Senin, 11 Januari 2021

Riview Artikel : “Minahasa dalam jaringan perdagangan kopra di Hindia Belanda 1900 – 1941”


Gambaran besar artikel ini membahas tentang perdagangan Kopra di Minahasa dan jaringannya dengan daerah - daerah penghasil kopra lainnya di Hindia Belanda, serta bagaimana pemerintah Hindia Belanda melindungi Produsen kopra.
Kopra merupakan salah satu komoditi penting Hindia Belanda. Tapi sayangnya menurut artikel ini belum banyak literatur  tentang kopra di Indonesia pada masa Kolonial. Baru pada 1908 Bolen Dan juga Hunger pada 1916 menulis tentang kelapa di Hindia Belanda. Tulisan tersebut membahas tentang banyaknya sejarah mengenai asal Kelapa. Ada yang berpendapat dari Amerika dan ada juga yang berpendapat bahwa asal kelapa dari Hindia.
Di Nusantara sudah banyak cerita-cerita tentang kelapa, meski dengan nama yang berbeda-beda, ada yang menyebutnya nyiur, kerambil, kalapa,  makanya dalam bahasa belanda melafalkannya dengan klpper. Dari dulu kelapa sudah menjadi sumber kesejahteraan penduduk nusantara. Terjadinya penanaman paksa pohon kelapa dilakukan pada masa gubernurJendral van Imhof (1743-1750), yang mewajibkan penanaman kelapa bagi warga kampung baru Jakarta sebanyak 300 pohon per keluarga.
Kopra di Minahasa
Pembudidayaan tanaman kelapa di Minahasa berkembang setelah dihapusnya tanam paksa kopi 1850-an. Pohon-pohon kelapa ditanam sepanjang pantai Minahasa. Produksi kopra di Minahasa muai tampak pada dasawarsa 1890-an.
Perkembangan kopra di Minahasa tidak terlepas dari usaha pemerintah dan masyarakat yang selelu berupaya mengembangkan budi daya penanaman kelapa. Pada tahun 1914 di Tondano didirikan sekolah Landbouw (sekolah pertanian), yang kurikulumnya ditekankan pada penanaman kelapa. Pada tahun 1924 di Mapanget didirikan perkebunan percobaan untuk rupa-rupa tanaman, terutama kelapa. Maksudnya agar petani kelapa dapat menghasilkan kelapa sebanyak-banyaknya. Dan untuk melekukan percobaan tersebut , diadakan pencarian dan pengumpulan bibit kelapa yang baik dari jenis kelapa yang terkenal. Hasilnya, pada tahun 1926 telah berhasil dibibitkan 787 buah kelapa.
Pada tahun 1920-an Minahasa benar-benar dapat dikatakan daerah kelapa. Daerah paling subur dan padat penanaman kelapa adalah Manado dan Tonesa. pada tanggal 6 Juni 1903 pemerintah mengeluarkan sudat edaran No. 2.218 yang isinya mendesak kepada penduduk Hidia-Belanda untuk memelihara dan memperluas penanaman kelapa guna meningkatkan pendapatan. Dan pada 7 Januari 1913 pemerintah mengeluarkan ordonansi perlindungan penanaman kelapa yang dimuat dalam Javasche courant.
Pelanggaran terhadap Ordonansi tersebut akan dikenakan denda setinggi-tinginya 15 Gulden, atau hukuman penjara dua hari jika pelangaran itu dilakukan orang eropa atau orang yang disamakan haknya dengan orang eropa, sedangkan jika dilakukan oleh pribumi akan diancam kerja paksa setinggi-tingginya enam hari.
Sistem perdagangan kopra di Minahasa
Suatu ciri khas dalam transaksi perdagangan kopra di Minahasa adalah tidak adanya pasar secara fisik eperti dalam pengertian tradisional. Transaksi jual beli dilakukan melalui sistem kontrak. Sistem jual beli semacam ini telah lama berlaku di Minahasa. Sejak perdagangan mulai ramai di pasaran pada akhir abad ke 19. Untuk mendapatkan kopra dalam jumlah besar, maka para pedagang harus mengikat para petani / produsen supaya tidak menjual kopranya kepada orang lain. Caranya dengan memberi uang muka sebagai panjar pembelian kopra. Adanya kontrak berisi pernyataan bahwa selama uang muka yang diterima tidak dilunasi setiap caturwulan secara teratur, petani harus membayar sejumlah besar bunga.
Ketika harga kopra sedang melambung tinggi dengan cara seperti ini petani mendapat ribuan gulden. Jika terjadi penunggakan pembayaran uang muka, mula-mula dimanfaatkan oleh para pedagang perantara untuk memperpanjang ikatan. Biasanya untuk mendapatkan uang tunai untuk keperluan sehari-hari, petani kopra sering menjual kopranya secara diam-diam kepada pihak ketiga. makanya, jatuhnya harga kopra telah menyebabkan kehidupan ekonomi di Minahasa sangat memprihatinkan. Yang paling merugikan petani adalah penentuan harga kopra harian yang seenaknya oleh pemerintah.
Disamping peminjaman berupa kredit, masih banyak pula sistem kontrak yang berupa sewa kebun. Pengalaman buruk pernah menimpa petani ketika dipakainya sistem kontrak tersebut, yaitu jatuhnya harga kopra akibat perang dunia pertama, menyebabkan pemerintah pada 1918 mengeluarkan peraturan tentang agraria untuk Manado guna melindungi petani.
Pada tahun 1930 Asisten Residen Hamster dalam kapasitasnya sebagai ketua Minahasaraad mengusulkan pembentukan koprasi untuk mengurangi pengaruh pedagang perantara. Atas inisiatif badan urusan Ekonomi bank-bank rakyat diseluruh hindia Belanda pada tahun 1934 disatukan kedalam Algemeene volkscrediet Bank (AVB). Penelitian kontroleur menggambarkan bahwa pemberi uang muka pada umumnya bersedia bekerja sama untuk menyehatkan Ekonomi rakyat. Dan tidak keberatan pada peraturan yang ada.
Di Batavia diadakan rapat-rapat yang melibatkan kontroleur dinas agraria Minahasa yang dipanggil ke Batavia pada April 1938. Di lain pihak, adanya gerakan yang dilakukan oleh mantan notaris di Beste yang merupakan lawan keras dari pemerintah setempat. Namun usaha perlawanan tersebut akhirnya gagal dan ditolak di volskraad.
Pada 1939 pemerintah mengeluarkan ordonansi bahwa petani harus melunasi hutangnya pada AVB. Pada 1 April 1939 Residen manado mengeluarkan surat keputusan tentang syarat-syarat yang menjamin perdagangan kopra yang baik. Selanjutnya pada pasal 13 Ordonansi disebutan bahwa masa kontrak kopra paling lama 5 tahun.  
Jaringan perdagangan kopra di Hindia Balanda
Produksi kopra memnuhi pasaran bebas sejak akhir abad ke -19, setelah sarjana berkebangsaab Prancis menemukan minyak kelapa sebagai bahan dasar pembuatan margarin dan sabun. Akibatnya pada tahun 1920 Hindia Belanda mensuplai 29 persen kebutuhan kopra dunia. Pembudi dayaan kelapa kemudian menemukan coraknya masing-masing. di Jawa mengelolanya berbeda dengan di luar jawa. Di Jawa, kelapa dibikin minyak goreng.
Industri kopra banyak didominasi oleh pribumi. Hampir di seluruh wilayah nusantara, produksi kopra 90 % berasal dari kopra pribumi. Perkembangan kopra di Jawa lebih rendah dibandingkan di luar jawa. Makanya pada tahun 1929 terjadi penurunan ekspor minyak kelapa di Jawa. Sedangkan ekspor kopra Luar Jawa meningat. Selain ekspor luar negri, lalu lintas produk ini antar daerah dalam negri juga penting dalam dunia perdagangan.  Ekspor luar jawa ke Jawa tahun 1928 sampai 1930 di beberapa daerah menunjukkan kecendrungan naik. Naik turunya ekspor kopra luar Jawa sangat tergantung pada kebutuhan pasar dunia.
Konsumen kopra pada awal abad ke -20 itu sampai tahun 1915 adalah prancis, yang mengimpor hampir separuh produk kopra dunia. Tingginya kebutuhan kelapa menyebabkan harga kopra terus meningkat. Puncaknya setelah perang dunia I. Pada awal-awal abad ke 20, Minahasa mengakspor kopra ke Amerika serikat. Seiring dengan tingginya harga kopr, muncul di pasaran dunia jenis-jenis minyak bahan dasarnya bukan dari kopra, melaikan dari ikan penyu, lemak babi, dan kacang-kacangan. Hal ini yeng membuat harga kopra menurun. Dalam keadaan ini, G.H.C. Hart mengatakan bahwa jatuhnya harga minyak kelapa dan kopra hanya bersifat sementara. Namun pada kenyataanya ramalan Hart ini tidak menjadi kenyataan.
Negara yang tetap menjadi pengimpor kopra terpenting Hindia Belanda adalah Denmark. Penurunan harga kopra menurut Hindia Belanda mempunyai arti yang cukup besar. Berbagai cara dilakukan untuk mensiasati penurunan harga kopra ini. Seperti strategi biar tidak keluar biaya produksi, cara lain menghadapi krisis ini adalah dengan mengintensifkan kembali penanaman padi.
Bagi Minahasa dan beberapa daerah kelapa lainnya, diusulkan agar ada pemusatan pembelian kopra oleh pemerintah dengan dengan harga standar, sehingga didapatkan stabilitas harga. Pada september 1939 lonjakan permintaan kopra secara besar karna Belanda memerlukan kopra dalam jumlah besar, deperteman belanda sendiri mengatur pembeliannya. Tetapi tak lama kemumudian menurun dan semakin parah ketika sebagian besar Eropa barat diduduki Jerman, dan akhirnya Belanda, Belgia, Prancis jatuh sehingga penjualan kopra di negara-negara tersebut tidak memungkinkan lagi. Dari keadaan itu muncul pemikiran bagaimana melakukan pembelian kopra dengan harga sedemikian rupa sehingga alat produksi dan perdagangan tetap berdiri, sehingga kejatuhan Ekonomi negara dapat dicegah.
Pada 3 September 1930 pemerintah mendirikan yasan kopra. Dengan ini pembelian kopra dilakukan secra langsung. Dan biaya pengangkutan kopra di tanggung yayasan. Menurut laporan Van Rijn, pembelian kopra melalui yayasan kopra berjalan mulus. Dan dilakukan secara baik sesuai aturan yang telah ditentukan.  
Jaringan Transportasi Kopra 
Dalam sistem perdagangan kopra, transportasi merupakan satu hal yang penting dan selalu mendapat perhatian serius dari kalangan yang terlibat dalam dunia perdagangan. Jaringannya yaitu, dari produsen kopra dikirim ke tempat-tempat penampungan kopra disepanjang pantai Minahasa, kemudian dikirim dengan perahu ke pelabuhan Manado atau Kema. Dari Manado kopra kemudian dikirim langsung ke negara pengimpor Eropa dan Amerika.
Pengiriman kopra antarpantai pada awalnya menggunakan perahu-perahu layar antar pantai yang semula dukuasai oleh orang-orang cina dan arab. Setalah pemerintah Belanda mendirikan perusahaan dagang bernama Koninklijke peketvaart matscappij yang memuat jaringan antar pantai orang-orang cina dan Arab hancur. Namun pedagang Cina dan arab tidak hilang begitu saja. Mereka menjadi pesaing berat KPM. Upaya KPM memonopoli pengangjutan laut di wilayah Manado baru berhasil setelah pemerintah mendirikan yayasan Kopra.
Pendapat tentang artikel ini
Menurut saya artikel ini sangat baik mengungkap yang kebanyakan dari kita menganggap tidak ada ada menjadi nyata dalam sebuah tulisan. Meskipun menemukan sumber cukup sulit dan kebanayakan menggunakan bahasa belanda, namun tulisan ini cukup rinci membahas tentang jaringan perdagangan kopra Minahasa. Dan tulisan ini menjadi awal dari penelitian-penelitian tentang kopra terutama di Minahasa, dan mungkin di daerah-daerah lain yang menjadi salah satu dari jaringan perdagangan kopra seperti halnya Minahasa. Karna sepengetahuan saya belum ada buku berbahasa Indonesia yang membahas tema ini.
Cukup sulit saya mencari artikel atau literatur tentang kopra, penulis sendiri mencari-cari sumber dengan mencari artikel atau literatur tentang kopra di jurnal-jurnal online tidak menemukannya. Maka dari itu penulis tidak bisa membandingkan dengan buku dan literatur yang ada. Namun sebagai tulisan yang belum banyak diungkap seperti tema ini, tulisan ini memberi informasi yang cukup lengkap tentang kopra di Minahasa pada awal abad ke-20.

