Sabtu, 11 April 2015

Perjuangan bangsa indonesia dalam mencapai kemerdekaan sebelum dan sesudah abad XX

Pendahuluan
Selama kurang lebih tiga setengah abad, indonesia dijajah oleh belanda. Dalam kurun waktu itulah bangsa indonesia merasakan penderitaan yang sangat luar biasa. Penjajahan yang mengahruskan bangsa indonesia bersusah payah demi kepentingan dan kerakusan para penjajah. Setelah pada akhirnya, bangsa indonesia tersadar, bahwa bangda indonesia adalah bangsa yang kuat dan yakin dan berani melawan ketidak adilan yang sudah dirasakan selama ini.
Banyak sekali perjuangan masyarakat di daerah, ketika tersadar bahwa bangsa indonesia adalah bangsa yang kuat, seperti sebelum abad ke 20 ada bergai pemberontakan yang dilakukan oleh ulama dan petinggi masyarakat, dan setelah abad ke 20 banyak cendikiawan yang tegerak untuk melakuka perlawan secara diplomatis.

A. Perjuangan bangsa indonesia sebelum Abad XX
Sebelum abad ke-20 perjuangan bangsa indonesia masih bersifat kedaerahan. Masing-masing pemimpin mempertahankan wilayah kekuasaannya. perlawanan dipimpin oleh raja atau bangsawan. Seperti Pangeran Diponegoro (bangsawan), Teuku Umar (bangsawan), Sultan Hasanuddin (raja), Si Singamagaraja IX (raja). Karena perlawanan bertumpu pada kharisma pemimpin, maka tatkala pemimpin tewas atau tertangkap, perlawanan akan berhenti.
perjuangan berbentuk perlawanan fisik, melalui peperangan. Pertempuran secara frontal menimbulkan banyak korban jiwa bagi kedua pihak. perlawanan berpusat di desa-desa atau di pedalaman karena kota-kota yang merupakan pusat perniagaan dikuasai Belanda dan didirikan benteng. Perjuangan bangsa indonesia sebelum abad ke-20 melalui perang dan pemberontakan oleh bagsa indonesia, sebagai berikut:

1. Pemberontakan Saparua
Protes rakyat dibawah pimpinan Thomas Matulesia diawali dengan penyerahan daftar keluhan-keluhan kepada belanda. Daftar itu ditanda tangani oleh 21 penguasa orang kaya, patih, raja dari saparua dan nusa laut. Beberapa pemimpin lain dalam pemberontakan ialah anthony rhebok, philip latumahina, dab raja dari siri sori sayat.Pada tanggal 3 Mei 1817 kira-kira seratus orang, diantaranya thomas matulesia berkumpul di hutan warlutun dan memutuskan untuk menghancurkan benteng di saparua dan membunuh semua penghuninya.
Pada tanggal 15 Mei 1817 malam, benteng dikepung oleh massa yang sudah siap untuk melakukan penyerbuan, di benteg sendiri hanya ada belasan tentara kumpeni, sebagian besar serdadu jawa. Pada 16 Mei pagi pagi residen telah memerintah untuk mengerek bendera putih. Dalam penyerbuan, residen dan keluarganya mati terbunuh, kecuali seorang anak laki-laki yang akhirnya mendapat perlindungan patiwael, hanya beberapa tentara yang meloloskan diri.
Meskipun benteng dapat direbut kembali pada tanggal 3 agustus 1817, pergolakan berkobar terus dan para pemimpin bersembunyi di hutan-hutan. Rakyat nusa laut melatakkan senjata pada tanggal 10 november, dua hari kemudian matulesia tertangkap oleh liman pietersen. Sebagai akhir masa pemberontakan, pada tanggal 16 November 1817, diadakan upacara agama. Dua hari kemudian para pemimpin pemberontakan dibawa ke Ambon untuk diadili. Matulesia dan tikoh-tokoh terkemuka dijatuhi hukuman mati sedangkan lainyya dibuang, antara lain ke jawa.[1]

