Rabu, 18 Mei 2016

Kemaritiman Indonesia Pada Masa VOC (1602-1799)

Pendahuluan
Melihat dari letak geografis, Indonesia merupakan negara maritim terbesar dengan luas wilayah yang dua pertiganya adalah laut. Sudah pasti didalamnya terjadi interaksi baik perdagangan maupun diplomasi yang dilakukan melalui daerah kelautan. Maka dari itu ungkapan Indonesia negara kepulauan merupakan suatu hal yang keliru jika melihat kenyataan tersebut, yang seharusnya Indonesia disebut sebagai negara dengan laut sebagai hal yang utama. Karen arti sebenarnya dari ‘Nusantara’ bukanlan negara kepulauan, melainkan ‘negara lautan utama’.
Sejarah telah membuktikan, bahwa Indonesia merupakan negara maritim terbesar. mulai dari pra-hindu budha Indonesia sudah menjadi negara para pelaut. menurut teori yang menyatakan bahwa masyarakat Indonesia berperan aktif dalam penyebaran Hindu Budha ke Nusantara masa itu. Yang sudah pasti Masyarakat Indonesia telah ahli dalam pelayaran, baik dalam membuat kapal maupun ahli dalam navigasi.
Dilanjutkan dengan jaman kerajaan yang bercorak Hindu-budha, sriwijaya dan Majapahit menjadi basis kerajaan Maritim terbesar di Nusantara, bahkan di Asia tenggara. Sriwijaya yang menurut berita pengembara dari China I tsing, telah menguasai perdagangan sebagian besar wilayah sumatera, malaysia, dan sebagian wilayah thailand. Serta Majapahit yang hampir menguasai seluruh wilayah Nusantara yang menjadi Indonesia saat ini. Dari hal ini sudah menunjukkan dari sisi sejarah, Indonesia merupakan negara yang berbasis kemaritiman.
Hal tersebut berubah setelah masukanya kolonialisasi bangsa Eropa. Paradigma berpikir masyarakat indonesia diubah dari berpusat di kelautan menjadi berpusat pada daratan. Dengan adanya tanam paksa, kerja rodi pembangunan berbasis daratan, dan kebijakan yang berhubungan dengan pertaian dan pembagunan lainnya. Tapi apakah dengan adanya kolonialisai eropa akan serta merta menghilangkan secara total kegiatan kelautan masyarakat Indonesia?
Maka dari itu, dalam paper ini Akan membahas kegiatan kemaritiman masyarakat Indonesia pada masa Kolonialisasi Eropa khususnya pada masa VOC. Yang didalamnya akan membahas sedikit tentang kegiatan kelautan Indonesia menjelang datangnya VOC, kemudian membahas tentang kemaritiman Indonesia pada masa itu, yang didalamnya termasuk kegiatan kemaritiman, dan kebijakan perdagangan kelautan pada masa itu. 
1.      Kemaritiman Indonesia menjelang datangnya VOC
Ditemukannya Amerika oleh Colombus dan jalan ke Asia tenggara melalui tanjung harapan oleh Vasco de Gama membawa akibat besar dalam lapangan perdagangan dan pelayaran. Kota-kota perdagangan di sekitar lautan tengah (terutama Italia) tidak lagi mempunyai arti: pusat perdagangan kini pindah ke eropa barat. Kondisi demikian menimbulkan golongan baru dalam masyarakat, yaitu pengusaha-pengusaha yang menggunakan kebebasannya untuk mengeruk keuntungan sebanyak mungkin dari kemajuan dan perluasan perdagangan, satu hal yang tadinya dilarang oleg gereja. Kalau dulu kekayaan orang itu berupa tanah, kini berupa penimbunan modal (kapitalisme).
Maka demi mengeruk kekayaan para pengusaha tersebut, maka timbullah kolonialisme, di berbagai bagian di dunia, terutama di Asia dan afrika, kekuasaan orang eropa barat yang sudah ditanam mulai abad ke 17, yang di perkokoh menjadi pemerintahan langsung atau jajahan atas bangsa pribumi.[1]
Di indonesia pada masa itu, dengan bercokolnya Portugis di Malaka dan berhasil menggagalkan semua serangan dari Johor, Aceh, dan Jawa, peranan Malaka selaku pusat perdagangan pulih kembali akan tetapi hanya sebagian. Oleh karena pedagang Muslim berusaha menghindarinya. Oleh karena itu Aceh dan Banten muncul untuk menggantikan Malaka menjadi pusat perdagangan.