Kamis, 19 Mei 2016

Proses Indianisasi kerajaan Sriwijaya dan Majapahit

Pendahuluan
Sejarah Asia tenggara telah berada pada proses yang panjang. Para sejarawan telah mengkaji Asia tenggara sejak Abad ke 19, terutama para sejarawan dari barat. Namun pada hal itu bukan berarti seluruh sejarahnya telah terrekonstruksi. Banyak dari segmen sejarah Asia tenggara yang belum terungkap.
Sejarah panjang Asia tenggara di zaman kuno selalu di identikkan dengan adanya pengaruh Hindu dan Budha, hal ini karena banyak bukti yang ditemukan yang merujuk pada kedua Ajaran tersebut. Banyak prasasti berbahasa Sanskerta ditemukan di berbagai wilayah di Asia tenggara. Juga Banyak peninggalan candi Budha dan Hindu yang tersebar di berbagai daerah di Asia tenggara. Dan juga kesenian yang identik dengan kedua ajaran tersebut.
Oleh karena itu muncul banyak kerajaan yang bercorak Hindu Budha. Seperti pagan, tai di thailand, dai viet di vietnam sekarang, champa di kamboja, sriwijaya di sumatera, Majapahit di Jawa, dan banyak kerajaan-kerajaan lain yang terindikasi menerima pengaruh Hindu-Budha. Maka Dalam pembahasan kali ini pemakalah akan membahas tentang kerajaan Sriwijaya dan Majapahit dalam kaitannya dengan Indianisasi. didalamnya akan dibahas Indianisasi atau proses masuknya Hindu Budha, baru kemudian membahas tentang pengaruh Hindu dan Budha yang ada pada kedua kerajaan tersebut.
1.      Indianisasi Asia Tengara
Indianisasi merupakan proses interaksi maupun sikritisme antara kepercayaan dan konsep lokal dengan kepercayaan dan konsep yang datang dari luar kawasan tertentu.[1] Karna indianisasi dipahami sebagai proses yang terjadi di Sub-benua India itu sendiri yaitu penyebaran unsur-unsur budaya yang berkaitan dengan agama Hindu ke arah selatan dari akar mereka di Arya daerah utara. Para kepala suku setempat mengadopsi gelar Sanskerta dan dan konsepsi kedudukan raja Hindu bersama kepercayaan agama baru. Bahasa saskerta menjadi bahasa Ritual dan kesusastraan, sedangkan bahasa lokal menjadi bahasa sehari-hari. Roh leluhur dan dewa lokal juga tidak dihilangkan, tetapi dimasukkan kedalam keilmuan dewa agama Hindu yang lebih luas.
 Fenomena sejarah menyebut indianisasi dengan sebutan yang berbeda-beda, sebagian sejarawan menyebutnya dengan istilah ‘sanskertanisasi’ karna terbukti dengan jelas bahwa banyak penemuan prasasti dalam bahasa sanskerta di berbagai tempat di Asia tenggara, sebagian lain menyebutnya dengan ‘Hinduisasi’ fenomena ini ditandai dengan masuknya konsep dewa dalam agam Hindu, seperti Siwa, Wisnu dan Brahma, namun hal ini megabaikan pentingnya agama budha yang juga pengaruh dari India.
  Awal proses Indianisasi di Asia tenggara diperkirakan terjadi pada awal-awal abad Masehi. Ini terbukti dengan beragamnya pengaruh seni dan bahasa yang ditemukan dalam artefak-artefak kuno di kawasan ini. Dan juga ditemukannya prasasti sanskerta pertama yang berasal dari Vietnam selatan yang berasal dari abad ke-3 Masehi. Sedangkan titik akhir proses Indianisasi ini diperkirakan pada akhir milenium pertama pengaruh Hindu Budha secara langsung dari India sudah sangat berkurang, karena saat itu munculnya kekuatan-kekuatan budaya baru ke Asia tenggara yaitu Islam.
Sebagian besar wilayah Asia tenggara terjadi proses Indianisasi. Kecuali di vietnam Utara, yang sejak abad-abad awal awal pemerintahan China, pendeta china telah menetap disana. Sedangkan jawa dan bali merupakan tempat paling terpapar kebudayaan India. Bahkan sampai saat ini bisa dilihat bali sebagai gambaran jelas terjadinya proses Indianisasi di wilayah itu.
Terdapat dua Pendapat dari para peneliti, pertama beranggapan bahwa bangsa Indonesia berlaku pasif dalam proses tersebut. Dan yang kedua beranggapan bahwa bangsa Indonesia berperan aktif dalam proses tersebut.[2] Pertama, Sebagian cendekiawan masa kolonial percaya Bahwa asia tenggara telah terjajah oleh India. Namun adanya konsep ‘India raya’ yang dibangun hanya diterima oleh para nasionalis Hindu. Pendapat ini beranggapan bahwa kaum kesatria dan waisya yang banyak berkelana di wilayah ini sambil menyebarkan kebudayaan mereka. sebagian cendekiawan lain berpendapat bahwa yang bisa menyebarkan Hindu adalah kaum Brahmana dan orang-orang suci lainnya. Hipotesa-hipotesa  tersebut cenderung berasumsi bahwa orang India datang ke Asia tenggara dengan ajaran yang mereka bawa untuk kemudian di sebarkan ke masyarakat lokal yang mau menerimanya. kedua beranggapan bahwa jika melihat pada kenyataanya banyak orang Asia tenggara merupakan penjelajah laut kawakan. Bukan mustahil bahwa mereka yang bersikap aktif yang membawa kebudayaan India ke tanah airnya. Argumen ini berkecendrungan bahwa orang Asia tenggara merupakan yang lebih berinisiatif, bukan pihak yang pasif dalam masuknya kebudayaan India tersebut. [3]
Persebaran agama-agama India disertai banyak unsur budaya lainnya. Misalnya sanskerta, sebagai bahasa suci Agama Hindu dan buda Mahayana berpengaruh besar terhadap bahasa-bahasa asli asia tenggara; Para elit asia tenggara juga akrab dengan tema dan karya seni arsitektur India; norma-norma India dileburkan dalam budaya Asia tenggara termasuk seperti karya sastera klasik seperti Ramayana yang muncul dalam berbagai bentuk di seluruh kawasan yamg terindianisasi; sebagian kebudayaan di asia tenggara mengadopsi berbagai variasi kalender India dan unsur-unsur astronomi India.   
2.      Sriwijaya
Tidak banyak yang kita ketahui mengenai perkebangan politik kerajaan sriwijaya dibanding hampir semua wilayah lain di Asia Tenggara. Pedagang China I Tsing merupakan orang pertama yang membuat catatan mengenai kerajaan Sriwijaya. Ia menceritakan pelayarannya pada 671 M dari kanton ke palembang tempat pemerintahan kerajaan Sriwijaya waktu itu. Menurutnya kerajaan Sriwijaya pada saat itu sudah sangat kuat. Hal ini berdasarkan pengamatannya bahwa daerah Kedah pantai di pantai barat semenenjung melayu selatan telah menjadi tanah jajahannya. Dalam Prasasti  Kedukan Bukit pada tahun 682 di diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang. Diketahui, Prasasti Kedukan Bukit adalah prasasti tertua yang ditulis dalam bahasa Melayu.
Perkembangan Sriwijaya terkait dengan perubahan pola perdagangan yang lebih menguntungkan di daerah selat malaka. Sriwijaya tampak berhasil memperluas pengaruhnya di semenanjung  Malaya sebagaimana terungkap lewat prasasti akhir Abad ke-8 dari Ligor, (sekarang Nahkon si Thramat, Thailand selatan).[4] Ini juga terbukti dengan telah mendirikannya beberapa tempat ibadah di daerah tersebut, Hal ini telah mendorong para sejarawan untuk berkesimpulan bahwa pada waktu Itu Sriwijaya telah berkuasa di daerah tersebut. Namun tidak diketahui secara pasti apakan kekuasaaannya jangka panjang atau fenomena singkat belaka.
Perkembangan Sriwijaya yang pesat bukan merupakan proses kebetulan. Besar kemungkinan terdapat kondisi Khusus yang mendorong kemunculan kerajaan laut yang besar tersebut. Pada zaman pertengahan sriwijaya merupakan pusat perdagangan yang sangat terkenal. Oleh karena itu, wajar bila diyakini terdapat latar belakang Ekonomi di Asia tenggara yang setelah berabad-abad telah memberi jalan bagi kejayaan Sriwijaya.[5]
Terdapat perbedaan pendapat antara cendekiawan masa kolonian dengan cendekiawan terkini. Cendekiawan kolonial menyebut sriwijaya sebagai Imperium maritim yang pada puncaknya menguasai Jawa dan sumatera serta sebagian besar semenanjung malaya. Sedangkan menurut para cendekiawan terkini, luas wilayah itu menyusut dan menyebutkan Bahwa sriwijaya Hanya ada di Palembang atau Jambi saja, yang dikelilingi hubungan dengan daerah-daerah di sekelilingnya. Meskipun banyak bukti prasasti yang ada, yang menunjukkan bahwa daerah kekauasaanya sriwijaya merupakan suatu imperium yang Luas, namun bukan berarti kekuasaan dalam waktu yang lama.
Para Ahli menyebut Sriwijaya sebagai Thalasokrasi (Imperium Laut) yang mendominasi kawasan maritim melalui angkatan lautnya yang kuat. Namun dominasi Sriwijaya terhadap rute-rute perdagangan juga bukan tanpa pesaing. Terjadi episode-episode konflik dengan penguasa Jawa pada Abad 10. Tantangan paling serius datang dari dinasti Chola di India Selatan pada awal abad ke 11, ketika persaingan perdagangan antara kedua kekuatan perdagangan ini mengarah pada invasi terhadap Sumatera pada 1025. Walaupun tidak berujung pendudukan oleh India, invasi ini telah mengubah keseimbangan kekuasaan sriwijaya secara signifikan. Setelah kejadian tersebut, tidak ada bukti adanya kekuasaan Sriwijaya di semenanjung, daerah yang diperebutkan oleh kedua kekuatan yang bersaing ini.
Setengah abad setelah Invasi Chola, Ibu kota kerajaan Sriwijaya di pindah ke Jambi. Hal ini menurut para Cendekiawan sebagai penanda kemerosotan Sriwijaya. Posisinya telah memudar dan kerajaan-kerajaan pesaing seperti di sumatera utara (samudera pasai), semenanjung Malaya (Tambralinga yang berpusat di Thailand selatan) dan jawa timur yang Makmur kareananya. Namun meskipun demikian, sumber-sumber China manunjukkan bahwa peran Sriwijaya dalam perdagangan Regional tetap signifikan setidaknya hingga abad ke-13 meski tidak lagi mendominasi. Dan pada masa setelahnya kronik-kronik yang ada mengindikasikan bahwa pada tahun 1400-an di palembang tempat sriwijaya dulu berkuasa berdiri kerajaan-kerajan baru yang secara eksplisit dihubungkan dengan kebangkitan Malaka pada masa itu.    
3.      Majapahit
Kerajaan Majapahit didirikan oleh Raden Wijaya tahun 1292. Setelah Raden Wijaya bersekutu dengan Mongol untuk melawan Shingasari. Pada waktu itu. [6] karna sebelum berdirinya kerajaan Majapahit, Singasari merupakan kerajaan terkuat di Jawa. Hal ini menjadi perhatian kubilai Khan  penguasa dinasti Yuan di Tiongkok. Ia membawa utusan bernama Meng Chi ke Singasari yang menuntut upeti. Kertanegara, penguasa terakhir kerajaan Singasari menolak membayar Upeti dan mempermalukan utusan tersebut dengan merusak wajahnya dan memotong telinganya. Kubulai Khan Marah dan lalu memberangkatkan ekspedisi besar ke Jawa pada 1293.
Ketika itu, Jayakatwang, adipati Kediri, sudah menggulingkan dan membunuh Kertanegara. Atas saran Wiraraja, Jayakawang memberikan pengampunan kepada Raden Wijaya, menantu Kertanegara, yang datang menyerahkan diri. Kemudian Wiraraja mengirim utusan ker Daha, yang membawa surat berisikan pernyataan, Raden Wijaya menyerah dan mengabdi kepada Jayakatwang. Jawaban dari surat  tersebut disambut dengan senang hati. Raden Wijaya kemudian diberi hutan tarik. Ia membuka hutan itu dan membangun desa baru. Desa itu dinamai Majapahit. Ketika Pasukan Mongol tiba, Wijaya bersekutu dengan mongol untuk bertempur melawan Jayakatwang. Setelah menjatuhkan Jayakatwang, Raden wijiaya berbalim kelawan pasukan Mongol sekutunya sehingga mereka terpaksa menarik pulang pasukannya.  
Daerah kekuaan maja pahit sangat luas,  seperti tertera dalam Negarakertagama tidak kurang dari 98 nama tempat (kantor dagang) yang bergantung pada majapahit. Sebaran wilayahnya meliputi sepatuh Indonesia sekarang. Terdapat keserutuhan negeri yang sama dengan keseluruhan sumatera yakni melayu, jambi, palembang, minangkabau, siak, kampar, daerah-daerah batak, lamuri, lampung dan barus.
Sementara di kalimantan terdapat 24 negeri, mulai dari pantai selatan dan pantai utara, yakni kutai, pasir baritu, kuta waringin, Lawai, Kapuas, sambas, Buruneng. Juga disebutkan negeri semenanjung melayu yaitu pahang, Lengkasuka, Klaten, Tringgano, Tumasik, Kelang dan Keda. Sedangkan Negeri di bagian timur pulau jawa meliputi Nusa tenggara barat (Bali, Lombok, Bima dan Sumba), kepulauan Maluku (Gurun, Seran, Ambwan, Maloko), dan lebih jauh lagi ke Timur yaitu Timor dan Wanin (onin) di Papua.
Pada bagian selanjutnya di Negarakertagama menyebutkan bahwa daerah-daerah tersebut mengirim hasil buminya, dan kepada mereka diutus para pembesar dan pejabat tinggi untuk memungut upeti secara tetap. Jika negeri-negeri yang memberontak pada kekuasaan pusat (Majapahit),  maka kerajaan akan melakukan ekspedisi penumpasan dan para pejabat tinggi untuk memulihkan situasi dan menghukum yang bersalah. Selanjutnya, setelah situasi aman, negeri yang jauh itu diberi hak untuk mengurus pemerintahannya, namun tetap memperlihatkan  keteundukannya  pada majapahit.
Kerajaan  ini menyelenggarakan perdagangan untuk kepantingan negara. Perdagangan dilakukan secara tidak bebas. Untuk mengatur ritme perdagangan, berikut pajaknya, dalam birokrasi kerajaan terdapat rakyan Kanuruhan atau kanselir besar yang bertugas mengurus pedagang asing atau saudagar-saudagar yang datang dari pilau lain di Nusantara. Rakyan harus menerima  pedagang-pedagang itu dengan penuh hormat seperti halnya tamu-tamu raja. Menampung mereka, memeberi makan, dan mengusahakan segala keperluam mereka. Karena pentingnya tugas itu, maka rakyan harus mengetahui semua bahasa.[7]
Kejayaan majapahit tercatat dalam dua kronik penting,  Duswarana (sebelumnya biasa disebut dengan Negarakertagama) dan Pararaton (yang melukiskan gambaran kerajaan yang besar dan kuat). Raja paling Masyhur pada periode ini adalah Hayam wuruk (bertahta 1380-1389) sepanjang masa pemerintahannya Ia didampingi patih yang kuat dan kompeten, Gajah Mada.
Pada masa kejayaannya, Majapahit menjadi kerajaan dengan sentra kuasa yang lebih kuat. Majapahit berhasil mengumpulkan pajak dan barang dari daerah-daerah luar vasalnya. Bukan hanya menerima upeti atau persembahan ritual. Pada saat yang sama, terjadi penambahan pajak negara yang disebabkan oleh kondisi negara yang secara umum aman dan damai sepanjang 1300-an. Ini diberlakukan bersamaan dengan perluasan jaringan jalan dan pemasaran serta peningkatan permintaan rempah dari luar negeri. Pesatnya perdagangan rempah ini kemungkinan merupakan faktor inti pergeseran kekuatan Ekonomi dari sriwijaya di Sumatera ke kerajaan-kerajaan yang berbasis di Jawa.
Setelah meninggalnya Hayam Wuruk (1389) terjadi konflik dalam istana. Majapahit, menurut kesaksian Cheng ho yang berkunjung ke Jawa timur, membritakan bahwa Majapahit diperintah oleh dua raja. Pangeran Wirabhumi di Daha (Kediri) atas wilayah selatan dan timur yakni Lumajang, Blambangan, dan bali. Kemudian Khusumawardhani (puteri Hayam Wuruk) di Tumapel yang berkuasa atas wilayah barat. Pada tahun 1401 terjadi perang terbuka antara pangeran Daha dengan suami Kusumawardhani, Wikramawardana. Ketika Cheng Ho berada di Daha tahun 1406, kota itu diserang oleh Tumapel, akibatnya 170 orang pengikutnya terbunuh. Lima tahun perang saudara membuat Majapahit makin lemah, ditengah perkembangan pengaruh China dan Islam di Jawa timur.
Kemunduran Majapahit juga terkait dinamika Ekonomi Maritim awal abad ke-15. Sektor ini tidak mendapat perhatian penuh dari Istana. Karna Majapahit, meskiput perdagangan lautnya kuat, namun sektor pertanianlah yang utama. Walhasil, Majapahit tidak bisa memanfatnkan dengan baik peningkatan perdagangan dalam abad ke-15. Ditambah lagi kebijakan pemerintah sebelumnya yang memberi peluang yang otonom bagi pemungut pajak perdagangan lokal dan luar negeri. Dan kemudian mereka berkembang menjadi elite dan memainkan peran penting di sektor perekonomian daerah pesisir. Sebagian mereka telah memeluk Islam. Seiring perkembangan dan kebangkitan kesultanan-kesultanan nusantara, secara perlahan mereka melapaskan diri dari Majapahit.[8] Hal ini merupakan momen transisi Masa klasik menuju zaman modern Awal Asia tenggara.[9] Perdagangan laut Jawa secara perlahan berada di dalam berada dalam kendali pedagang-pedagang Muslim. sejumlah kesultanan di Nusantara perlahan tampil dan memanfaatkan peluang perdagangan yang ditinggalkan oleh Majapahit.
Penutup
Asia tenggara dalam catatan sejarahnya tidak terlepas dari sejarah masuknya pengaruh Hindu-budha, Hal biasa desebut dengan Indianisasi. Indianisasi merupakan proses interaksi maupun sikritisme antara kepercayaan dan konsep lokal dengan kepercayaan dan konsep yang datang dari luar kawasan tertentu. Karna indianisasi dipahami sebagai proses yang terjadi di Sub-benua India itu sendiri yaitu penyebaran unsur-unsur budaya.
Menganai kerajaan Sriwijaya, Pedagang China I Tsing merupakan orang pertama yang membuat catatan mengenai kerajaan Sriwijaya . Ia menceritakan pelayarannya pada 671 M dari kanton ke palembang tempat pemerintahan kerajaan Sriwijaya waktu itu. Menurutnya kerajaan Sriwijaya pada saat itu sudah sangat kuat.  Perkembangan Sriwijaya terkait dengan perubahan pola perdagangan yang lebih menguntungkan di daerah selat malaka. Perkembangan Sriwijaya yang pesat bukan merupakan proses kebetulan. Besar kemungkinan terdapat kondisi Khusus yang mendorong kemunculan kerajaan laut yang besar tersebut. Pada zaman pertengahan sriwijaya merupakan pusat perdagangan yang sangat terkenal.
Seperti yang sudah dijelaskan diatas, Daerah kekuaan majapahit sangat luas,  seperti tertera dalam Negarakertagama tidak kurang dari 98 nama tempat (kantor dagang) yang bergantung pada majapahit. Sementara di kalimantan terdapat 24 negeri, sedangkan Negeri di bagian timur pulau jawa meliputi Nusa tenggara barat, kepulauan Maluku dan lebih jauh lagi ke Timur yaitu Timor dan Papua.  Kejayaan majapahit tercatat dalam dua kronik penting,  Duswarana (sebelumnya biasa disebut dengan Negarakertagama) dan Pararaton (yang melukiskan gambaran kerajaan yang besar dan kuat). Raja paling Masyhur pada periode ini adalah Hayam wuruk (bertahta 1380-1389) sepanjang masa pemerintahannya Ia didampingi patih yang kuat dan kompeten, Gajah Mada. Namun Setelah meninggalnya Hayam Wuruk (1389) terjadi konflik dalam istana yang menandai awal keruntuhannya.
  

