Pendahuluan
Melihat
dari letak geografis, Indonesia merupakan negara maritim terbesar dengan luas
wilayah yang dua pertiganya adalah laut. Sudah pasti didalamnya terjadi
interaksi baik perdagangan maupun diplomasi yang dilakukan melalui daerah
kelautan. Maka dari itu ungkapan Indonesia negara kepulauan merupakan suatu hal
yang keliru jika melihat kenyataan tersebut, yang seharusnya Indonesia disebut
sebagai negara dengan laut sebagai hal yang utama. Karen arti sebenarnya dari
‘Nusantara’ bukanlan negara kepulauan, melainkan ‘negara lautan utama’.
Sejarah
telah membuktikan, bahwa Indonesia merupakan negara maritim terbesar. mulai
dari pra-hindu budha Indonesia sudah menjadi negara para pelaut. menurut teori
yang menyatakan bahwa masyarakat Indonesia berperan aktif dalam penyebaran
Hindu Budha ke Nusantara masa itu. Yang sudah pasti Masyarakat Indonesia telah
ahli dalam pelayaran, baik dalam membuat kapal maupun ahli dalam navigasi.
Dilanjutkan
dengan jaman kerajaan yang bercorak Hindu-budha, sriwijaya dan Majapahit
menjadi basis kerajaan Maritim terbesar di Nusantara, bahkan di Asia tenggara.
Sriwijaya yang menurut berita pengembara dari China I tsing, telah menguasai perdagangan
sebagian besar wilayah sumatera, malaysia, dan sebagian wilayah thailand. Serta
Majapahit yang hampir menguasai seluruh wilayah Nusantara yang menjadi
Indonesia saat ini. Dari hal ini sudah menunjukkan dari sisi sejarah, Indonesia
merupakan negara yang berbasis kemaritiman.
Hal
tersebut berubah setelah masukanya kolonialisasi bangsa Eropa. Paradigma
berpikir masyarakat indonesia diubah dari berpusat di kelautan menjadi berpusat
pada daratan. Dengan adanya tanam paksa, kerja rodi pembangunan berbasis
daratan, dan kebijakan yang berhubungan dengan pertaian dan pembagunan lainnya.
Tapi apakah dengan adanya kolonialisai eropa akan serta merta menghilangkan
secara total kegiatan kelautan masyarakat Indonesia?
Maka
dari itu, dalam paper ini Akan membahas kegiatan kemaritiman masyarakat
Indonesia pada masa Kolonialisasi Eropa khususnya pada masa VOC. Yang didalamnya
akan membahas sedikit tentang kegiatan kelautan Indonesia menjelang datangnya
VOC, kemudian membahas tentang kemaritiman Indonesia pada masa itu, yang
didalamnya termasuk kegiatan kemaritiman, dan kebijakan perdagangan kelautan
pada masa itu.
1. Kemaritiman Indonesia menjelang datangnya VOC
Ditemukannya
Amerika oleh Colombus dan jalan ke Asia tenggara melalui tanjung harapan oleh
Vasco de Gama membawa akibat besar dalam lapangan perdagangan dan pelayaran.
Kota-kota perdagangan di sekitar lautan tengah (terutama Italia) tidak lagi
mempunyai arti: pusat perdagangan kini pindah ke eropa barat. Kondisi demikian
menimbulkan golongan baru dalam masyarakat, yaitu pengusaha-pengusaha yang
menggunakan kebebasannya untuk mengeruk keuntungan sebanyak mungkin dari kemajuan
dan perluasan perdagangan, satu hal yang tadinya dilarang oleg gereja. Kalau
dulu kekayaan orang itu berupa tanah, kini berupa penimbunan modal (kapitalisme).