2. Perang Padri (1819- 1832)
Waktu inggris memegang kekuasaan sementara mereka berhasil menyingkirkan kaum padri dari padang dan seanteronyadengan segala tipu muslihat. Kemudian dibiarkanlah mereka meguasanya, maka dari itu ketika belanda datang kembali pada tahun 1816, daerah tersebut didominasi oleh kaum padri. Kekuasaan sebagai penguasa dipakai untuk memungut pajak dan sebaian dari hasil panen, mengarahkan tenaga wanita dan anak-anak untuk “dijual” sebagai tenaga pekerja antara lain di Sumatra timur. Hal tersebut membuat para penguasa menggabungkan diri dan mengadakan perlawanan terhadap belanda. Pusat gerakan adalah Bonjol atau Alam panjang. Imam bonjol dalam memimpin gerakan dibantu oleh tuanku mudik padang dan mansiangan. Dalam perlawanan kaum padri, belanda lama-kelamaan sadar bahwa pada hakikatnya bahwa gerakan itu tidak hanya mempertahankan kepentingan agama akan tetapi juga perlawanan terhadap kolonial, sebagai ancaman dari kemerdekaan mereka.
Sejak ditandatangani perjanjian imam bonjol pada awal tahun 1824 semangat perlawan tidak mereda melaikan semakin dahsyat, tidak mudah fundamentalisme seperti yang ada pada kaum padri dipadamkan begitu saja. Wajarlah dalam situasi seperti itu timbul kelompok yang tidak setuju dengan kaum padri, antara lain mereka yang masih menganngap dirinya keturunan raja-raja minagkabau atau peghulu-penghulu. Diantara mereka yang terkemuka ialah tuanku nan saleh dari talawas penghulu tanah datar, dan lain-lain. Politik kolonial belanda mengikuti pola lama seperti yang telah dijalankan di daerah-daerah lain, yaitu cenderung memihak yang lebih ‘lunak’, dan karena itu bersedia bekerjasama dengan belanda. Diharapkan dengan demikian front pribumi diperlemah.
Meskipun telah ditandatangani kontrak antara belanda dan para penghulu yang mewakili daerah kerajaan minangkabau pada tanggal 10 Februari 1821, jadi secara De Jure belanda telah di akui kekuasaanya, namun secara de Facto daerah-daerah belum dikuasanya. Satu persatu semuanya perlu diperangi, ditundukkan dan diduduki.
Pos-pos yang didirikan belanda menghadapi ancaman terus-menerus dari kaum padri yang tidak henti-hentinya melakukan-serangan-serangan, seperti terhadap semawang, sulit air, rau, enam kota, dan tanjung alam. Untuk melemahkan basis belanda kaum padri melakukan juga di tanah datar dan juga ke Natal. Ofensif belanda secara besar-besaran pada tahun 1820 terhadap pagaruyung dapat dipukul mundur. Dan di maraupalam satu kompi dapat dihancurkan.
Dengan didirikannya pos-pos penjagaan di minagkabau sejak bulan juli 1830 timbul kegiatan lagi dari perlawanan kaum padri; bahkan mulai menjalankan agresi diluar daerahnya seperti di tanah Tapanuli. Taktik memperluas medan juga ditanggapi oleh belanda, akan tetapi serangannya tetap dipusatkan terhadap bonjol. Tuanku imam Bonjol dan tuanku Muda menyelamatkan diri dan lolos sebelum bonjol diduduki belanda pada tanggal 21 september 1832. Antara 1825-1832 masih banyak penghulu yang melakukan perlawanan. Akhirnya pada 30 oktober 1832 menyerahlah tuanku nan Alahan dan dengan demikian berakhirlah perang padri.[2]