Daftar Pustaka
Hall , D.G.E., sejarah Asia Tenggara, (Surabaya: penerbit Usaha Nasional, 1988)

Marwati djoened poesponegoro dan nugroho notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia II : zaman kuno Edisi pemutakhiran (Jakarta : Balai pustaka 2008)

Riclefs, M.C, dkk., Sejarah Asia Tenggara, dari Masa Prasejarah Sampai Kontemporer (Jakarta : Komunitas Bambu, 2013)

Wolters . O.W, kemaharajaan Maritim sriwijaya & perniagaan dunia Abad III – Abad VII  (Jakarta: komunitas Bambu, 2008)

Hamid, Abd Rahman, sejarah Maritim Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit ombak :2013)




[1] M.C Riclefs dkk., Sejarah Asia Tenggara, dari Masa Prasejarah Sampai Kontemporer (Jakarta : Komunitas Bambu, 2013), h. 20
[2] Marwati djoened poesponegoro dan nugroho notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia II : zaman kuno Edisi pemutakhiran (Jakarta : Balai pustaka 2008). h. 27
[3] M.C Riclefs dkk., Sejarah Asia Tenggara, dari Masa Prasejarah Sampai Kontemporer (Jakarta : Komunitas Bambu, 2013), h.33
[4] M.C Riclefs dkk., h.44
[5] O.W Wolters, kemaharajaan Maritim sriwijaya & perniagaan dunia Abad III – Abad VII  (Jakarta: komunitas Bambu, 2008), h. 2
[6] M.C Riclefs dkk., h. 91
[7] Abd Rahman Hamid, sejarah Maritim Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit ombak :2013) h. 71-72
[8] Abd Rahman Hamid, sejarah Maritim Indonesia, h. 83
[9] D.G.E. Hall, sejarah Asia Tenggara, (Surabaya: penerbit Usaha Nasional, 1988), h. 88

Rabu, 18 Mei 2016

Kemaritiman Indonesia Pada Masa VOC (1602-1799)