Maka
demi mengeruk kekayaan para pengusaha tersebut, maka timbullah kolonialisme, di
berbagai bagian di dunia, terutama di Asia dan afrika, kekuasaan orang eropa
barat yang sudah ditanam mulai abad ke 17, yang di perkokoh menjadi pemerintahan
langsung atau jajahan atas bangsa pribumi.[1]
Di
indonesia pada masa itu, dengan bercokolnya Portugis di Malaka dan berhasil
menggagalkan semua serangan dari Johor, Aceh, dan Jawa, peranan Malaka selaku
pusat perdagangan pulih kembali akan tetapi hanya sebagian. Oleh karena
pedagang Muslim berusaha menghindarinya. Oleh karena itu Aceh dan Banten muncul
untuk menggantikan Malaka menjadi pusat perdagangan.
Sejak
jatuhnya Malaka pada tahun 1511 ke tangan portugis, Aceh berusaha menarik
perdagangan Internasional dan antar kepulauan nusantara. Salah satu jalan
menghancurkan Malaka dan johor, jalan lain adalah menguasai pelabuhan-pelabuhan
pengekspor lada dan pelabuhan transito.
Di
pantai timur sumatera, setelah Pendir, Pasai, Deli dan Aru, Maka Aceh berusaha
menguasai Jambi. Karna Jambi merupakan pengekspor lada yang banyak dihasilkan
di daerah pedalaman, seperti Minangkabau dan yang diangkut lewat sungai
Indragiri, Kampar dan Batanghari. Jambi dengan sendirinya juga menjadi
pelabuhan Transito, dimana lada di ekspor ke Malaka dan beras serta bahan-bahan
lain dari Jawa, Cina, India dan lain-lain. Selain itu, Aceh juga berkuasa
meliputikerajaan-kerajaan di semenanjung Malaya, seperti Kedah, Perak, dan
Johor. Ekspansi Aceh sejak itu berhasil menguasai perdagangan pantai barat Sumatera
dan mencakup Tiku, Pariaman dan Bengkulu.
Jaringan
perdagangan di Indonesia bagian barat, Banten muncul sebagai suatu simpul
penting karena antara lain perdagangan ladanya yang berkembang begitu pesat, serta
tempat menampung barang-barang pelarian dagang dari pesisir Jawa tengah dan
Jawa timur. Disamping itu, Banten juga menarik perdagangan dan para pedagang dari
Inderapura, Lampung dan Palembang.
Meskipun
ekspansi Mataram menghancurkan kota-kota pesisir dan karena perdagangan
setengahanya menjadi lumpuh, akan tetapi sebagai penghasil utama dan pengekspor
beras posisi Mataram dalam Jaringan perdagangan di Nusantara masih berpengaruh.
Sementara di bagian timur Indonesia, sebelum Malaka jatuh ke tangan Portugis,
perdagangan rempah-rempah dikuasai oleh pedagang-pedagang Melayu dari Malaka,
yang kemudian berpangkal di Johor dan Jawa, sedang Makassar belum muncul
sebagai pelabuhan yang berarti.
Karena
kedudukannya yang sangat strategis, yaitu sebagai tempat singgah ke Maluku,
Filipina, Cina, Patani, kepulauan nusa tenggara dan Indonesia bagian barat pada
akhir abad ke XVI, berkembanglah makasar dengan pesat sebagai pusat
perdagangan. Beberapa faktor Historis
yang membuat hal ini terjadi. Pertama, kedudukan Malaka oleh Portugis
mengakibatkan migrasi para pedagan Melayu, antara lain ke Makassar. Kedua,
aliran migran melayu bertambah besar setelah aceh mengadakan ekspedisi
terus-menerus ke Johor dan pelabuhan-pelabuhan di semenanjung Melayu. Ketiga,
blokade belanda terhadap Malaka dihindari oleh pedagang-pedagang baik dai
Indonesia maupun dari India, Asia barat dan Asia timur.
Pedagang-pedagang
barat menjadikan Makasar mempunyai peran sentral, yan menguntungkan sekali bagi
perdagangan Malaka dan Maluku. Disana berbagai pedagang dari penjuru dapat bertemu.