Sejak jatuhnya Malaka pada tahun 1511 ke tangan portugis, Aceh berusaha menarik perdagangan Internasional dan antar kepulauan nusantara. Salah satu jalan menghancurkan Malaka dan johor, jalan lain adalah menguasai pelabuhan-pelabuhan pengekspor lada dan pelabuhan transito.
Di pantai timur sumatera, setelah Pendir, Pasai, Deli dan Aru, Maka Aceh berusaha menguasai Jambi. Karna Jambi merupakan pengekspor lada yang banyak dihasilkan di daerah pedalaman, seperti Minangkabau dan yang diangkut lewat sungai Indragiri, Kampar dan Batanghari. Jambi dengan sendirinya juga menjadi pelabuhan Transito, dimana lada di ekspor ke Malaka dan beras serta bahan-bahan lain dari Jawa, Cina, India dan lain-lain. Selain itu, Aceh juga berkuasa meliputikerajaan-kerajaan di semenanjung Malaya, seperti Kedah, Perak, dan Johor. Ekspansi Aceh sejak itu berhasil menguasai perdagangan pantai barat Sumatera dan mencakup Tiku, Pariaman dan Bengkulu.
Jaringan perdagangan di Indonesia bagian barat, Banten muncul sebagai suatu simpul penting karena antara lain perdagangan ladanya yang berkembang begitu pesat, serta tempat menampung barang-barang pelarian dagang dari pesisir Jawa tengah dan Jawa timur. Disamping itu, Banten juga menarik perdagangan dan para pedagang dari Inderapura, Lampung dan Palembang.
Meskipun ekspansi Mataram menghancurkan kota-kota pesisir dan karena perdagangan setengahanya menjadi lumpuh, akan tetapi sebagai penghasil utama dan pengekspor beras posisi Mataram dalam Jaringan perdagangan di Nusantara masih berpengaruh. Sementara di bagian timur Indonesia, sebelum Malaka jatuh ke tangan Portugis, perdagangan rempah-rempah dikuasai oleh pedagang-pedagang Melayu dari Malaka, yang kemudian berpangkal di Johor dan Jawa, sedang Makassar belum muncul sebagai pelabuhan yang berarti.
Karena kedudukannya yang sangat strategis, yaitu sebagai tempat singgah ke Maluku, Filipina, Cina, Patani, kepulauan nusa tenggara dan Indonesia bagian barat pada akhir abad ke XVI, berkembanglah makasar dengan pesat sebagai pusat perdagangan. Beberapa faktor  Historis yang membuat hal ini terjadi. Pertama, kedudukan Malaka oleh Portugis mengakibatkan migrasi para pedagan Melayu, antara lain ke Makassar. Kedua, aliran migran melayu bertambah besar setelah aceh mengadakan ekspedisi terus-menerus ke Johor dan pelabuhan-pelabuhan di semenanjung Melayu. Ketiga, blokade belanda terhadap Malaka dihindari oleh pedagang-pedagang baik dai Indonesia maupun dari India, Asia barat dan Asia timur.
Pedagang-pedagang barat menjadikan Makasar mempunyai peran sentral, yan menguntungkan sekali bagi perdagangan Malaka dan Maluku. Disana berbagai pedagang dari penjuru dapat bertemu. Maka selai rempah-rempah, hiduplah pasar untuk bermacam-macam barang, antara lain: sutera, emas, perselin, berlian, intan, kayu cendana, dan lain-lain. Bertemulah diasana pedagang-pedagang dari Maluku, Abon, Seram, Kai, Aru, Tanimbar, Solor, Timor, Ende, Bima, Bali, Jawa dan lain-lain. Sedangkan pedagang Asig selain Portugis yang datang ke Makassar yaitu pedagang dari Makao, Cina, jepang, Sailan, Gujarat, dan kemudian pada awal abad ke 17 juga pedagang Belanda Inggris dan Denmark.[2]
2.      Politik perdagangan maritim VOC
Seperti telah dibahas sebelumnya, Jawa sudah menunjukkan kondisinya yang semakin lemah. Pada saat itu, Jawa tidak lagi bisa membuat satu jung dalam sepuluh tahun. Merosotnya kekuatan maritim ini di perparah dengan serbuan mataram ke kota-kota pesisir pada awal abad ke XVI. Hal ini memudahkan orang-orang eropa untuk memonopoli kawasan ini.[3]
Pada awal-awal abad XVII ketika masuknya pedagang belanda (baca:VOC), kebijakan perdagangan indonesia masih menggunakan sisitem terbuka. Sistem perdagangan seperti jual beli, penawaran, penentuan harga, kesemuanya telah mengikuti proses siste yang telah berlaku lama sejak adanya kerajaan-kerajaan di nusantara. Perdagangan rempah-rempah menjadi yang utama namun tidak terpisah dari perdagangan beras, sagu, kain dan komoditi lainnya.