Pendahuluan
Melihat dari letak geografis, Indonesia merupakan negara maritim terbesar dengan luas wilayah yang dua pertiganya adalah laut. Sudah pasti didalamnya terjadi interaksi baik perdagangan maupun diplomasi yang dilakukan melalui daerah kelautan. Maka dari itu ungkapan Indonesia negara kepulauan merupakan suatu hal yang keliru jika melihat kenyataan tersebut, yang seharusnya Indonesia disebut sebagai negara dengan laut sebagai hal yang utama. Karen arti sebenarnya dari ‘Nusantara’ bukanlan negara kepulauan, melainkan ‘negara lautan utama’.
Sejarah telah membuktikan, bahwa Indonesia merupakan negara maritim terbesar. mulai dari pra-hindu budha Indonesia sudah menjadi negara para pelaut. menurut teori yang menyatakan bahwa masyarakat Indonesia berperan aktif dalam penyebaran Hindu Budha ke Nusantara masa itu. Yang sudah pasti Masyarakat Indonesia telah ahli dalam pelayaran, baik dalam membuat kapal maupun ahli dalam navigasi.
Dilanjutkan dengan jaman kerajaan yang bercorak Hindu-budha, sriwijaya dan Majapahit menjadi basis kerajaan Maritim terbesar di Nusantara, bahkan di Asia tenggara. Sriwijaya yang menurut berita pengembara dari China I tsing, telah menguasai perdagangan sebagian besar wilayah sumatera, malaysia, dan sebagian wilayah thailand. Serta Majapahit yang hampir menguasai seluruh wilayah Nusantara yang menjadi Indonesia saat ini. Dari hal ini sudah menunjukkan dari sisi sejarah, Indonesia merupakan negara yang berbasis kemaritiman.
Hal tersebut berubah setelah masukanya kolonialisasi bangsa Eropa. Paradigma berpikir masyarakat indonesia diubah dari berpusat di kelautan menjadi berpusat pada daratan. Dengan adanya tanam paksa, kerja rodi pembangunan berbasis daratan, dan kebijakan yang berhubungan dengan pertaian dan pembagunan lainnya. Tapi apakah dengan adanya kolonialisai eropa akan serta merta menghilangkan secara total kegiatan kelautan masyarakat Indonesia?
Maka dari itu, dalam paper ini Akan membahas kegiatan kemaritiman masyarakat Indonesia pada masa Kolonialisasi Eropa khususnya pada masa VOC. Yang didalamnya akan membahas sedikit tentang kegiatan kelautan Indonesia menjelang datangnya VOC, kemudian membahas tentang kemaritiman Indonesia pada masa itu, yang didalamnya termasuk kegiatan kemaritiman, dan kebijakan perdagangan kelautan pada masa itu. 
1.      Kemaritiman Indonesia menjelang datangnya VOC
Ditemukannya Amerika oleh Colombus dan jalan ke Asia tenggara melalui tanjung harapan oleh Vasco de Gama membawa akibat besar dalam lapangan perdagangan dan pelayaran. Kota-kota perdagangan di sekitar lautan tengah (terutama Italia) tidak lagi mempunyai arti: pusat perdagangan kini pindah ke eropa barat. Kondisi demikian menimbulkan golongan baru dalam masyarakat, yaitu pengusaha-pengusaha yang menggunakan kebebasannya untuk mengeruk keuntungan sebanyak mungkin dari kemajuan dan perluasan perdagangan, satu hal yang tadinya dilarang oleg gereja. Kalau dulu kekayaan orang itu berupa tanah, kini berupa penimbunan modal (kapitalisme).
Maka demi mengeruk kekayaan para pengusaha tersebut, maka timbullah kolonialisme, di berbagai bagian di dunia, terutama di Asia dan afrika, kekuasaan orang eropa barat yang sudah ditanam mulai abad ke 17, yang di perkokoh menjadi pemerintahan langsung atau jajahan atas bangsa pribumi.[1]
Di indonesia pada masa itu, dengan bercokolnya Portugis di Malaka dan berhasil menggagalkan semua serangan dari Johor, Aceh, dan Jawa, peranan Malaka selaku pusat perdagangan pulih kembali akan tetapi hanya sebagian. Oleh karena pedagang Muslim berusaha menghindarinya. Oleh karena itu Aceh dan Banten muncul untuk menggantikan Malaka menjadi pusat perdagangan.
Sejak jatuhnya Malaka pada tahun 1511 ke tangan portugis, Aceh berusaha menarik perdagangan Internasional dan antar kepulauan nusantara. Salah satu jalan menghancurkan Malaka dan johor, jalan lain adalah menguasai pelabuhan-pelabuhan pengekspor lada dan pelabuhan transito.
Di pantai timur sumatera, setelah Pendir, Pasai, Deli dan Aru, Maka Aceh berusaha menguasai Jambi. Karna Jambi merupakan pengekspor lada yang banyak dihasilkan di daerah pedalaman, seperti Minangkabau dan yang diangkut lewat sungai Indragiri, Kampar dan Batanghari. Jambi dengan sendirinya juga menjadi pelabuhan Transito, dimana lada di ekspor ke Malaka dan beras serta bahan-bahan lain dari Jawa, Cina, India dan lain-lain. Selain itu, Aceh juga berkuasa meliputikerajaan-kerajaan di semenanjung Malaya, seperti Kedah, Perak, dan Johor. Ekspansi Aceh sejak itu berhasil menguasai perdagangan pantai barat Sumatera dan mencakup Tiku, Pariaman dan Bengkulu.
Jaringan perdagangan di Indonesia bagian barat, Banten muncul sebagai suatu simpul penting karena antara lain perdagangan ladanya yang berkembang begitu pesat, serta tempat menampung barang-barang pelarian dagang dari pesisir Jawa tengah dan Jawa timur. Disamping itu, Banten juga menarik perdagangan dan para pedagang dari Inderapura, Lampung dan Palembang.
Meskipun ekspansi Mataram menghancurkan kota-kota pesisir dan karena perdagangan setengahanya menjadi lumpuh, akan tetapi sebagai penghasil utama dan pengekspor beras posisi Mataram dalam Jaringan perdagangan di Nusantara masih berpengaruh. Sementara di bagian timur Indonesia, sebelum Malaka jatuh ke tangan Portugis, perdagangan rempah-rempah dikuasai oleh pedagang-pedagang Melayu dari Malaka, yang kemudian berpangkal di Johor dan Jawa, sedang Makassar belum muncul sebagai pelabuhan yang berarti.
Karena kedudukannya yang sangat strategis, yaitu sebagai tempat singgah ke Maluku, Filipina, Cina, Patani, kepulauan nusa tenggara dan Indonesia bagian barat pada akhir abad ke XVI, berkembanglah makasar dengan pesat sebagai pusat perdagangan. Beberapa faktor  Historis yang membuat hal ini terjadi. Pertama, kedudukan Malaka oleh Portugis mengakibatkan migrasi para pedagan Melayu, antara lain ke Makassar. Kedua, aliran migran melayu bertambah besar setelah aceh mengadakan ekspedisi terus-menerus ke Johor dan pelabuhan-pelabuhan di semenanjung Melayu. Ketiga, blokade belanda terhadap Malaka dihindari oleh pedagang-pedagang baik dai Indonesia maupun dari India, Asia barat dan Asia timur.
Pedagang-pedagang barat menjadikan Makasar mempunyai peran sentral, yan menguntungkan sekali bagi perdagangan Malaka dan Maluku. Disana berbagai pedagang dari penjuru dapat bertemu. Maka selai rempah-rempah, hiduplah pasar untuk bermacam-macam barang, antara lain: sutera, emas, perselin, berlian, intan, kayu cendana, dan lain-lain. Bertemulah diasana pedagang-pedagang dari Maluku, Abon, Seram, Kai, Aru, Tanimbar, Solor, Timor, Ende, Bima, Bali, Jawa dan lain-lain. Sedangkan pedagang Asig selain Portugis yang datang ke Makassar yaitu pedagang dari Makao, Cina, jepang, Sailan, Gujarat, dan kemudian pada awal abad ke 17 juga pedagang Belanda Inggris dan Denmark.[2]
2.      Politik perdagangan maritim VOC
Seperti telah dibahas sebelumnya, Jawa sudah menunjukkan kondisinya yang semakin lemah. Pada saat itu, Jawa tidak lagi bisa membuat satu jung dalam sepuluh tahun. Merosotnya kekuatan maritim ini di perparah dengan serbuan mataram ke kota-kota pesisir pada awal abad ke XVI. Hal ini memudahkan orang-orang eropa untuk memonopoli kawasan ini.[3]
Pada awal-awal abad XVII ketika masuknya pedagang belanda (baca:VOC), kebijakan perdagangan indonesia masih menggunakan sisitem terbuka. Sistem perdagangan seperti jual beli, penawaran, penentuan harga, kesemuanya telah mengikuti proses siste yang telah berlaku lama sejak adanya kerajaan-kerajaan di nusantara. Perdagangan rempah-rempah menjadi yang utama namun tidak terpisah dari perdagangan beras, sagu, kain dan komoditi lainnya.
Dalam menghadapi itu, maka VOC dalam usahanya menguasai perdagangan rempah-rempah, menduduki kedua basis perdagangan pada masa itu, yaitu maluku dan malaka. Dan sebagai alternatif yaitu batavia. Dari semula, VOC mengalami kesulitan dalam usahanya menerobos sistem perdagangan yang berlaku. Hal ini cukup sulit dikaernakan untuk merealisasikan hal ini dibutuhkan dukungan politik.
Baru kemudian setelah dengan usaha-usaha sebelumnya tidak berhasil, maka VOC mengunakan jalan radikal. Yaitu dengan jalan melarang semua pengangkutan barang dagang portugis dengan kapal pribumi; semua ekspor rempah-rempah perlu dihentikan, bahkan lebih drastis lagi, pohon-pohon pala dan cengkeh perlu ditebangi. Politik radikal lain dalam usaha menguasai perdagangan di nusantara ialah mengendalikan dan membatasi perdagangan Asia seperti yang telah dijalankan bangsa-bangsa Asia dan portugis sejak lama. Namun karna kelamahan VOC, yaitu kekurangan awak kapal, amunisi, dan kapal, membuat misi ini tidak berhasil dilaksanakan.[4]
 Hal ini malah merugikan VOC sendiri, pembelian rempah-rempah dengan mat uang logam ternyata sangat merugikan. Rakyat pribumi menabung hasil penjialannya, dan dengan itu bisa membeli bahan pakaian dari portugis atau pedagang bangsa lain. Langkah lain seperti memblokir selat Malakada perdagangan Portugis, akan menguntungkan bangsa barat lainnya, pedagang Jawa, Gujarat yang bebas dari persaingan portugis dapat bergerak secara laluasa. Disamping kapasitas VOC sendiri masih sangat terbatas, sehingga penghentian perdagangan di Asia akan menimbulkan kekosongan. akibatnya, banyak permintaan berbagai jenis komoditi tidak dapat terpenuhi.
Akhirnya mulailah politik perdagangan VOC dengan menggunakan kekerasan. Pertama kali di Banda, saat mengetahui bahwa kontrak rakyat bada dengan VOC tidak diindahkan dan masih melakukan perdagangan dengan pedagang Asia, seperti cina, maka direktur VOC memerintahkan rakyat Banda harus dipunahkan. Namun hal ini ditentang oleh van der Hagen yang menurutnya bertentangan dengan perikemanusiaan apabila rakyat dihukum dengan memblokade pemasukan bahan makanan dan komoditi lain. Namun politik ini tidak menunjukkan adanya keuntungan yang besar, sebaliknya pada awal beroprasinya VOC menunjukkan pasaran rempah-rempah yang membanjir sehingga merosotnya harga penjualan disana.