Maka selai rempah-rempah, hiduplah pasar untuk bermacam-macam barang, antara
lain: sutera, emas, perselin, berlian, intan, kayu cendana, dan lain-lain.
Bertemulah diasana pedagang-pedagang dari Maluku, Abon, Seram, Kai, Aru,
Tanimbar, Solor, Timor, Ende, Bima, Bali, Jawa dan lain-lain. Sedangkan
pedagang Asig selain Portugis yang datang ke Makassar yaitu pedagang dari
Makao, Cina, jepang, Sailan, Gujarat, dan kemudian pada awal abad ke 17 juga
pedagang Belanda Inggris dan Denmark.[2]
2. Politik perdagangan maritim VOC
Seperti
telah dibahas sebelumnya, Jawa sudah menunjukkan kondisinya yang semakin lemah.
Pada saat itu, Jawa tidak lagi bisa membuat satu jung dalam sepuluh tahun.
Merosotnya kekuatan maritim ini di perparah dengan serbuan mataram ke kota-kota
pesisir pada awal abad ke XVI. Hal ini memudahkan orang-orang eropa untuk
memonopoli kawasan ini.[3]
Pada
awal-awal abad XVII ketika masuknya pedagang belanda (baca:VOC), kebijakan
perdagangan indonesia masih menggunakan sisitem terbuka. Sistem perdagangan
seperti jual beli, penawaran, penentuan harga, kesemuanya telah mengikuti
proses siste yang telah berlaku lama sejak adanya kerajaan-kerajaan di
nusantara. Perdagangan rempah-rempah menjadi yang utama namun tidak terpisah
dari perdagangan beras, sagu, kain dan komoditi lainnya.
Dalam
menghadapi itu, maka VOC dalam usahanya menguasai perdagangan rempah-rempah,
menduduki kedua basis perdagangan pada masa itu, yaitu maluku dan malaka. Dan
sebagai alternatif yaitu batavia. Dari semula, VOC mengalami kesulitan dalam
usahanya menerobos sistem perdagangan yang berlaku. Hal ini cukup sulit
dikaernakan untuk merealisasikan hal ini dibutuhkan dukungan politik.
Baru
kemudian setelah dengan usaha-usaha sebelumnya tidak berhasil, maka VOC
mengunakan jalan radikal. Yaitu dengan jalan melarang semua pengangkutan barang
dagang portugis dengan kapal pribumi; semua ekspor rempah-rempah perlu
dihentikan, bahkan lebih drastis lagi, pohon-pohon pala dan cengkeh perlu
ditebangi. Politik radikal lain dalam usaha menguasai perdagangan di nusantara ialah
mengendalikan dan membatasi perdagangan Asia seperti yang telah dijalankan
bangsa-bangsa Asia dan portugis sejak lama. Namun karna kelamahan VOC, yaitu
kekurangan awak kapal, amunisi, dan kapal, membuat misi ini tidak berhasil
dilaksanakan.[4]
Hal ini malah merugikan VOC sendiri, pembelian
rempah-rempah dengan mat uang logam ternyata sangat merugikan. Rakyat pribumi
menabung hasil penjialannya, dan dengan itu bisa membeli bahan pakaian dari
portugis atau pedagang bangsa lain. Langkah lain seperti memblokir selat
Malakada perdagangan Portugis, akan menguntungkan bangsa barat lainnya,
pedagang Jawa, Gujarat yang bebas dari persaingan portugis dapat bergerak
secara laluasa. Disamping kapasitas VOC sendiri masih sangat terbatas, sehingga
penghentian perdagangan di Asia akan menimbulkan kekosongan. akibatnya, banyak
permintaan berbagai jenis komoditi tidak dapat terpenuhi.