Dalam menghadapi itu, maka VOC dalam usahanya menguasai perdagangan rempah-rempah, menduduki kedua basis perdagangan pada masa itu, yaitu maluku dan malaka. Dan sebagai alternatif yaitu batavia. Dari semula, VOC mengalami kesulitan dalam usahanya menerobos sistem perdagangan yang berlaku. Hal ini cukup sulit dikaernakan untuk merealisasikan hal ini dibutuhkan dukungan politik.
Baru kemudian setelah dengan usaha-usaha sebelumnya tidak berhasil, maka VOC mengunakan jalan radikal. Yaitu dengan jalan melarang semua pengangkutan barang dagang portugis dengan kapal pribumi; semua ekspor rempah-rempah perlu dihentikan, bahkan lebih drastis lagi, pohon-pohon pala dan cengkeh perlu ditebangi. Politik radikal lain dalam usaha menguasai perdagangan di nusantara ialah mengendalikan dan membatasi perdagangan Asia seperti yang telah dijalankan bangsa-bangsa Asia dan portugis sejak lama. Namun karna kelamahan VOC, yaitu kekurangan awak kapal, amunisi, dan kapal, membuat misi ini tidak berhasil dilaksanakan.[4]
 Hal ini malah merugikan VOC sendiri, pembelian rempah-rempah dengan mat uang logam ternyata sangat merugikan. Rakyat pribumi menabung hasil penjialannya, dan dengan itu bisa membeli bahan pakaian dari portugis atau pedagang bangsa lain. Langkah lain seperti memblokir selat Malakada perdagangan Portugis, akan menguntungkan bangsa barat lainnya, pedagang Jawa, Gujarat yang bebas dari persaingan portugis dapat bergerak secara laluasa. Disamping kapasitas VOC sendiri masih sangat terbatas, sehingga penghentian perdagangan di Asia akan menimbulkan kekosongan. akibatnya, banyak permintaan berbagai jenis komoditi tidak dapat terpenuhi.
Akhirnya mulailah politik perdagangan VOC dengan menggunakan kekerasan. Pertama kali di Banda, saat mengetahui bahwa kontrak rakyat bada dengan VOC tidak diindahkan dan masih melakukan perdagangan dengan pedagang Asia, seperti cina, maka direktur VOC memerintahkan rakyat Banda harus dipunahkan. Namun hal ini ditentang oleh van der Hagen yang menurutnya bertentangan dengan perikemanusiaan apabila rakyat dihukum dengan memblokade pemasukan bahan makanan dan komoditi lain. Namun politik ini tidak menunjukkan adanya keuntungan yang besar, sebaliknya pada awal beroprasinya VOC menunjukkan pasaran rempah-rempah yang membanjir sehingga merosotnya harga penjualan disana.
Dalam menghadapi kerugian tersebut, maka VOC berusaha mengalihkan kegiatan perdagangannya ke pedagang komoditi Asia. Disamping itu, VOC mencoba menarik perdagangan pribumi dan bangsa Asia ke pusat-pusat yang dikuasainya, seperti Batavia dan Ambon, dengan tujuan menarik pajak dan keuntungan lainnya.
Rempah-rempah yang datang dari Maluku ditembah beras kemudian di angkut ke jurusan barat, khususnya malaka. Dari malaka ini diangkutlah bahan kain dan komoditiyang berasal dari Asia lainnya. Kehadiran VOC di Indonesia dan kegiatan monopolitis yang hendak di jalankan secara langsung membahayakan Gersik, Surabaya dan kota-kota perdagangan di pesisir Jawa timur lainnya. Karena dengan kedatangannya mengakibatkan penjualan rempah menurun, disebabkan di halang-halanginya penjualan rempah-rempah ke Malaka.