Dalam menghadapi kerugian tersebut, maka VOC berusaha mengalihkan kegiatan perdagangannya ke pedagang komoditi Asia. Disamping itu, VOC mencoba menarik perdagangan pribumi dan bangsa Asia ke pusat-pusat yang dikuasainya, seperti Batavia dan Ambon, dengan tujuan menarik pajak dan keuntungan lainnya.
Rempah-rempah yang datang dari Maluku ditembah beras kemudian di angkut ke jurusan barat, khususnya malaka. Dari malaka ini diangkutlah bahan kain dan komoditiyang berasal dari Asia lainnya. Kehadiran VOC di Indonesia dan kegiatan monopolitis yang hendak di jalankan secara langsung membahayakan Gersik, Surabaya dan kota-kota perdagangan di pesisir Jawa timur lainnya. Karena dengan kedatangannya mengakibatkan penjualan rempah menurun, disebabkan di halang-halanginya penjualan rempah-rempah ke Malaka.
Perdagangan beras dengan pasaran jauh lebih rendah harganya terdapat di Jepara, maka menarik pedagang dari segala penjuru, khususnya dari Malaka, Jambi, Banten, Makassar dan Maluku. Kalau harga Beras di Banten dan di Maluku sekitar 40 atau 50 real per koyan atau 2 ton, di Jepara hanya 15 real.
Banten sebagai daerah yang dekat dengan VOC di Batavia segera mengalami kemunduran yang disebabkan oleh politik monopoli VOC. Hubungan perdagangan Banten dan Malaka sebelumnya sangat baik, rempah-rempah dan lada di ambil di Banten dan bahan pakaian di jual di tempat itu oleh Portugis. Namun waktu Ambon dan Banda di blokade Belanda, perdagangan rempah-rempah menyusut sekali, sedang permintaan akan bahan pakaian sangat terbatas.
Pada awal abad XVII, VOC menghadapi persaingan, kalau bukan perlawanan, dari pedagang Asia non Indonesia, seperti Gujarat, keling, Bengali, dan Cina. Komoditi yang mereka kuasai ternyata mempunyai nilai tukar tinggi di Indonesia maka haalhandel ternyata sangat menguntungkan, sering melebihi perdagangan rempah-rempahnya.
Sehubungan dengan itu, VOC pada 1624 di Formosa (Taiwan) didirikan benteng zeenlandia, loji di Dhesima, dekat Nagasaki (1674), di Siam (1607), Kambodia (1620), Annam (1636), Tonkin (1637), di Arakan (1610). Dan kantor-kantor telah dibuka di beberapa tempat di India sejak 1604. Dan VOC juga membangun di Mauritius (1638) dan tanjung harapan (1647).
Dalam daerah perdagangan yang meliputi wilayah dari Surat sampai Dhesima, VOC beroperasi dengan angkatan kapal dagang yang bertambah besar sejajar dengan perluasan perdagangannya. Diantara kapal-kapal tersebut ada yang berhenti di Bataviasambil menunggu keberangkatannya ke Netherland yang menurut tafsiranyang sedang berlayar mencapai jumlah 12 sampai 14 ribu ton. Dibanding dengan tonage angkatan kapal lainnya, maka perkapalan VOC tidak terlalu besar volume angkatannya. Perkapalan Indonesia ada 50 ribu ton, Cina dan Siam 18 ribu ton, aceh 3 ribu ton.[5]
3.      Kegiatan kemaritiman
Kegiatan perdagangan maritim yang menggunakan perahu dan kapal layardipengaruhi oleh angin muson, yaitu muson barat dan muson timur. Perubahan muson tersebut menciptakan dua jalur pelayaran dan perdagangan yaitu timur-barat dan utara-selatan. Jalur timur-barat menciptakan dua jalur pelayaran penting. Pertama, dari Malaka menyusuri pesisir utama pulau Sumatera atau pulau Jawa, terus ke Nusa tenggara sampai pulau Flores dan melayar melalui Malukubagi yang mencari rempah-rempahdan juga ke Timor dan Sumba untuk memperoleh kayu cendana. Kedua, Malaka ke Tanjung pura kemudian ke Makassar terus menuju Buton sampai ke Maluku, dan kembali ke jalur yang sama.
Dalam abad ke-16, para pedagang Portugis pernah menggunakan jalur utara melintasi pesisir utara Kalimantan lalu ke utara Sualwesi, kemudian memasuki Ternate dan pulau-pulau penghasil rempah-rempah di Maluku, dan kembali dengan jalur yang sama. Ketika Bandar niaga Makassar berkembang, jalur perdagangan pelaut dan jalur pedagang Sulawesi Selatan, ke berbagai daerah produksi juga berkembang. Satu setengah abad kemudian, sebelum ditaklukan oleh Belanda, Makassar berkembang menjadi satu mata rantai perdagangan rempah-rempah Maluku dan hasil laut dan hutan. Komoditinya seperti lilin, dan temputung penyu, juga budak dari Kalimantan, Philipina bagian selatan, serta Flores, Solor, Timor, Alor, dan Tanimbar. Komoditi tersebut bersama dengan kayu cendana yang berharga, ditukar dengan tekstil India. Emas dikumpulkan dari banyak tempat dan di ekspor ke Aceh. Dan masih bayak lagi produk berupa Logam dan komoditi lainnya.
Jalur dan aktivitas maritim terganggu setelah VOC berhasil memaksakan monopolinya pada paruh kedia abad-17 dengan cara berdagang sendiri (allen Handel). Tetapi kondisi itu berubah seiring dikenalnya produksi teh, sebuah primadona baru dari China dalam perdagangan Asia tenggara. Permintaan China meningkat terhadap produksi laut berupa tripang, agar-agar, kerang, sirip ikan hiu, sisik penyu, dan kerang mutiara, selain itu dari bagian barat,  (eropa, Arab, India dan Malaka) berupa tekstil, permadani, mata uang emas dan candu. Produksi dari utara yaitu China, Jepang, dan Philipina, adalah porselin, sutera, bahan sutera, loyang China, gong China kecil, gading gajah, ringgit Spanyol, rediks Cina, jenis-jenis perhiasan emas, tembaga jepang, ketel tembaga, berjenis mata uang dan budak.
Pola perdagangan pada masa itu berlangsung silang, produksi yang di impor kerap di ekspor ke pelabuhan lain. Bandar niaga Makassar megimpor hampir seluruh produk China dan kemudian mengekspor kembali ke daerah produksi dan pusat perdagangan lain seperti Timor, Manggarai, Alor, Solor, Buton, Bima, Lombok, Ambon dan banda. Begitu sebaliknya sampai megimpor barang dari daerah-daerah tersebut untuk di ekspor ke China.
Sebelum di taklukan oleh VOC, Makassar sudah mendominasi semenanjung barat daya Sulawesi, dan menggunakan armadanya untuk bersaing dengan ternate di wilayah yang terbentang antara Maluku dan Lombok. Demikian juga ikatan-ikatan keagamaan dan Ekonomi serta aspek-aspek geografi dan kebijakan mare leberum dari kerajan Makassar merupakan daya tarik penting bagi saudagar di daerah itu. Maka dari itu persekutuan kerajaan Makassar dengan orang portugis dan orang-orang Islam menjadi suatu yang sulit ditaklukan oleh VOC yang memiliki tujuan dan pengetahuan lokal yang terbatas.
Meskipun VOC sagat bergiat untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah Maluku, namun kegiatan perdagangan Bugis, terus meningkat, dengan menggunakan dua rute utama memasuki Maluku. Keberhasilan perdagangan Bugis itu didukung kemampuan mereka dalam berlayar dan berdagang, serta bangkitnya dua kekuatan utama di kawasan tersebut yaitu Inggris dan sulu. Keduanya berhubungan dengan pasar China dan menentang monopoli dagang Belanda.[6]    
Datangnya Cina ke Aceh, meskipun sudah tercantum nama komoditi yang berasal dari Cina, seperti tembakau dan sutera, namun jumlah pedagang serta peranannya dalam bagian pertama abad XVII belum menonjol. Ditambah pada periode ini para mistikus seperti Abdurrauf dari Sinkel dan Samsudin dari pasai. Oleh karena itu kewibawaan Aceh di Jawa sangat tinggi. Dan Oleh karena letak Aceh berada di pintu gerbang Indonesia, maka tak mengherankan apabila Aceh menjadi stasiun pelayaran, terutama dari barat. Terdapat berbagai bangsa yang berdagang di Aceh : dari Benggala membawa sapi, candu dan lain-lain; dari Pegu, Calicut, Koromandel dan Gujarat didatangkan bahan tenunan.[7]
Hubungan Mataram dengan malaka untuk perdagangan beras telah terjalin, pula relasi yang stabil dengan Jambi, Palembang dan Banjarmasin. Waktu menghadapi VOC, mataram mendekati Makassar, Johor bahkan Malaka juga dengan tujuan melawan bersama-sama VOC dan menggagalkan rencananya merebut Malaka.[8]
Pada akhir tahun 1640-an, mulai ada pendekatan antara Mataram dan VOC. Dengan pulihnya perdagangan dengan VOC diharapkan adanya keuntungan banyak bagi mataram.  Dalam rangka itu, sistem monopoli dihapus khususnya komoditi beras. Raja berhak atas sebagian dari keuntungan sebagai upeti, akan tetapi timbul banyak kesulitan, pusat menganngap sumbnagan dari daerah kurang dan sebaliknya daerah mengeluh bahwa pungutan pusat terlalu berat. Dalam hubungan ini, peran VOC menjadi penting, tidak hanya sebagai pedagang tetapi juga sebagai kreditor. Mataram hendak menjalankan sistem monopoli, tetapi tidak berhasil. maka pelabuhan terpaksa ditutuppada tahun 1655 dan baru dibuka lagi pada tahun 1657.
Pada perempat ketiga abad XVII, ruang gerak pedagangan pesisir mulai menyempit. Komoditi yang masih memegang peranan ialah beras, sedang kesibukan perdagangan lada lebih berpusat di wilayah sebelah barat Indonesia, dan cengkeh serta pala sebagian berpusat di Makassar dan sebagian langsung diagkut VOC.[9]
Setelah tahun 1670-an, VOC mulai mengontrol daerah sepanjang pantai utara Jawa yang merupakan pusat pembuatan kapal seperti rembang, yang sebelumnya berada dibawah kontrol Mataram. VOC juga mencoba untuk mengontrol hutan jati di sepanjang pantai utara Jawa sebab jenis kayu ini merupakan bahan utama pembuatan kapal. Pada tahun 1743 VOC mengadakan perjanjian dengan mataram, agar memberikan legislasi kepada VOC atas monopolinya terhadap semua jenis galangan kapal di sepanjang pantai utara Jawa, kecuali perahu kecil nelayan. Kapal-kapal yang dijual ke pembeli asing harus dibuat oleh VOC. Namun demikian pada akhir abad XVIII upaya VOC untuk menjadikan pantai utara Jawa sebagai pusat galangan kapal di Hindia Belanda mereda. Memasuki abad XIX hanya tinggal dua galangan kapal yang relatif besar di pantai utara Jawa yaitu di Rembang dan Surabaya.[10]
Penutup
Dari Pembahasan diatas, kita bisa simpulkan bahwa perdagangan dan kegiatan maritim Indonesia pada masa VOC masih tetap berjalan dengan segala hiruk pikuk didalamnya. Ini membuktikan bahwa datangnya bangsa Eropa ke Nusantara tidak serta merta membuat kegiatan Meritim Indonesia ‘mati’. Bahkan daerah-daerah seperti Makassar, di awal-awa datangnya VOC, dan juga Mataram dan Malaka menjadi pusat perdagangan terbesar, dan menjadi pusat bertemunya para saudagar dari berbagai negri. meskipun harus meghadapi politik perdagangan VOC, tetapi perdagangan tetap berjalan seperti sebelum mereka datang, sampai pada akhirnya beberapa pusat perdagangan di nusantara berhasil di kuasai oleh orang-orang Eropa  melalui siasat politiknya.