Akhirnya
mulailah politik perdagangan VOC dengan menggunakan kekerasan. Pertama kali di
Banda, saat mengetahui bahwa kontrak rakyat bada dengan VOC tidak diindahkan
dan masih melakukan perdagangan dengan pedagang Asia, seperti cina, maka
direktur VOC memerintahkan rakyat Banda harus dipunahkan. Namun hal ini
ditentang oleh van der Hagen yang menurutnya bertentangan dengan perikemanusiaan
apabila rakyat dihukum dengan memblokade pemasukan bahan makanan dan komoditi
lain. Namun politik ini tidak menunjukkan adanya keuntungan yang besar,
sebaliknya pada awal beroprasinya VOC menunjukkan pasaran rempah-rempah yang
membanjir sehingga merosotnya harga penjualan disana.
Dalam
menghadapi kerugian tersebut, maka VOC berusaha mengalihkan kegiatan
perdagangannya ke pedagang komoditi Asia. Disamping itu, VOC mencoba menarik
perdagangan pribumi dan bangsa Asia ke pusat-pusat yang dikuasainya, seperti
Batavia dan Ambon, dengan tujuan menarik pajak dan keuntungan lainnya.
Rempah-rempah
yang datang dari Maluku ditembah beras kemudian di angkut ke jurusan barat,
khususnya malaka. Dari malaka ini diangkutlah bahan kain dan komoditiyang
berasal dari Asia lainnya. Kehadiran VOC di Indonesia dan kegiatan monopolitis
yang hendak di jalankan secara langsung membahayakan Gersik, Surabaya dan
kota-kota perdagangan di pesisir Jawa timur lainnya. Karena dengan
kedatangannya mengakibatkan penjualan rempah menurun, disebabkan di
halang-halanginya penjualan rempah-rempah ke Malaka.
Perdagangan
beras dengan pasaran jauh lebih rendah harganya terdapat di Jepara, maka
menarik pedagang dari segala penjuru, khususnya dari Malaka, Jambi, Banten,
Makassar dan Maluku. Kalau harga Beras di Banten dan di Maluku sekitar 40 atau
50 real per koyan atau 2 ton, di Jepara hanya 15 real.
Banten
sebagai daerah yang dekat dengan VOC di Batavia segera mengalami kemunduran
yang disebabkan oleh politik monopoli VOC. Hubungan perdagangan Banten dan
Malaka sebelumnya sangat baik, rempah-rempah dan lada di ambil di Banten dan
bahan pakaian di jual di tempat itu oleh Portugis. Namun waktu Ambon dan Banda
di blokade Belanda, perdagangan rempah-rempah menyusut sekali, sedang
permintaan akan bahan pakaian sangat terbatas.
Pada
awal abad XVII, VOC menghadapi persaingan, kalau bukan perlawanan, dari
pedagang Asia non Indonesia, seperti Gujarat, keling, Bengali, dan Cina.
Komoditi yang mereka kuasai ternyata mempunyai nilai tukar tinggi di Indonesia
maka haalhandel ternyata sangat menguntungkan, sering melebihi perdagangan
rempah-rempahnya.
Sehubungan
dengan itu, VOC pada 1624 di Formosa (Taiwan) didirikan benteng zeenlandia,
loji di Dhesima, dekat Nagasaki (1674), di Siam (1607), Kambodia (1620), Annam
(1636), Tonkin (1637), di Arakan (1610). Dan kantor-kantor telah dibuka di
beberapa tempat di India sejak 1604. Dan VOC juga membangun di Mauritius (1638)
dan tanjung harapan (1647).