Perdagangan beras dengan pasaran jauh lebih rendah harganya terdapat di Jepara, maka menarik pedagang dari segala penjuru, khususnya dari Malaka, Jambi, Banten, Makassar dan Maluku. Kalau harga Beras di Banten dan di Maluku sekitar 40 atau 50 real per koyan atau 2 ton, di Jepara hanya 15 real.
Banten sebagai daerah yang dekat dengan VOC di Batavia segera mengalami kemunduran yang disebabkan oleh politik monopoli VOC. Hubungan perdagangan Banten dan Malaka sebelumnya sangat baik, rempah-rempah dan lada di ambil di Banten dan bahan pakaian di jual di tempat itu oleh Portugis. Namun waktu Ambon dan Banda di blokade Belanda, perdagangan rempah-rempah menyusut sekali, sedang permintaan akan bahan pakaian sangat terbatas.
Pada awal abad XVII, VOC menghadapi persaingan, kalau bukan perlawanan, dari pedagang Asia non Indonesia, seperti Gujarat, keling, Bengali, dan Cina. Komoditi yang mereka kuasai ternyata mempunyai nilai tukar tinggi di Indonesia maka haalhandel ternyata sangat menguntungkan, sering melebihi perdagangan rempah-rempahnya.
Sehubungan dengan itu, VOC pada 1624 di Formosa (Taiwan) didirikan benteng zeenlandia, loji di Dhesima, dekat Nagasaki (1674), di Siam (1607), Kambodia (1620), Annam (1636), Tonkin (1637), di Arakan (1610). Dan kantor-kantor telah dibuka di beberapa tempat di India sejak 1604. Dan VOC juga membangun di Mauritius (1638) dan tanjung harapan (1647).
Dalam daerah perdagangan yang meliputi wilayah dari Surat sampai Dhesima, VOC beroperasi dengan angkatan kapal dagang yang bertambah besar sejajar dengan perluasan perdagangannya. Diantara kapal-kapal tersebut ada yang berhenti di Bataviasambil menunggu keberangkatannya ke Netherland yang menurut tafsiranyang sedang berlayar mencapai jumlah 12 sampai 14 ribu ton. Dibanding dengan tonage angkatan kapal lainnya, maka perkapalan VOC tidak terlalu besar volume angkatannya. Perkapalan Indonesia ada 50 ribu ton, Cina dan Siam 18 ribu ton, aceh 3 ribu ton.[5]
3.      Kegiatan kemaritiman
Kegiatan perdagangan maritim yang menggunakan perahu dan kapal layardipengaruhi oleh angin muson, yaitu muson barat dan muson timur. Perubahan muson tersebut menciptakan dua jalur pelayaran dan perdagangan yaitu timur-barat dan utara-selatan. Jalur timur-barat menciptakan dua jalur pelayaran penting. Pertama, dari Malaka menyusuri pesisir utama pulau Sumatera atau pulau Jawa, terus ke Nusa tenggara sampai pulau Flores dan melayar melalui Malukubagi yang mencari rempah-rempahdan juga ke Timor dan Sumba untuk memperoleh kayu cendana. Kedua, Malaka ke Tanjung pura kemudian ke Makassar terus menuju Buton sampai ke Maluku, dan kembali ke jalur yang sama.
Dalam abad ke-16, para pedagang Portugis pernah menggunakan jalur utara melintasi pesisir utara Kalimantan lalu ke utara Sualwesi, kemudian memasuki Ternate dan pulau-pulau penghasil rempah-rempah di Maluku, dan kembali dengan jalur yang sama. Ketika Bandar niaga Makassar berkembang, jalur perdagangan pelaut dan jalur pedagang Sulawesi Selatan, ke berbagai daerah produksi juga berkembang. Satu setengah abad kemudian, sebelum ditaklukan oleh Belanda, Makassar berkembang menjadi satu mata rantai perdagangan rempah-rempah Maluku dan hasil laut dan hutan. Komoditinya seperti lilin, dan temputung penyu, juga budak dari Kalimantan, Philipina bagian selatan, serta Flores, Solor, Timor, Alor, dan Tanimbar. Komoditi tersebut bersama dengan kayu cendana yang berharga, ditukar dengan tekstil India. Emas dikumpulkan dari banyak tempat dan di ekspor ke Aceh. Dan masih bayak lagi produk berupa Logam dan komoditi lainnya.