Daftar Pustaka
Hamid, Abdurrahman., Sejarah Maritim Indonesia, (Yogyakarta : Penerbit Ombak, 2013).

Kartodirdjo, Sartono., Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900 Dari Emporioum Sampai Imperium Jilid 1, (Jakarta: PT Gramedia: 1988).

Soekmono, R.,  Pengantar Sedjarah Kebudajaan Indonesia Djilid III Kebudajaan Djaman Madya Sampai Mengindjak Djaman Modern, (jakarta: penerbit nasional trikarya, 1959).

Sulistiyono, Singgih tri., Pengantar Sejarah Maritim Indonesia, (jakarta: direktorat jendral pendidikan tinggi departemen pendidikan nasional : 2004).


[1] R. Soekmono., Pengantar Sedjarah Kebudajaan Indonesia Djilid Iii Kebudajaan Djaman Madya Sampai Mengindjak Djaman Modern, (jakarta: penerbit nasional trikarya, 1959), hlm. 104-105
[2] Sartono kartodirdjo., Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900 Dari Emporioum Sampai Imperium Jilid 1, (Jakarta: PT Gramedia: 1988), hlm. 66-69
[3] Singgih tri sulistiyono., Pengantar Sejarah Maritim Indonesia, (jakarta: direktorat jendral pendidikan tinggi departemen pendidikan nasional : 2004), hlm. 141
[4] Sartono kartodirdjo., Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900 Dari Emporioum Sampai Imperium Jilid 1, (Jakarta: PT Gramedia: 1988), hlm. 73
[5] Sartono Kartodirdjo, hlm. 74-79
[6] Abd Rahman Hamid., Sejarah Maritim Indonesia, (Yogyakarta : Penerbit Ombak, 2013), 156-161
[7] Sartono Kartodirdjo, hlm. 84
[8] Ibid., hlm. 68
[9] Ibid, hlm. 166-167
[10] Singgih Tri Sulistiyono, hlm. 141-142