Dalam
daerah perdagangan yang meliputi wilayah dari Surat sampai Dhesima, VOC
beroperasi dengan angkatan kapal dagang yang bertambah besar sejajar dengan
perluasan perdagangannya. Diantara kapal-kapal tersebut ada yang berhenti di
Bataviasambil menunggu keberangkatannya ke Netherland yang menurut tafsiranyang
sedang berlayar mencapai jumlah 12 sampai 14 ribu ton. Dibanding dengan tonage angkatan kapal lainnya, maka
perkapalan VOC tidak terlalu besar volume angkatannya. Perkapalan Indonesia ada
50 ribu ton, Cina dan Siam 18 ribu ton, aceh 3 ribu ton.[5]
3. Kegiatan kemaritiman
Kegiatan
perdagangan maritim yang menggunakan perahu dan kapal layardipengaruhi oleh
angin muson, yaitu muson barat dan muson timur. Perubahan muson tersebut
menciptakan dua jalur pelayaran dan perdagangan yaitu timur-barat dan
utara-selatan. Jalur timur-barat menciptakan dua jalur pelayaran penting.
Pertama, dari Malaka menyusuri pesisir utama pulau Sumatera atau pulau Jawa,
terus ke Nusa tenggara sampai pulau Flores dan melayar melalui Malukubagi yang
mencari rempah-rempahdan juga ke Timor dan Sumba untuk memperoleh kayu cendana.
Kedua, Malaka ke Tanjung pura kemudian ke Makassar terus menuju Buton sampai ke
Maluku, dan kembali ke jalur yang sama.
Dalam
abad ke-16, para pedagang Portugis pernah menggunakan jalur utara melintasi
pesisir utara Kalimantan lalu ke utara Sualwesi, kemudian memasuki Ternate dan
pulau-pulau penghasil rempah-rempah di Maluku, dan kembali dengan jalur yang
sama. Ketika Bandar niaga Makassar berkembang, jalur perdagangan pelaut dan
jalur pedagang Sulawesi Selatan, ke berbagai daerah produksi juga berkembang.
Satu setengah abad kemudian, sebelum ditaklukan oleh Belanda, Makassar
berkembang menjadi satu mata rantai perdagangan rempah-rempah Maluku dan hasil
laut dan hutan. Komoditinya seperti lilin, dan temputung penyu, juga budak dari
Kalimantan, Philipina bagian selatan, serta Flores, Solor, Timor, Alor, dan
Tanimbar. Komoditi tersebut bersama dengan kayu cendana yang berharga, ditukar
dengan tekstil India. Emas dikumpulkan dari banyak tempat dan di ekspor ke
Aceh. Dan masih bayak lagi produk berupa Logam dan komoditi lainnya.
Jalur
dan aktivitas maritim terganggu setelah VOC berhasil memaksakan monopolinya
pada paruh kedia abad-17 dengan cara berdagang sendiri (allen Handel). Tetapi kondisi itu berubah seiring dikenalnya
produksi teh, sebuah primadona baru dari China dalam perdagangan Asia tenggara.
Permintaan China meningkat terhadap produksi laut berupa tripang, agar-agar,
kerang, sirip ikan hiu, sisik penyu, dan kerang mutiara, selain itu dari bagian
barat, (eropa, Arab, India dan Malaka)
berupa tekstil, permadani, mata uang emas dan candu. Produksi dari utara yaitu
China, Jepang, dan Philipina, adalah porselin, sutera, bahan sutera, loyang
China, gong China kecil, gading gajah, ringgit Spanyol, rediks Cina,
jenis-jenis perhiasan emas, tembaga jepang, ketel tembaga, berjenis mata uang
dan budak.
Pola
perdagangan pada masa itu berlangsung silang, produksi yang di impor kerap di
ekspor ke pelabuhan lain. Bandar niaga Makassar megimpor hampir seluruh produk
China dan kemudian mengekspor kembali ke daerah produksi dan pusat perdagangan
lain seperti Timor, Manggarai, Alor, Solor, Buton, Bima, Lombok, Ambon dan
banda. Begitu sebaliknya sampai megimpor barang dari daerah-daerah tersebut
untuk di ekspor ke China.
