang makin terdesak membuat warga banyak lari ke klenik (tahayul). Tersebutlah di desa Lebak Kelapa, terdapat pohon kepuh besar yang dianggap keramat, dapat memusnahkan bencana dan meluluskan yang diminta asal memberikan sesajen bagi jin, penunggu pohon. Berkali-kali Ki Wasyid mengingatkan penduduk bahwa meminta selain kepada Allah termasuk syirik. Namun fatwa Ki Wasyid tidak diindahkan. Melihat keadaan ini, Ki Wasyid dengan beberapa murid menebang pohon berhala pada malam hari. Inilah yang membawa Ki Wasyid ke depan pengadilan kolonial pada 18 November1887. Ia dipersalahkan melanggar hak orang lain sehingga dikenakan denda 7,50 gulden.[2]
Hukuman yang dijatuhkan kepada Ki Wasyid menyinggung rasa keagamaan dan rasa harga diri muridnya. Satu hal lagi yang ikut menyulut api perlawanan adalah dirobohkanmenara musala di Jombang Tengah atas perintah Asisten Residen Goebels. Goebels menganggap menara yang dipakai untuk mengalunkan azan setiap waktu salat, mengganggu ketenangan ksrena suaranya yang keras apalagi waktu azan salat subuh. Asisten Residen menginstruksikan kepada Patih agar dibuat surat edaran yang melarang salawat, tarhim dan azan dengan suara keras.[3]
Sejak terjadinya peristiwa bencana dan malapetaka yang bertubi-tubi menimpa masyarakat Banten akhirnya menjadikan kehidupan beragama menjadi meningkat dan mengarah kepada perjuangan membebaskan diri dari belenggu penjajahan, masyarakat Banten pada masa itu percaya jika penguasa Kafir dapat diusir maka masyarakat kehidupannya akan sejahtera dan kegiatan perlawananpun mulai dilakukan walaupun terselubung dengan kemasan kehidupan beragama, sementara pemerintah Kolonial Belanda melaksanakan kebijakan sistem perpajakan baru dan sistem kerjapaksa, rodi yang banyak menyengsarakan rakyat, sehingga mulailah timbul gerakan – gerakan yang mengarah terjadinya pemberontakan terhadap kolonial Belanda.
c.       Berlangsungnya geger Cilegon
Peristiwa geger cilegon diawali sejak hari Sabtu, tanggal 7 Juli 1888, diadakanlah pertemuan para kiyai untuk persiapan terakhir/pematangan gerakan di rumah Haji Akhia di Jombang Wetan. Hadir dalam pertemuan itu antara lain: Haji Sa’id dari Jaha, Haji Sapiuddin dari Leuwibeureum, Haji Madani dari Ciora, Haji Halim dari Cibeber, Haji Mahmud dari Tarate Udik, Haji Iskak dari Seneja, Haji Muhammad Arsad (penghulu kepala di Serang) dan Haji Tubagus Kusen (penghulu di Cilegon). Untuk menutupi kecurigaan Belanda atas pertemuan itu diadakan suatu kenduri besar. Sekitar jam 23.00, datang Nyi Kamsidah, istri Haji Iskak, memberitahukan bahwa Haji Wasid dan Haji Tubagus Ismail ingin bertemu dengan para kiyai yang hadir.
Maka setelah lewat tengah malam para kiyai segera berangkat ke Saneja untuk mengadakan pertemuan kedua di rumahnya Haji Ishak. Dalam pertemuan ini hadir pula Haji Abubakar, Haji Muhiddin, Haji Asnawi, Haji Sarman dari Bengkung, dan Haji Akhmad, penghulu Tanara. Haji Ashik dari Bendung, dan kiyai-kiyai dari Trumbu, tidak hadir dalam pertemuan ini karena sudah dipastikan bahwa mereka akan memulai pemberontakan pada hari Senin tanggal 29 Syawal atau 9 Juli 1888.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Haji Wasid dan Haji Ismail pergi ke Wanasaba untuk mengadakan pembicaraan dengan murid-muridnya, di antaranya Haji Sadeli dari Kaloran. Dari sana, keduanya pergi ke Gulacir, ke rumah Haji Ismail; selesai shalat magrib dengan dikawal sejumlah muridnya Haji Wasid berangkat ke Cibeber untuk kembali mengadakan pertemuan dengan murid-muridnya yang lain.
Pertemuan itu dilangsungkan di dalam masjid ─ di luar masjid sudah berkumpul pengikut-pengikut mereka, terutama dari Arjawinangun dan Gulacir ─ yang juga dihadiri oleh Haji Burak, saudara Haji Tubagus Ismail, Haji Abdulgani dari Beji, Kiyai Haji Abdulhalim dari Cibeber dan Nuh dari Tubuy; untuk membicarakan langkah terakhir pemberontakan.[4]
Pada hari itu juga dikirim utusan-utusan ke berbagai jurusan; Haji Erab diutus ke Haji Mohamad Asyik, Bendung, Haji Mahmud dan Haji Alfian diutus menemui Haji Abdulrazak, Tanara, Nasaman dan Sendanglor ke Cipeundeuy menemui Kiyai Haji Sahib, Haji Abdulhalim dan Haji Abdulgani ke Tunggak menemui Haji Usman, Haji Kasiman di Citangkil dan Haji Mahmud di Terate Udik. Ketiga yang terakhir ini diperintahkan untuk mengerahkan pejuang-pejuang dari Anyer untuk segera bergerak supaya pagi-pagi sekali sudah berada siap di Cilegon.
Sementara itu, setelah pertemuan di rumah Haji Ishak, beberapa kiyai kembali lagi ke pesta di rumah Haji Akhiya, yang pada keesokan harinya, Minggu, 8 Juli 1888, diadakan arak-arakan sambil meneriakkan takbir dan kasidahan yang dimulai dari rumah Haji Akhiya di Jombang Wetan dan berakhir di rumah Haji Tubagus Kusen, penghulu Cilegon.