Kamis, 12 Mei 2016

Peristiwa Geger Cilegon 1888

Pendahuluan
Indonesia pada perjalananya telah menjalani sejarah yang panjang.  Indonesia sebagai  yang besar,  mulai dari pra-hindu budha Indonesia sudah menjadi negara para pelaut. menurut teori yang menyatakan bahwa masyarakat Indonesia berperan aktif dalam penyebaran Hindu Budha ke Nusantara masa itu. Dilanjutkan pada masa Islam masuk ke nusantara. Yang pada masa itu berdiri kerajaan-kerajaan Islam yang mempunyai posisi penting dalam perdagangan dan pelayaran internasional. Seperti Banten, Malaka, Aceh, Makassar dan lain sebagainya.
Pada masa kolonial, banyak kebijakan-kebijakan yang tidak menguntungkan masyarakat pribumi. Bahkan kebijakan tersebut menyangkut Agama dan keyakinan. Masyarakat  Pribumi Indonesia dalam hal ini yang mayoritas Beragama Islam sangat dirugikan dengan kebijakan-kebijakan seperti ini. Dari itu, ketika masyarakat merasa terdesak, terjadilh pemberontakan-pemberontaka melawan kolonial karna kebijakan-kebijakannya tersebut yang tidak menguntungkan masyarakat pribumi tersebut. Maka dalam tulisan ini penulis akan membaas tentang pemberontakan Masyarakat pribumi yang dalam hal ini masyarakat pribumi Cilegon sebagai tempat kelahiran penulis sendiri.
a.      Faktor geografis sebagai suatu penyebab terjadinya pemberontakan
Secara Geografis, Banten mempunyai luasnya sekitar 114 mil persegi. Pada tahun 1892, penduduk Banten berjumlah 568.935 jiwa, dan daerah yang paling padat penduduknya adalah distrik Cilegon. Banten dapat dibagi menjadi dua yaitu Banten Utara dan Banten Selatan, Banten Utara merupakan daerah yang padat penduduknya dan tanah yang subur sudah digarap oleh penduduknya. Di Banten Utara juga penduduknya tidak hanya etnik Sunda tetapi ada yang dari Lampung, Jawa, Bugis, dan Melayu dan lain-lain.[1]
Sedangkan pada bagian Banten Selatan merupakan daerah pegunungan yang terdiri dari hutan belantara dan sangat jarang penduduknya. Serta sangat jarang menjadi ajang peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah Banten. Di selatan hanya dihuni oleh masyarakat Badui yang dalam hidupnya masih sangat sederhana. Peralatan hidup mereka masih diproduksi sendiri dan mereka selalu melestarikan alam.
Beberapa dasawarsa terakhir,sebelum terjadi pemberontakan, Banten ditimpa bencana-bencana alam yang membuat rakyat Banten frustasi yang berkepanjangan. Kejadian yang sebelumnya tidak diduga dengan kekuatan yang dahsyat telah menghancurkan segala fasilitas yang telah ada. Bencana alam yang terjadi berupa letusan Gunung Krakatau yang tidak diduga kedahsyatannya. Kebanyakan diantara masyarakat Banten hanya dapat merenungi nasib mereka akan kejadian tersebut.
Pada tahun 1879 di bumi Banten dan sekitarnya terjadilah wabah Kolera dan menjalar keseluruh wilayah jawa, sukar dipastikan dimana wabah dimulai dan pada masa itu sangat sulit sekali untuk menanggulanginya, sehingga pemerintah kolonial memobilisasi berbagai karakter orang yang mampu bekerja dengan imbalan tertentu untuk menjadi relawan, akhirnya kebijakan tersebut mengganggu kewibawaan pemerintah Kolonial pada masyarakat karena diantaranya terdapat pemabuk dan pemadat yang kebiasaannya berfoya foya dan mabuk-mabukan sehingga melalaikan tugas yang harusnya dikerjakan, karena tidak menguasai pekerjaan yang harusnya dilakukan sehingga perlakuan Petugas pada ternak (kerbau) yang terjangkit wabah panyakit dilakukan pembinasaan dengan ditembak, sementara ganti rugi tidak sesuai harapan pemilik ternak, memerkosa anak perempuan pemilik ternak, sementara pihak penguasa kolonial tidak memperdulikan sama sekali sikap perlakuan seperti itu, pada masa itu rakyat Banten sangat menderita dengan perlakuan penanganan masalah tersebut oleh Pemerintah Kolonial. 
Sebagai akibat pembantaian Kerbau secara Massal dan kuburan masal kerbau dimana-mana, di seluruh Banten terjangkit Wabah penyakit panas, pada Agustus 1880 tercatat kurang lebih 210.000 orang menderita panas 40.000 diantaranya meninggal dunia, diduga akibat penularan dari sumber air yang digunakan masyarakat pada masa itu yang tercemari kuman – kuman dari kuburan masal kerbau, karena rakyat Banten ketika terjangkit wabah penyakit pada kerbau menguburkannya tergesa-gesa tidak melakukan desinfektan terhadap kuburan kerbau, sehingga kuman dan Bakterinya menyebar menimbulkan berjangkitnya penyakit pada manusia, karena di daerah lain tidak terjadi wabah penyakit seperti yang terjadi pada rakyat Banten. Sementara pada Petugas yang disiapkan pemerintah Kolonial terjadi penyalahgunaan, obat yang seharusnya dibagikan cuma-cuma ditukar dengan ayam pada penduduk atau minuman keras (Wiski) pada pedagang Cina. 
Sehingga penanggulangan wabah tidak sesuai harapan mengakibatkan banyak jatuh korban dikalangan petani sehingga produksi bahan pokok menjadi berkurang, lahan pertanian tidak tergarap akibat langkanya kerbau untuk membajak serta tenaga kerjanya, sehingga menimbulkan kekurangan bahan makanan berakibat terjadinya kelaparan. Kebijakan pemerintah kolonial Belanda pada saat itu sudah mulai memperhatikan masyarakat Banten.
Pada Agustus 1883, meletuslah Gunung Krakatau bencana alam yang sangat dasyat meluluh lantakkan wilayah Banten. menyebabkan penderitaan yang semakin bertambah. ketika sebelumnya daerah Banten mengalami wabah penyakit ternak tahun 1879 yang menyebabkan jumlah ternak menurun. Kemudian wabah demam yang menyebabkan lebih dari sepuluh persen penduduk meninggal dunia. Dan meletusnya Gunung Krakatau yang merupakan letusan yang paling hebat yang pernah tercatat dalam sejarah vulkanologi di Indonesia. Lebih dari 20.000 orang tewas, serta banyak desa yang makmur dan sawah-sawah yang subur berubah menjadi gersang. Dengan kejadian tersebut, maka kesengsaraan melanda sebagian besar wilayah Banten.
Gelombang Tsunami yang amat dahsyat melanda pantai Barat Banten, pantai Carita, anyer. banyak manusia yang tewas tenggelam tertelan gelombang Tsunami Gunung Krakatau, Jalan antara Anyer sampai Carita yang pemandangannya cukup Indah tergenang lumpur dan bangkai manusia serta hewan berserakan dimana-mana, abu vulkanik, timbunan pohon serta persawahan yang larut dan tergenang lumpur dan abu vulkanik, pada saat itu orang Banten teringat akan Ramalan datangnya Kiamat yang sering diingatkan para Ulama supaya tersadar dari kehidupan yang telah terjadi yaitu hidup dibawah kekuasaan bangsa Kafir kolonialis Belanda. 
b.      Keresahan Sosial-keagamaan
Keresahan yang terjadi sebelum terjadi pemberontakan tersebut adalah berkaitan dengan perampokan, penyamunan, pembegalan dan lain sebagainya yang diaggap melanggar hukum. Dalam hal ini yang menjadi perampok, penyamun dan lain sebagainya dilakukan oleh kaum pemilik tanah atu aristokrat yang kehilangan harta bendanya, sehingga mereka menempuh jalan tersebut untuk mempertahankan hak-hak mereka. Sering juga antara pemberontakan dan perampokan merupakan protes rakyat terhadap penindasan pamongpraja yang bertindak sewenang-wenang. Selain itu juga adanya situasi politik yang memburuk di Banten, sehingga sering terjadi tindakan anarki, dan juga sistem administrasi yang kacau balau membuatnya semakin terpuruk.
Di lain pihak, tekanan hidup yang makin terdesak membuat warga banyak lari ke klenik (tahayul). Tersebutlah di desa Lebak Kelapa, terdapat pohon kepuh besar yang dianggap keramat, dapat memusnahkan bencana dan meluluskan yang diminta asal memberikan sesajen bagi jin, penunggu pohon. Berkali-kali Ki Wasyid mengingatkan penduduk bahwa meminta selain kepada Allah termasuk syirik. Namun fatwa Ki Wasyid tidak diindahkan. Melihat keadaan ini, Ki Wasyid dengan beberapa murid menebang pohon berhala pada malam hari. Inilah yang membawa Ki Wasyid ke depan pengadilan kolonial pada 18 November1887. Ia dipersalahkan melanggar hak orang lain sehingga dikenakan denda 7,50 gulden.[2]
Hukuman yang dijatuhkan kepada Ki Wasyid menyinggung rasa keagamaan dan rasa harga diri muridnya. Satu hal lagi yang ikut menyulut api perlawanan adalah dirobohkanmenara musala di Jombang Tengah atas perintah Asisten Residen Goebels. Goebels menganggap menara yang dipakai untuk mengalunkan azan setiap waktu salat, mengganggu ketenangan ksrena suaranya yang keras apalagi waktu azan salat subuh. Asisten Residen menginstruksikan kepada Patih agar dibuat surat edaran yang melarang salawat, tarhim dan azan dengan suara keras.[3]
Sejak terjadinya peristiwa bencana dan malapetaka yang bertubi-tubi menimpa masyarakat Banten akhirnya menjadikan kehidupan beragama menjadi meningkat dan mengarah kepada perjuangan membebaskan diri dari belenggu penjajahan, masyarakat Banten pada masa itu percaya jika penguasa Kafir dapat diusir maka masyarakat kehidupannya akan sejahtera dan kegiatan perlawananpun mulai dilakukan walaupun terselubung dengan kemasan kehidupan beragama, sementara pemerintah Kolonial Belanda melaksanakan kebijakan sistem perpajakan baru dan sistem kerjapaksa, rodi yang banyak menyengsarakan rakyat, sehingga mulailah timbul gerakan – gerakan yang mengarah terjadinya pemberontakan terhadap kolonial Belanda.
c.       Berlangsungnya geger Cilegon
Peristiwa geger cilegon diawali sejak hari Sabtu, tanggal 7 Juli 1888, diadakanlah pertemuan para kiyai untuk persiapan terakhir/pematangan gerakan di rumah Haji Akhia di Jombang Wetan. Hadir dalam pertemuan itu antara lain: Haji Sa’id dari Jaha, Haji Sapiuddin dari Leuwibeureum, Haji Madani dari Ciora, Haji Halim dari Cibeber, Haji Mahmud dari Tarate Udik, Haji Iskak dari Seneja, Haji Muhammad Arsad (penghulu kepala di Serang) dan Haji Tubagus Kusen (penghulu di Cilegon). Untuk menutupi kecurigaan Belanda atas pertemuan itu diadakan suatu kenduri besar. Sekitar jam 23.00, datang Nyi Kamsidah, istri Haji Iskak, memberitahukan bahwa Haji Wasid dan Haji Tubagus Ismail ingin bertemu dengan para kiyai yang hadir.
Maka setelah lewat tengah malam para kiyai segera berangkat ke Saneja untuk mengadakan pertemuan kedua di rumahnya Haji Ishak. Dalam pertemuan ini hadir pula Haji Abubakar, Haji Muhiddin, Haji Asnawi, Haji Sarman dari Bengkung, dan Haji Akhmad, penghulu Tanara. Haji Ashik dari Bendung, dan kiyai-kiyai dari Trumbu, tidak hadir dalam pertemuan ini karena sudah dipastikan bahwa mereka akan memulai pemberontakan pada hari Senin tanggal 29 Syawal atau 9 Juli 1888.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Haji Wasid dan Haji Ismail pergi ke Wanasaba untuk mengadakan pembicaraan dengan murid-muridnya, di antaranya Haji Sadeli dari Kaloran. Dari sana, keduanya pergi ke Gulacir, ke rumah Haji Ismail; selesai shalat magrib dengan dikawal sejumlah muridnya Haji Wasid berangkat ke Cibeber untuk kembali mengadakan pertemuan dengan murid-muridnya yang lain.
Pertemuan itu dilangsungkan di dalam masjid ─ di luar masjid sudah berkumpul pengikut-pengikut mereka, terutama dari Arjawinangun dan Gulacir ─ yang juga dihadiri oleh Haji Burak, saudara Haji Tubagus Ismail, Haji Abdulgani dari Beji, Kiyai Haji Abdulhalim dari Cibeber dan Nuh dari Tubuy; untuk membicarakan langkah terakhir pemberontakan.[4]
Pada hari itu juga dikirim utusan-utusan ke berbagai jurusan; Haji Erab diutus ke Haji Mohamad Asyik, Bendung, Haji Mahmud dan Haji Alfian diutus menemui Haji Abdulrazak, Tanara, Nasaman dan Sendanglor ke Cipeundeuy menemui Kiyai Haji Sahib, Haji Abdulhalim dan Haji Abdulgani ke Tunggak menemui Haji Usman, Haji Kasiman di Citangkil dan Haji Mahmud di Terate Udik. Ketiga yang terakhir ini diperintahkan untuk mengerahkan pejuang-pejuang dari Anyer untuk segera bergerak supaya pagi-pagi sekali sudah berada siap di Cilegon.
Sementara itu, setelah pertemuan di rumah Haji Ishak, beberapa kiyai kembali lagi ke pesta di rumah Haji Akhiya, yang pada keesokan harinya, Minggu, 8 Juli 1888, diadakan arak-arakan sambil meneriakkan takbir dan kasidahan yang dimulai dari rumah Haji Akhiya di Jombang Wetan dan berakhir di rumah Haji Tubagus Kusen, penghulu Cilegon.
Para kiyai dan murid-murid mereka memakai pakaian putih-putih dengan ikat kepala dari kain putih pula sambil membawa pedang dan tombak. Pada malam harinya barisan bertambah panjang bergerak dari Cibeber ke arah Saneja dipimpin langsung oleh Haji Wasid dan Haji Tubagus Ismail ─ yang kemudian dijadikan sebagai pusat penyerangan. Malam itu juga, dari Saneja, Haji Tubagus Ismail memimpin pengikut-pengikutnya dari Arjawinangun, Gulacir dan Cibeber bergerak menuju Cilegon untuk menyerang para pejabat pemerintah kolonial.
Pada hari Senin malam tanggal 9 Juli 1888, diadakanlah serangan umum ke Cilegon. Haji Tubagus Ismail dan Haji Usman dari Arjawinangun dan pengikutnya menyerang dari arah selatan, sedangkan pasukan yang dipimpin oleh Kiyai Haji Wasid, Kiyai Haji Usman dari Tunggak, Haji Abdul Gani dan Beji dan Haji Nuriman dari Kaligandu menyerang dari arah utara.[5]
Dengan memekikkan kalimat takbir mereka menyerbu beberapa tempat di Cilegon. Pasukan dibagi dalam beberapa kelompok: kelompok pertama dipimpin oleh Lurah Jasim, Jaro Kajuruan, menyerbu penjara untuk membebaskan para tahanan; kelompok kedua dipimpin oleh Haji Abdulgani dari Beji dan Haji Usman dari Arjawinangun menyerbu kepatihan, dan kelompok ketiga dipimpin oleh Kiyai Haji Tubagus Ismail dan Haji Usman dari Tunggak menyerang rumah Asisten Residen. Sedangkan Haji Wasid dengan beberapa pengawalnya tetap di Jombang Wetan memonitor segala kegiatan penyerbuan.[6]
Dalam keadaan yang kacau itu, Henri Francois Dumas, juru tulis di kantor Asisten Residen, dapat dibunuh oleh Haji Tubagus Ismail, demikian juga Raden Purwadiningrat, ajun kolektor, Johan Hendrik Hubert Gubbels, asisten residen Anyer, Mas Kramadireja, sipir penjara Cilegon, dan Ulric Bachet, kepala penjualan garam ─ semuanya adalah orang-orang yang tidak disenangi rakyat. Sedangkan Patih Raden Pennah, seorang pegawai negeri yang kebelanda-belandaan lolos dari kematian, karena dia sedang di Serang waktu itu.
Seperti yang sudah direncanakan semula, berbarengan dengan kejadian di Cilegon ini, di beberapa tempat juga meletus pemberontakan, seperti di Bojonegara, Balegendong, Krapyak, Grogol, Mancak dan Toyomerto. Di daerah Serang, pemberontakan dipimpin oleh Haji Muhammad Asyik, seorang ulama dari Bendung, Haji Muhammad Hanafiah dari Trumbu dan Haji Muhidin dari Cipeucang. Pusat-pusat kegiatan mereka ialah Bendung, Trumbu, Kubang, Kaloran dan Keganteran.
Sehari semalam kekacauan tidak dapat diatasi, Cilegon dapat dikuasai sepenuhnya oleh pasukan “pemberontak”. Tetapi seorang babu (pembantu rumah tangga) Gubbel dapat melarikan diri ke Serang membawa kabar kejadian di Cilegon itu. Maka Bupati bersama Kontrolir dengan 40 orang serdadu yang dipimpin oleh Letnan I Bartlemy berangkat ke Cilegon.
Terjadilah pertempuran hebat antara para pemberontak dengan tentara kolonial yang memang sudah terlatih baik, sehingga akhirnya kerusuhan dapat dipadamkan. Haji Wasid sebagai pemimpin pemberontakan dihukum gantung, sedangkan yang lainnya dihukum buang; Haji Abdurahman dan Haji Akib dibuang ke Banda, Haji Haris dibuang ke Bukit Tinggi, Haji Arsyad Thawil dibuang ke Gorontalo, Haji Arsyad Qashir dibuang ke Buton, Haji Ismail dibuang ke Flores, dan banyak lagi lainnya dibuang ke Tondano, Ternate, Kupang, Menado, Ambon, dan Saparua; semua pimpinan pemberontakan yang dibuang ini ada 94 orang.[7]
Penutup
Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa, Banten pada waktu itu mengalami kekacauan dahsyat baik dari segi geografisnya, yaitu terjadinya letusan gunung Krakatau pada 1883. Setelah sebelumnya  daerah Banten mengalami wabah penyakit ternak tahun 1879 yang menyebabkan jumlah ternak menurun. Kemudian wabah demam yang menyebabkan lebih dari sepuluh persen penduduk meninggal dunia.
Faktor sosial-keagamaan juga menjadi penyebab terjadinya peristiawa ini. tekanan hidup yang makin terdesak membuat warga banyak lari ke klenik (tahayul). Tersebutlah di desa Lebak Kelapa, terdapat pohon kepuh besar yang dianggap keramat, dapat memusnahkan bencana dan meluluskan yang diminta asal memberikan sesajen bagi jin, penunggu pohon. Berkali-kali Ki Wasyid mengingatkan penduduk bahwa meminta selain kepada Allah termasuk syirik. Namun fatwa Ki Wasyid tidak diindahkan. Melihat keadaan ini, Ki Wasyid dengan beberapa murid menebang pohon berhala pada malam hari. Inilah yang membawa Ki Wasyid ke depan pengadilan kolonial.
Berlangsungnya pemberontakan pada waktu itu diawali dengan perkumpulan para kyai yang ada di Cilegon. Menyusun strategi penyerangan sampai pada waktunya Pada hari Senin malam tanggal 9 Juli 1888, diadakanlah serangan umum ke Cilegon. Yang di mahsyur sebut Geger Cilegon.