Sebelum
di taklukan oleh VOC, Makassar sudah mendominasi semenanjung barat daya
Sulawesi, dan menggunakan armadanya untuk bersaing dengan ternate di wilayah
yang terbentang antara Maluku dan Lombok. Demikian juga ikatan-ikatan keagamaan
dan Ekonomi serta aspek-aspek geografi dan kebijakan mare leberum dari kerajan Makassar merupakan daya tarik penting
bagi saudagar di daerah itu. Maka dari itu persekutuan kerajaan Makassar dengan
orang portugis dan orang-orang Islam menjadi suatu yang sulit ditaklukan oleh
VOC yang memiliki tujuan dan pengetahuan lokal yang terbatas.
Meskipun
VOC sagat bergiat untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah Maluku, namun
kegiatan perdagangan Bugis, terus meningkat, dengan menggunakan dua rute utama
memasuki Maluku. Keberhasilan perdagangan Bugis itu didukung kemampuan mereka
dalam berlayar dan berdagang, serta bangkitnya dua kekuatan utama di kawasan
tersebut yaitu Inggris dan sulu. Keduanya berhubungan dengan pasar China dan
menentang monopoli dagang Belanda.[6]
Datangnya
Cina ke Aceh, meskipun sudah tercantum nama komoditi yang berasal dari Cina,
seperti tembakau dan sutera, namun jumlah pedagang serta peranannya dalam
bagian pertama abad XVII belum menonjol. Ditambah pada periode ini para
mistikus seperti Abdurrauf dari Sinkel dan Samsudin dari pasai. Oleh karena itu
kewibawaan Aceh di Jawa sangat tinggi. Dan Oleh karena letak Aceh berada di
pintu gerbang Indonesia, maka tak mengherankan apabila Aceh menjadi stasiun
pelayaran, terutama dari barat. Terdapat berbagai bangsa yang berdagang di Aceh
: dari Benggala membawa sapi, candu dan lain-lain; dari Pegu, Calicut,
Koromandel dan Gujarat didatangkan bahan tenunan.[7]
Hubungan
Mataram dengan malaka untuk perdagangan beras telah terjalin, pula relasi yang
stabil dengan Jambi, Palembang dan Banjarmasin. Waktu menghadapi VOC, mataram
mendekati Makassar, Johor bahkan Malaka juga dengan tujuan melawan bersama-sama
VOC dan menggagalkan rencananya merebut Malaka.[8]
Pada
akhir tahun 1640-an, mulai ada pendekatan antara Mataram dan VOC. Dengan
pulihnya perdagangan dengan VOC diharapkan adanya keuntungan banyak bagi
mataram. Dalam rangka itu, sistem
monopoli dihapus khususnya komoditi beras. Raja berhak atas sebagian dari
keuntungan sebagai upeti, akan tetapi timbul banyak kesulitan, pusat menganngap
sumbnagan dari daerah kurang dan sebaliknya daerah mengeluh bahwa pungutan
pusat terlalu berat. Dalam hubungan ini, peran VOC menjadi penting, tidak hanya
sebagai pedagang tetapi juga sebagai kreditor. Mataram hendak menjalankan
sistem monopoli, tetapi tidak berhasil. maka pelabuhan terpaksa ditutuppada
tahun 1655 dan baru dibuka lagi pada tahun 1657.
Pada
perempat ketiga abad XVII, ruang gerak pedagangan pesisir mulai menyempit.
Komoditi yang masih memegang peranan ialah beras, sedang kesibukan perdagangan
lada lebih berpusat di wilayah sebelah barat Indonesia, dan cengkeh serta pala
sebagian berpusat di Makassar dan sebagian langsung diagkut VOC.[9]
Setelah
tahun 1670-an, VOC mulai mengontrol daerah sepanjang pantai utara Jawa yang
merupakan pusat pembuatan kapal seperti rembang, yang sebelumnya berada dibawah
kontrol Mataram. VOC juga mencoba untuk mengontrol hutan jati di sepanjang
pantai utara Jawa sebab jenis kayu ini merupakan bahan utama pembuatan kapal.