Jalur dan aktivitas maritim terganggu setelah VOC berhasil memaksakan monopolinya pada paruh kedia abad-17 dengan cara berdagang sendiri (allen Handel). Tetapi kondisi itu berubah seiring dikenalnya produksi teh, sebuah primadona baru dari China dalam perdagangan Asia tenggara. Permintaan China meningkat terhadap produksi laut berupa tripang, agar-agar, kerang, sirip ikan hiu, sisik penyu, dan kerang mutiara, selain itu dari bagian barat,  (eropa, Arab, India dan Malaka) berupa tekstil, permadani, mata uang emas dan candu. Produksi dari utara yaitu China, Jepang, dan Philipina, adalah porselin, sutera, bahan sutera, loyang China, gong China kecil, gading gajah, ringgit Spanyol, rediks Cina, jenis-jenis perhiasan emas, tembaga jepang, ketel tembaga, berjenis mata uang dan budak.
Pola perdagangan pada masa itu berlangsung silang, produksi yang di impor kerap di ekspor ke pelabuhan lain. Bandar niaga Makassar megimpor hampir seluruh produk China dan kemudian mengekspor kembali ke daerah produksi dan pusat perdagangan lain seperti Timor, Manggarai, Alor, Solor, Buton, Bima, Lombok, Ambon dan banda. Begitu sebaliknya sampai megimpor barang dari daerah-daerah tersebut untuk di ekspor ke China.
Sebelum di taklukan oleh VOC, Makassar sudah mendominasi semenanjung barat daya Sulawesi, dan menggunakan armadanya untuk bersaing dengan ternate di wilayah yang terbentang antara Maluku dan Lombok. Demikian juga ikatan-ikatan keagamaan dan Ekonomi serta aspek-aspek geografi dan kebijakan mare leberum dari kerajan Makassar merupakan daya tarik penting bagi saudagar di daerah itu. Maka dari itu persekutuan kerajaan Makassar dengan orang portugis dan orang-orang Islam menjadi suatu yang sulit ditaklukan oleh VOC yang memiliki tujuan dan pengetahuan lokal yang terbatas.
Meskipun VOC sagat bergiat untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah Maluku, namun kegiatan perdagangan Bugis, terus meningkat, dengan menggunakan dua rute utama memasuki Maluku. Keberhasilan perdagangan Bugis itu didukung kemampuan mereka dalam berlayar dan berdagang, serta bangkitnya dua kekuatan utama di kawasan tersebut yaitu Inggris dan sulu. Keduanya berhubungan dengan pasar China dan menentang monopoli dagang Belanda.[6]    
Datangnya Cina ke Aceh, meskipun sudah tercantum nama komoditi yang berasal dari Cina, seperti tembakau dan sutera, namun jumlah pedagang serta peranannya dalam bagian pertama abad XVII belum menonjol. Ditambah pada periode ini para mistikus seperti Abdurrauf dari Sinkel dan Samsudin dari pasai. Oleh karena itu kewibawaan Aceh di Jawa sangat tinggi. Dan Oleh karena letak Aceh berada di pintu gerbang Indonesia, maka tak mengherankan apabila Aceh menjadi stasiun pelayaran, terutama dari barat. Terdapat berbagai bangsa yang berdagang di Aceh : dari Benggala membawa sapi, candu dan lain-lain; dari Pegu, Calicut, Koromandel dan Gujarat didatangkan bahan tenunan.[7]
Hubungan Mataram dengan malaka untuk perdagangan beras telah terjalin, pula relasi yang stabil dengan Jambi, Palembang dan Banjarmasin. Waktu menghadapi VOC, mataram mendekati Makassar, Johor bahkan Malaka juga dengan tujuan melawan bersama-sama VOC dan menggagalkan rencananya merebut Malaka.[8]
Pada akhir tahun 1640-an, mulai ada pendekatan antara Mataram dan VOC. Dengan pulihnya perdagangan dengan VOC diharapkan adanya keuntungan banyak bagi mataram.  Dalam rangka itu, sistem monopoli dihapus khususnya komoditi beras. Raja berhak atas sebagian dari keuntungan sebagai upeti, akan tetapi timbul banyak kesulitan, pusat menganngap sumbnagan dari daerah kurang dan sebaliknya daerah mengeluh bahwa pungutan pusat terlalu berat. Dalam hubungan ini, peran VOC menjadi penting, tidak hanya sebagai pedagang tetapi juga sebagai kreditor. Mataram hendak menjalankan sistem monopoli, tetapi tidak berhasil. maka pelabuhan terpaksa ditutuppada tahun 1655 dan baru dibuka lagi pada tahun 1657.