Para kiyai dan murid-murid mereka memakai pakaian putih-putih dengan ikat kepala dari kain putih pula sambil membawa pedang dan tombak. Pada malam harinya barisan bertambah panjang bergerak dari Cibeber ke arah Saneja dipimpin langsung oleh Haji Wasid dan Haji Tubagus Ismail ─ yang kemudian dijadikan sebagai pusat penyerangan. Malam itu juga, dari Saneja, Haji Tubagus Ismail memimpin pengikut-pengikutnya dari Arjawinangun, Gulacir dan Cibeber bergerak menuju Cilegon untuk menyerang para pejabat pemerintah kolonial.
Pada hari Senin malam tanggal 9 Juli 1888, diadakanlah serangan umum ke Cilegon. Haji Tubagus Ismail dan Haji Usman dari Arjawinangun dan pengikutnya menyerang dari arah selatan, sedangkan pasukan yang dipimpin oleh Kiyai Haji Wasid, Kiyai Haji Usman dari Tunggak, Haji Abdul Gani dan Beji dan Haji Nuriman dari Kaligandu menyerang dari arah utara.[5]
Dengan memekikkan kalimat takbir mereka menyerbu beberapa tempat di Cilegon. Pasukan dibagi dalam beberapa kelompok: kelompok pertama dipimpin oleh Lurah Jasim, Jaro Kajuruan, menyerbu penjara untuk membebaskan para tahanan; kelompok kedua dipimpin oleh Haji Abdulgani dari Beji dan Haji Usman dari Arjawinangun menyerbu kepatihan, dan kelompok ketiga dipimpin oleh Kiyai Haji Tubagus Ismail dan Haji Usman dari Tunggak menyerang rumah Asisten Residen. Sedangkan Haji Wasid dengan beberapa pengawalnya tetap di Jombang Wetan memonitor segala kegiatan penyerbuan.[6]
Dalam keadaan yang kacau itu, Henri Francois Dumas, juru tulis di kantor Asisten Residen, dapat dibunuh oleh Haji Tubagus Ismail, demikian juga Raden Purwadiningrat, ajun kolektor, Johan Hendrik Hubert Gubbels, asisten residen Anyer, Mas Kramadireja, sipir penjara Cilegon, dan Ulric Bachet, kepala penjualan garam ─ semuanya adalah orang-orang yang tidak disenangi rakyat. Sedangkan Patih Raden Pennah, seorang pegawai negeri yang kebelanda-belandaan lolos dari kematian, karena dia sedang di Serang waktu itu.
Seperti yang sudah direncanakan semula, berbarengan dengan kejadian di Cilegon ini, di beberapa tempat juga meletus pemberontakan, seperti di Bojonegara, Balegendong, Krapyak, Grogol, Mancak dan Toyomerto. Di daerah Serang, pemberontakan dipimpin oleh Haji Muhammad Asyik, seorang ulama dari Bendung, Haji Muhammad Hanafiah dari Trumbu dan Haji Muhidin dari Cipeucang. Pusat-pusat kegiatan mereka ialah Bendung, Trumbu, Kubang, Kaloran dan Keganteran.
Sehari semalam kekacauan tidak dapat diatasi, Cilegon dapat dikuasai sepenuhnya oleh pasukan “pemberontak”. Tetapi seorang babu (pembantu rumah tangga) Gubbel dapat melarikan diri ke Serang membawa kabar kejadian di Cilegon itu. Maka Bupati bersama Kontrolir dengan 40 orang serdadu yang dipimpin oleh Letnan I Bartlemy berangkat ke Cilegon.
Terjadilah pertempuran hebat antara para pemberontak dengan tentara kolonial yang memang sudah terlatih baik, sehingga akhirnya kerusuhan dapat dipadamkan. Haji Wasid sebagai pemimpin pemberontakan dihukum gantung, sedangkan yang lainnya dihukum buang; Haji Abdurahman dan Haji Akib dibuang ke Banda, Haji Haris dibuang ke Bukit Tinggi, Haji Arsyad Thawil dibuang ke Gorontalo, Haji Arsyad Qashir dibuang ke Buton, Haji Ismail dibuang ke Flores, dan banyak lagi lainnya dibuang ke Tondano, Ternate, Kupang, Menado, Ambon, dan Saparua; semua pimpinan pemberontakan yang dibuang ini ada 94 orang.[7]
Penutup
Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa, Banten pada waktu itu mengalami kekacauan dahsyat baik dari segi geografisnya, yaitu terjadinya letusan gunung Krakatau pada 1883. Setelah sebelumnya  daerah Banten mengalami wabah penyakit ternak tahun 1879 yang menyebabkan jumlah ternak menurun. Kemudian wabah demam yang menyebabkan lebih dari sepuluh persen penduduk meninggal dunia.
Faktor sosial-keagamaan juga menjadi penyebab terjadinya peristiawa ini. tekanan hidup yang makin terdesak membuat warga banyak lari ke klenik (tahayul). Tersebutlah di desa Lebak Kelapa, terdapat pohon kepuh besar yang dianggap keramat, dapat memusnahkan bencana dan meluluskan yang diminta asal memberikan sesajen bagi jin, penunggu pohon. Berkali-kali Ki Wasyid mengingatkan penduduk bahwa meminta selain kepada Allah termasuk syirik. Namun fatwa Ki Wasyid tidak diindahkan. Melihat keadaan ini, Ki Wasyid dengan beberapa murid menebang pohon berhala pada malam hari. Inilah yang membawa Ki Wasyid ke depan pengadilan kolonial.
Berlangsungnya pemberontakan pada waktu itu diawali dengan perkumpulan para kyai yang ada di Cilegon. Menyusun strategi penyerangan sampai pada waktunya Pada hari Senin malam tanggal 9 Juli 1888, diadakanlah serangan umum ke Cilegon. Yang di mahsyur sebut Geger Cilegon.