Daftar pustaka
Hamka., Kebudayaan Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Panjimas 1982).

Kartodirdjo, Sartono.,  pengantar sejarah indonesia baru: 1500-1900 dari emporium sampai        imperium Jilid 1, (Jakarta: PT Gramedia, 1988.)

Kartodirdjo, Sartono.,  Pemberontakan Petani Banten 1888,  terjemahan Hasan Basri,       (Jakarta:  Pustaka Jaya 1984).

Pudjiastuti, Titik., perang, dagang, persahabatan: Surat-Surat Sultan Banten, (Jakarta:      Yayasan Obor Indonesia, 2007).




[1] Kartodirdjo, Sartono.,  pengantar sejarah indonesia baru: 1500-1900 dari emporium sampai imperium Jilid 1, (Jakarta: PT Gramedia, 1988.), hlm. 75
[2] HAMKA., Kebudayaan Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Panjimas 1982). hlm. 144
[3] Titik Pudjiastuti, perang, dagang, persahabatan: Surat-Surat Sultan Banten, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), hlm. 234
[4] Titik Pudjiastuti., hlm. 83
[5] Sartono kartodirjo,  hlm. 139
[6] Sartono Kartodirdjo,  Pemberontakan Petani Banten 1888,  terjemahan Hasan Basri (Jakarta:  Pustaka Jaya 1984). hlm. 301-303
[7] Sartono Kartodirdjo., Ibid., hlm. 315