3. Perang Diponegoro (1825-1830)
Pada pertengahan bulan Mei1825, pemerintah Belanda yang awalnya memerintahkan pembangunan jalan dari Yogyakarta ke Magelang lewat Muntilan, mengubah rencananya dan membelokan jalan itu melewati Tegalrejo. Rupanya di salah satu sektor, Belanda tepat melintasi makam dari leluhur Pangeran Diponegoro. Hal inilah yang membuat Pangeran Diponegoro tersinggung dan memutuskan untuk mengangkat senjata melawan Belanda. Ia kemudian memerintahkan bawahannya untuk mencabut patok-patok yang melewati makam tersebut. Namun Belanda tetap memasang patok-patok tersebut bahkan yang sudah jatuh sekalipun. Karena kesal, Pangeran Diponegoro mengganti patok-patok tersebut dengan tombak.
Belanda yang mempunyai alasan untuk menangkap Pangeran Diponegoro karena dinilai telah memberontak, pada 20 Juli1825 mengepung kediaman beliau. Terdesak, Pangeran beserta keluarga dan pasukannya menyelamatkan diri menuju barat hingga Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, dan meneruskan ke arah selatan hingga tiba di Goa Selarong yang terletak lima kilometer arah barat dari Kota Bantul. Sementara itu, Belanda —yang tidak berhasil menangkap Pangeran Diponegoro— membakar habis kediaman Pangeran.
Pangeran Diponegoro kemudian menjadikan Goa Selarong, sebuah goa yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, sebagai basisnya. Pangeran menempati goa sebelah Barat yang disebut Goa Kakung, yang juga menjadi tempat pertapaan beliau. Sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (selir yang paling setia menemani Pangeran setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah Timur.
Setelah penyerangan itu, dimulailah sebuah perang besar yang akan berlangsung 5 tahun lamanya. Di bawah kepemimpinan Diponegoro, rakyat pribumi bersatu dalam semangat "Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati"; sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati. Selama perang, sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro. Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Maja yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan. Dalam perang jawa ini Pangeran Diponegoro juga berkoordinasi dengan I.S.K.S. Pakubowono VI serta Raden Tumenggung Prawirodigdoyo Bupati Gagatan.[3]

4. Perang banjarmasin
Persoalan pergantian takhta di kerajaan banjarmasin mendorong belanda untuk mengadakan intervensi dan melepaskan politik tak-campur-tangan.[4] Wafatnya Sultan Tahmidillah II digantikan oleh Sultan Sulaiman (1824-1825) yang memerintah hanya dua tahun; kemudian digantikan oleh Sultan Adam (1825-1857). Pada masa ini kesultanan Banjar hanya tinggal Banjarmasin, Martapura dan Hulusungai. Selebihnya telah dikuasai oleh Belanda. Ketika Sultan Adam (1825-1857) meninggal dunia, Belanda mengangkat cucunya yaitu Pangeran Tamjidillah menjadi Sultan. Putra Sultan Adam yaitu Pangeran Abdulrachman, ayah Tamjidillah, telah meninggal lebih dahulu pada tahun 1852.
Pengangkatan ini rupanya menimbulkan masalah, karena Ibu Tamjidillah adalah orang Cina. Sebagian masyarakat muslim keberatan untuk menerimanya. Apakah ini berkaitan soal sara, tentunya perlu dilakukan penelitian lebih jauh.
Tapi rupanya keberatan lain pada pengangkatan Tamjidillah, adalah kesenangannya pada minuman keras dan bermabuk-mabukan. Rupanya kalangan umum lebih menyukai putra Abdulrachman yang lain yaitu Pangeran Hidayatullahullah. Dia selain putra dari Ibu bangsawan, juga berperangai baik. Tetapi Tamjidillah sudah didukung dan ditetapkan Belanda sebagai suksesor.
Keruwetan politik dalam negeri Kesultanan Banjar ini akhirnya menimbulkan meletusnya Perang Banjar selama 4 tahun (1859–1863). Pada periode konflik fisik itulah, yaitu pada tahun 1859, muncul seorang pangeran setengah baya yang telah disingkirkan haknya, memimpin perlawanan terhadap Belanda. Dialah Pangeran Antasari yang lahir tahun 1809.
Antasari kemudian bergabung dengan kepala-kepala daerah Hulu Sungai, Martapura, Barito, Pelaihari, Kahayan, Kapuas, dan lain-lain. Mereka bersepakat mengusir Belanda dari Kesultanan Banjar. Maka perang makin menghebat, dibawah pimpinan Pangeran Antasari. Pernah pihak Belanda mengajak berunding, tetapi Pangeran Antasari tidak pernah mau. Daerah pertempurannya meliputi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.
Tepatnya tanggal 28 April 1859, Perang Banjar yang dipimpin oleh Pangeran Antasari meletus, dengan jalan merebut benteng Pengaron milik Belanda yang dipertahankan mati-matian. Pertempuran di benteng pengaron ini disambut dengan pertempuran-pertempuran di berbagai medan yang tersebar di Kalimantan Selatan, yang dipimpin oleh Kiai Demang Lehman, Haji Buyasin, Tumenggung Antaluddin, Pangeran Amrullah dan lain-lain.
Perlawanan semakin meluas, kepala-kepala daerah dan para ulama ikut memberontak, memperkuat barisan pejuang Pangeran Antasari bersama-sama pangeran Hidayatullah, langsung memimpin pertempuran di berbagai medan melawan pasukan kolonial Belanda. Tetapi karena persenjataan pasukan Belanda lebih lengkap dan modern, pasukan Pangeran Antasari dan Pangeran Hidayatullah terus terdesak serta semakin lemah posisinya. Setelah memimpin pertempuran selama hampir tiga tahun, karena kondisi kesehatan, akhirnya Pangeran Hidayatullah menyerah pada tahun 1861 dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat.