Daftar pustaka
Hamka., Kebudayaan Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Panjimas 1982).

Kartodirdjo, Sartono.,  pengantar sejarah indonesia baru: 1500-1900 dari emporium sampai        imperium Jilid 1, (Jakarta: PT Gramedia, 1988.)

Kartodirdjo, Sartono.,  Pemberontakan Petani Banten 1888,  terjemahan Hasan Basri,       (Jakarta:  Pustaka Jaya 1984).

Pudjiastuti, Titik., perang, dagang, persahabatan: Surat-Surat Sultan Banten, (Jakarta:      Yayasan Obor Indonesia, 2007).




[1] Kartodirdjo, Sartono.,  pengantar sejarah indonesia baru: 1500-1900 dari emporium sampai imperium Jilid 1, (Jakarta: PT Gramedia, 1988.), hlm. 75
[2] HAMKA., Kebudayaan Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Panjimas 1982). hlm. 144
[3] Titik Pudjiastuti, perang, dagang, persahabatan: Surat-Surat Sultan Banten, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), hlm. 234
[4] Titik Pudjiastuti., hlm. 83
[5] Sartono kartodirjo,  hlm. 139
[6] Sartono Kartodirdjo,  Pemberontakan Petani Banten 1888,  terjemahan Hasan Basri (Jakarta:  Pustaka Jaya 1984). hlm. 301-303
[7] Sartono Kartodirdjo., Ibid., hlm. 315

Tidak ada komentar:

Posting Komentar