Pada perempat ketiga abad XVII, ruang gerak pedagangan pesisir mulai menyempit. Komoditi yang masih memegang peranan ialah beras, sedang kesibukan perdagangan lada lebih berpusat di wilayah sebelah barat Indonesia, dan cengkeh serta pala sebagian berpusat di Makassar dan sebagian langsung diagkut VOC.[9]
Setelah tahun 1670-an, VOC mulai mengontrol daerah sepanjang pantai utara Jawa yang merupakan pusat pembuatan kapal seperti rembang, yang sebelumnya berada dibawah kontrol Mataram. VOC juga mencoba untuk mengontrol hutan jati di sepanjang pantai utara Jawa sebab jenis kayu ini merupakan bahan utama pembuatan kapal. Pada tahun 1743 VOC mengadakan perjanjian dengan mataram, agar memberikan legislasi kepada VOC atas monopolinya terhadap semua jenis galangan kapal di sepanjang pantai utara Jawa, kecuali perahu kecil nelayan. Kapal-kapal yang dijual ke pembeli asing harus dibuat oleh VOC. Namun demikian pada akhir abad XVIII upaya VOC untuk menjadikan pantai utara Jawa sebagai pusat galangan kapal di Hindia Belanda mereda. Memasuki abad XIX hanya tinggal dua galangan kapal yang relatif besar di pantai utara Jawa yaitu di Rembang dan Surabaya.[10]
Penutup
Dari Pembahasan diatas, kita bisa simpulkan bahwa perdagangan dan kegiatan maritim Indonesia pada masa VOC masih tetap berjalan dengan segala hiruk pikuk didalamnya. Ini membuktikan bahwa datangnya bangsa Eropa ke Nusantara tidak serta merta membuat kegiatan Meritim Indonesia ‘mati’. Bahkan daerah-daerah seperti Makassar, di awal-awa datangnya VOC, dan juga Mataram dan Malaka menjadi pusat perdagangan terbesar, dan menjadi pusat bertemunya para saudagar dari berbagai negri. meskipun harus meghadapi politik perdagangan VOC, tetapi perdagangan tetap berjalan seperti sebelum mereka datang, sampai pada akhirnya beberapa pusat perdagangan di nusantara berhasil di kuasai oleh orang-orang Eropa  melalui siasat politiknya.


Daftar Pustaka
Hamid, Abdurrahman., Sejarah Maritim Indonesia, (Yogyakarta : Penerbit Ombak, 2013).

Kartodirdjo, Sartono., Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900 Dari Emporioum Sampai Imperium Jilid 1, (Jakarta: PT Gramedia: 1988).

Soekmono, R.,  Pengantar Sedjarah Kebudajaan Indonesia Djilid III Kebudajaan Djaman Madya Sampai Mengindjak Djaman Modern, (jakarta: penerbit nasional trikarya, 1959).

Sulistiyono, Singgih tri., Pengantar Sejarah Maritim Indonesia, (jakarta: direktorat jendral pendidikan tinggi departemen pendidikan nasional : 2004).


[1] R. Soekmono., Pengantar Sedjarah Kebudajaan Indonesia Djilid Iii Kebudajaan Djaman Madya Sampai Mengindjak Djaman Modern, (jakarta: penerbit nasional trikarya, 1959), hlm. 104-105
[2] Sartono kartodirdjo., Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900 Dari Emporioum Sampai Imperium Jilid 1, (Jakarta: PT Gramedia: 1988), hlm. 66-69
[3] Singgih tri sulistiyono., Pengantar Sejarah Maritim Indonesia, (jakarta: direktorat jendral pendidikan tinggi departemen pendidikan nasional : 2004), hlm. 141
[4] Sartono kartodirdjo., Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900 Dari Emporioum Sampai Imperium Jilid 1, (Jakarta: PT Gramedia: 1988), hlm. 73
[5] Sartono Kartodirdjo, hlm. 74-79
[6] Abd Rahman Hamid., Sejarah Maritim Indonesia, (Yogyakarta : Penerbit Ombak, 2013), 156-161
[7] Sartono Kartodirdjo, hlm. 84
[8] Ibid., hlm. 68
[9] Ibid, hlm. 166-167
[10] Singgih Tri Sulistiyono, hlm. 141-142

Tidak ada komentar:

Posting Komentar