5. Perang aceh (1873-1912)
Meskipun pada awal abad XIX hegemoni kerajaan aceh di sumatra bagian utara sudah sangat menurun, kedaulatannya masih duakui penuh oleh negara-negara barat, bahkan berdasarkan traktat london pada tahun 1824 menjamin kemerdekaan dan integritasnya. Menurut traktat itu belanda diberi wewenang menjaga ketentraman di perairan dalam lingkingan kerajaan aceh.[5] Hal ini membuat belanda melakukan kesewenag wenagan belanda pada masyarakat aceh, maka timbullah perang aceh.
Perang Aceh Pertama (1873-1874) dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah melawan Belanda yang dipimpin Köhler. Köhler dengan 3000 serdadunya dapat dipatahkan, dimana Köhler sendiri tewas pada tanggal 14 April1873. Sepuluh hari kemudian, perang berkecamuk di mana-mana. Yang paling besar saat merebut kembali Masjid Raya Baiturrahman, yang dibantu oleh beberapa kelompok pasukan. Ada di Peukan Aceh, Lambhuk, Lampu'uk, Peukan Bada, sampai Lambada, Krueng Raya. Beberapa ribu orang juga berdatangan dari Teunom, Pidie, Peusangan, dan beberapa wilayah lain.
Perang Aceh Kedua (1874-1880). Pasukan Belanda dipimpin oleh Jenderal Jan van Swieten. Belanda berhasil menduduki Keraton Sultan, 26 Januari1874, dan dijadikan sebagai pusat pertahanan Belanda. Pada 31 Januari 1874 Jenderal Van Swieten mengumumkan bahwa seluruh Aceh jadi bagian dari Kerajaan Belanda. Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari1874, digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawood yang dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indrapuri. Perang pertama dan kedua ini adalah perang total dan frontal, dimana pemerintah masih berjalan mapan, meskipun ibu kota negara berpindah-pindah ke Keumala Dalam, Indrapuri, dan tempat-tempat lain.
Perang ketiga (1881-1896), perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi sabilillah. Dimana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1903. Dalam perang gerilya ini pasukan Aceh di bawah Teuku Umar bersama Panglima Polim dan Sultan. Pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van der Dussen di Meulaboh, Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar kemudian tampil menjadi komandan perang gerilya.
Perang keempat (1896-1910) adalah perang gerilya kelompok dan perorangan dengan perlawanan, penyerbuan, penghadangan dan pembunuhan tanpa komando dari pusat pemerintahan Kesultanan.
Untuk mengalahkan pertahanan dan perlawan Aceh, Belanda memakai tenaga ahli Dr. Christiaan Snouck Hurgronje yang menyamar selama 2 tahun di pedalaman Aceh untuk meneliti kemasyarakatan dan ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya itu dibukukan dengan judul Rakyat Aceh (De Acehers). Dalam buku itu disebutkan strategi bagaimana untuk menaklukkan Aceh.
Ternyata siasat Dr Snouck Hurgronje diterima oleh Van Heutz yang menjadi Gubernur militer dan sipil di Aceh (1898-1904). Kemudian Dr Snouck Hurgronje diangkat sebagai penasehatnya.[6]