Pada tahun 1743 VOC mengadakan perjanjian dengan mataram, agar memberikan
legislasi kepada VOC atas monopolinya terhadap semua jenis galangan kapal di
sepanjang pantai utara Jawa, kecuali perahu kecil nelayan. Kapal-kapal yang
dijual ke pembeli asing harus dibuat oleh VOC. Namun demikian pada akhir abad
XVIII upaya VOC untuk menjadikan pantai utara Jawa sebagai pusat galangan kapal
di Hindia Belanda mereda. Memasuki abad XIX hanya tinggal dua galangan kapal
yang relatif besar di pantai utara Jawa yaitu di Rembang dan Surabaya.[10]
Penutup
Dari
Pembahasan diatas, kita bisa simpulkan bahwa perdagangan dan kegiatan maritim
Indonesia pada masa VOC masih tetap berjalan dengan segala hiruk pikuk
didalamnya. Ini membuktikan bahwa datangnya bangsa Eropa ke Nusantara tidak
serta merta membuat kegiatan Meritim Indonesia ‘mati’. Bahkan daerah-daerah
seperti Makassar, di awal-awa datangnya VOC, dan juga Mataram dan Malaka
menjadi pusat perdagangan terbesar, dan menjadi pusat bertemunya para saudagar
dari berbagai negri. meskipun harus meghadapi politik perdagangan VOC, tetapi perdagangan
tetap berjalan seperti sebelum mereka datang, sampai pada akhirnya beberapa
pusat perdagangan di nusantara berhasil di kuasai oleh orang-orang Eropa melalui siasat politiknya.
Daftar Pustaka
Hamid,
Abdurrahman., Sejarah Maritim Indonesia, (Yogyakarta
: Penerbit Ombak, 2013).
Kartodirdjo,
Sartono., Pengantar Sejarah Indonesia
Baru : 1500-1900 Dari Emporioum Sampai Imperium Jilid 1, (Jakarta: PT
Gramedia: 1988).
Soekmono,
R., Pengantar
Sedjarah Kebudajaan Indonesia Djilid III Kebudajaan Djaman Madya Sampai
Mengindjak Djaman Modern, (jakarta: penerbit nasional trikarya, 1959).
Sulistiyono,
Singgih tri., Pengantar Sejarah Maritim
Indonesia, (jakarta: direktorat jendral pendidikan tinggi departemen
pendidikan nasional : 2004).
[1] R.
Soekmono., Pengantar Sedjarah Kebudajaan
Indonesia Djilid Iii Kebudajaan Djaman Madya Sampai Mengindjak Djaman Modern, (jakarta:
penerbit nasional trikarya, 1959), hlm. 104-105
[2] Sartono
kartodirdjo., Pengantar Sejarah Indonesia
Baru : 1500-1900 Dari Emporioum Sampai Imperium Jilid 1, (Jakarta: PT
Gramedia: 1988), hlm. 66-69
[3] Singgih
tri sulistiyono., Pengantar Sejarah
Maritim Indonesia, (jakarta: direktorat jendral pendidikan tinggi
departemen pendidikan nasional : 2004), hlm. 141
[4] Sartono
kartodirdjo., Pengantar Sejarah Indonesia
Baru : 1500-1900 Dari Emporioum Sampai Imperium Jilid 1, (Jakarta: PT
Gramedia: 1988), hlm. 73
[5] Sartono
Kartodirdjo, hlm. 74-79
[6] Abd
Rahman Hamid., Sejarah
Maritim Indonesia, (Yogyakarta : Penerbit Ombak, 2013), 156-161
[7] Sartono
Kartodirdjo, hlm. 84
[8] Ibid., hlm. 68
[9] Ibid, hlm. 166-167
[10] Singgih
Tri Sulistiyono, hlm. 141-142
Tidak ada komentar:
Posting Komentar