B. Perjuangan bangsa indonesia sesudah abad XX
Sesudah abad ke-20 perjuangan bangsa indonesia sudah bersifat nasional, yaitu perjuangan tidak lagi bersifat nasionalisme sempit, namun perjuangan ditujukan untuk mencapai Indonesia Merdeka. Munculnya kata “Indonesia” sebagai identitas bangsa menyatukan berbagai suku, agama, dan budaya yang ada di Nusantara untuk bersatu padu mengusir penjajah.
perjuangan dipimpin oleh golongan terpelajar (cendekiawan). Pemberian kesempatan bagi pribumi untuk mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah Belanda pada awal abad ke-20 dimaksudkan untuk memperoleh tenaga kerja murah, namun justru melahirkan golongan cendekiawan yang kemudian memimpin perjuangan melawan kolonialisme Belanda. Mereka adalah Sutomo, Suardi Suryaningrat, Soekarno, Moh. Hatta, Sahrir, dan lain-lain. Karena perjuangan melalui organisasi modern menerapkan sistem kaderisasi, maka meski pemimpin tertangkap dan dipenjara, perlawanan tetap berlanjut
perjuangan melalui organisasi pergerakan nasional. Upaya mencapai kemerdekaan dilakukan dengan cara-cara modern, misalnya lewat media massa, demo, pemogokan buruh/pegawai, atau mengirimkan wakil-wakil di dewan rakyat (volksraad), serta menggalang dukungan politik dari dunia luar. Dalam perjuangan bangsa undonesia sesudah abad ke 20, ditandai dengan bermunculannya organisasi-organisasi bersifat nasionalis, sebagai berikut:

1. Budi Utomo
Sejak dokter wahidin pada tahun-tahun 1906 dan 1907 melancarkan suatu gerakan untuk mendirikan gerakan untuk mendirikan studiefonds (beasiswa).[7] Upaya dr. Wahidin ini bertujuan untuk meningkatkan martabat rakyat dan membantu para pelajar yang kekurangan dana. Dari kampanye tersebut akhirnya pada tanggal 20 Mei 1908 berdiri organisasi Budi Utomo dengan ketuanya Dr. Sutomo. Organisasi Budi Utomo artinya usaha mulia.Pada mulanya Budi Utomo bukanlah sebuah partai politik.Tujuan utamanya adalah kemajuan bagi Hindia Belanda. Hal ini terlihat dari tujuan yang hendak dicapai yaitu perbaikan pelajaran di sekolah-sekolah, mendirikan badan wakaf yang mengumpulkan tunjangan untuk kepentingan belanja anak-anak bersekolah, membuka sekolah pertanian, memajukan teknik dan industri, menghidupkan kembali seni dan kebudayaan bumi putera, dan menjunjung tinggi cita-cita kemanusiaan dalam rangka mencapai kehidupan rakyat yang layak.
Berdirinya Budi Oetomo menjadi tonggak awal perlawanan bangsa Indonesia dalam melanwan Belanda, dari yang semula menggunakan perlawanan fisik dan kontak senjata yang dirasa sangat tidak efektif karena senjata yang digunakan oleh bangsa Indonesia tidak dapat mengimbangi senjata yang dimiliki oleh Belanda dan akhirnya beralih ke perlawanan yang bersifat politik dan diplomatis. Sebagai awal dari perubahan pemikiran bangsa Indonesia akhirnya tanggal 20 Mei 1908 ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

2. Indische Partij
IP didirikan pada tanggal 25 Desember 1912 di Bandung oleh tokoh Tiga Serangkai, yaitu E.F.E Douwes Dekker, Dr. Cipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat. Pendirian IP ini dimaksudkan untuk mengganti Indische Bond yang merupakan organisasi orang-orang Indo dan Eropa di Indonesia. Hal ini disebabkan adanya keganjilan-keganjilan yang terjadi (diskriminasi) khususnya antara keturunan Belanda totok dengan orang Belanda campuran (Indo). IP sebagai organisasi campuran menginginkan adanya kerja sama orang Indo dan bumi putera. Hal ini disadari benar karena jumlah orang Indo sangat sedikit, maka diperlukan kerja sama dengan orang bumi putera agar kedudukan organisasinya makin bertambah kuat.
Di samping itu juga disadari betapa pun baiknya usaha yang dibangun oleh orang Indo, tidak akan mendapat tanggapan rakyat tanpa adanya bantuan orang-orang bumi putera. Perlu diketahui bahwa E.F.E Douwes Dekker dilahirkan dari keturunan campuran, ayah Belanda, ibu seorang Indo.Indische Partij merupakan satu-satunya organisasi pergerakan yang secara terang-terangan bergerak di bidang politik dan ingin mencapai Indonesia merdeka.Tujuan Indische Partij adalah untuk membangunkan patriotisme semua indiers terhadap tanah air. IP menggunakan media majalah Het Tijdschrifc dan surat kabar ‘De Expres’ pimpinan E.F.E Douwes Dekker sebagai sarana untuk membangkitkan rasa kebangsaan dan cinta tanah air Indonesia.
Tujuan dari partai ini benar-benar revolusioner karena mau mendobrak kenyataan politik rasial yang dilakukan pemerintah kolonial.Tindakan ini terlihat nyata pada tahun 1913. Saat itu pemerintah Belanda akan mengadakan peringatan 100 tahun bebasnya Belanda dari tangan Napoleon Bonaparte (Prancis). Perayaan ini direncanakan diperingati juga oleh pemerintah Hindia Belanda.Adalah suatu yang kurang pas di mana suatu negara penjajah melakukan upacara peringatan pembebasan dari penjajah pada suatu bangsa yang dia sebagai penjajahnya.Hal yang ironis ini mendatangkan cemoohan termasuk dari para pemimpin Indische Partij. R.M. Suwardi Suryaningrat menulis artikel bernada sarkastis yang berjudul ‘Als ik een Nederlander was’, Andaikan aku seorang Belanda. Akibat dari tulisan itu R.M. Suwardi Suryaningrat ditangkap. Menyusul sarkasme dari Dr. Cipto Mangunkusumo yang dimuat dalam De Express tanggal 26 Juli 1913 yang diberi judul Kracht of Vrees?, berisi tentang kekhawatiran, kekuatan, dan ketakutan. Dr. Tjipto pun ditangkap, yang membuat rekan dalam Tiga Serangkai, E.F.E. Douwes Dekker turut mengkritik dalam tulisannya di De Express tanggal 5 Agustus 1913 yang berjudul Onze Helden: Tjipto Mangoenkoesoemoen Soewardi Soerjaningrat.

3. Sarekat Islam
Pada mulanya Sarekat Islam adalah sebuah perkumpulan para pedagang yang bernama Sarekat Dagang Islam (SDI). Pada tahun 1911, SDI didirikan di kota Solo oleh H. Samanhudi sebagai suatu koperasi pedagang batik Jawa. Garis yang diambil oleh SDI adalah kooperasi, dengan tujuan memajukan perdagangan Indonesia di bawah panji-panji Islam. Keanggotaan SDI masih terbatas pada ruang lingkup pedagang, maka tidak memiliki anggota yang cukup banyak.Oleh karena itu agar memiliki anggota yang banyak dan luas ruang lingkupnya, maka pada tanggal 18 September 1912, SDI diubah menjadi SI (Sarekat Islam).Organisasi Sarekat Islam (SI) didirikan oleh beberapa tokoh SDI seperti H.O.S Cokroaminoto, Abdul Muis, dan H. Agus Salim. Sarekat Islam berkembang pesat karena bermotivasi agama Islam.
Latar belakang ekonomi berdirinya Sarekat Islam adalah: perlawanan terhadap para pedagang perantara (penyalur) oleh orang Cina, isyarat pada umat Islam bahwa telah tiba waktunya untuk menunjukkan kekuatannya dan membuat front melawan semua penghinaan terhadap rakyat bumi putera.[8]

Penutup
Sebelum abad ke-20 perjuangan bangsa indonesia masih bersifat kedaerahan. perjuangan berbentuk perlawanan fisik, melalui peperangan. Pertempuran secara frontal menimbulkan banyak korban jiwa bagi kedua pihak. perlawanan berpusat di desa-desa atau di pedalaman karena kota-kota yang merupakan pusat perniagaan dikuasai Belanda dan didirikan benteng. Perjuangan bangsa indonesia sebelum abad ke-20 melalui perang dan pemberontakan oleh bagsa indonesia seperti: Pemberontakan Saparua, Perang Padri (1819- 1832), Perang Diponegoro (1825-1830), Perang banjarmasin, Perang aceh (1873-1912) Dsb.
Sesudah abad ke-20 perjuangan bangsa indonesia sudah bersifat nasional, perjuangan dipimpin oleh golongan terpelajar (cendekiawan). perjuangan melalui organisasi pergerakan nasional. Upaya mencapai kemerdekaan dilakukan dengan cara-cara modern, misalnya lewat media massa, demo, pemogokan buruh/pegawai, atau mengirimkan wakil-wakil di dewan rakyat (volksraad), serta menggalang dukungan politik dari dunia luar. Dalam perjuangan bangsa undonesia sesudah abad ke 20, ditandai dengan bermunculannya organisasi-organisasi bersifat nasionalis, seperti: Budi Utomo, Indische Partij, Sarekat Islam, Dan sebagainya.



DAFTAR PUSTAKA
kartodirdjo, Sartono. pengantar sejarah indonesia baru: 1500-1900 dari emporium sampai imperium Jilid 1, PT Gramedia, Jakarta, 1988.

kartodirdjo, Sartono, pengantar sejarah indonesia baru: sejarah pergerakan nasional, dari 
kolonialisme sampai nasionalisme, Jilid 2. PT. Gramedia, Jakarta 1990.

Id.wikipedia.org/wiki/perang_aceh, Dikutip tanggal 20 juni 2014.



                                             

[1] Sartono kartodirdjo, pengantar sejarah indonesia baru: 1500-1900 dari emporium sampai imperium Jilid 1, PT Gramedia, Jakarta, 1988. Hal 375-377
[2] Sartono kartodirdjo, pengantar sejarah indonesia baru: 1500-1900 dari emporium sampai imperium Jilid 1, PT Gramedia, Jakarta, 1988. Hal 379-380
[3] Ibid. Hal. 380-381
[4] Ibid. Hal. 384
[5] Sartono kartodordjo (1990) op. Cit., jilid 1. Hal 385
[6] Dikutip tanggal 20 juni 2014. Dari :Id.wikipedia.org/wiki/perang_aceh
[7] Sartono kartodirdjo, pengantar sejarah indonesia baru: sejarah pergerakan nasional, dari kolonialisme sampai nasionalisme, Jilid 2. PT. Gramedia, Jakarta 1990. Hal.102
[8] Sartono kartodirdjo, pengantar sejarah indonesia baru: sejarah pergerakan nasional, dari kolonialisme sampai nasionalisme, Jilid 2. PT. Gramedia, Jakarta 1990. Hal. 110

Tidak ada komentar:

Posting Komentar