Sabtu, 16 Mei 2015

Kedatangan Eropa Ke Indonesia dan Respon Umat Islam terhadap Penetrasi Kolonial

I.                    PENDAHULUAN
Islam datang ke indonesia sangat berbeda dengan kedatangan islam di berbagai belahan dunia lainnya. Islam datang dengan damai, melalui pendekatan budaya, makanya dengan mudah diterima oleh penduduk lokal nusantara. Sedangkan yang lain dengan cara pedang, dan harus merenggut banyak nyawa untuk kemudian islam bisa diterima. Karna itu ciri khas islam di indonesia sangat berbeda dengan yang lainnya, adanya akulturasi dengan bedaya lokal itulah yang membedakannya dengan yang lain.
Dalam sejarahnya, islam datang di Indonesia sekitar abad XIII, yang dibawa oleh pedagang dari timur tengah yang kemudian menyebarkan islam di indonesia. Dalam hal ini banyak perbedaan pendapat, ada juga yang menyatakan bahwa Islam datang di indonesia pada awal abad hijriyah, atau sekitar abad VII Masehi. namun yang pasti pada abad-abad seterusnya setelah abad XIII islam eberitakan sudah berkembang yang dibuktikan dengan berdirinya beberapa kerajaan islam seperti malaka, Samudra pasai, Aceh, mataram, dan sebagainya.
Abad ke XV-XVI adalah abad dimana eropa bangkit dan maju. Termasuk dalam bidang pelayarannya. maka dari itu, orang eropa banyak melakukan ekspedisi-ekspedisi maritim yang bertujuan untuk mencari sumber daya demi keperuluan dagang. Dari Ekspedisi-ekspedisi tersubut melahirkan pelaut-pelaut hebat yang bisa mengarungi samudra dan menemukan tanjung harapan di afrika selatan. Kemudian mengarungi sampai ke asia timur dan sampai ke nusantara.
Dari latar belakang tesebut, makalah ini akan membahas tentang kedatangan eropa ke Indonesia. dan karna seperti disebutkan sebelumnya bahwa Islam sedang berkembang pada saat-saat itu maka kami juga akan membahas tentang respon yang dilakukan umat islam terhadap kedatangan eropa tersebut. Dalam masalah ini kami akan membahas di beberapa kasus tenang respon umat Islam tentang kedatangan eropa.
II.                  PEMBAHASAN
A.     Kedatangan Eropa di Indonesia
Orang-orang Eropa datang ke Asia Tenggara pada awal abad XVI. Orang-orang Eropa, terutama Belanda memiliki dampak yang sangat besar terhadap Indonesia, namun hal tersebut pada dasarnya merupakan suatu gejala yang berpengaruh pada masa belakangan, bagaimanapun juga pengaruh orang-orang Eropa pada tahun-tahun pertama kehadiran mereka sangatlah terbatas daerah dan kedalamannya.[1] Pada awal abad XV Eropa bukanlah merupakan kawasan yang paling maju dan paling dinamis, namun kekuatan besar yang sedang berkembang di dunia adalah Islam.
Orang-orang Eropa, terutama bangsa Portugis mencapai kemajuan-kemajuan dibidang teknologi tertentu yang akan membuat bangsa Portugis  mengalami suatu petualangan mengarungi samudra yang paling berani. Bangsa Portugis tidak hanya mencapai kemajuan-kemajuan di bidang teknologi yang memungkinkan mereka melebarkan sayapnya hingga menuju sebrang lautan, namun mereka juga memiliki keinginan dan kepentingan yang keras untuk melakukan hal tersebut. Dengan dorongan dari pangeran Henry, para pelaut dan petualangan Portugis memulai usaha pencarian emas, kemenangan dalam peperangan, dan mengepung jalan lawan yang beragama islam dengan menyusuri pantai Barat Afrika. Mereka juga berusaha untuk bisa mendapatkan rempah-rempah, dan secara tidak langsung hal ini membuat mereka mendapatkan jalan ke Asia dengan tujuan memotong jalur pelayaran para pedagang Islam, yang melalui tempat penjualan mereka di Venesia di Laut Tengah memonopoli impor rempah-rempah ke Eropa.[2]
Pada tahun 1487 Bartolomeu Dias mengitari Tanjung Harapan dan dengan demikian pulalah dia sudah memasuki Samudra Hindia. Barang-barang dagangan yang ingin mereka jual tidak dapat bersaing di pasaran India yang canggih dengan hasil-hasil yang mengalir melalui jaringan perdagangan Asia. Dengan adanya ancaman bahaya tersebuat membuat mereka menyadari bahwa mereka harus melakukan peperangan di laut untuk mengokohkan diri. Orang yang paling bertanggung jawab dengan dijalaninya keadaan seperti ini adalah Afonso de Albuquerque, yang merupakan panglima angkatan laut yang terbesar pada masa itu. Pada tahun 1503 Albuquerque menjalankan perjalanan menuju India, dan pada tahun 1510 dia dapat menaklukkan Goa di pantai Barat yang kemudian dijadikan pangkalan tetap Portugis. Dibuatnya pangakalan-pangkalan tersebut adalah untuk mendominasi perdagangan laut di Asia yang dapat digunakan untuk mengerahkan teknologi yang tinggi. Dan pada tahun yang sama bangsa Portugis hampir mencapai tujuannya, yaitu menyerang ujung Timur perdagangan Asia di Malaka. Pada tahun 1511 Albuquerque melakukan pelayaran dari Goa Portugis menuju Malaka dengan kekuatan kira-kira 1.200 oarang dengan tujuh belas atau delapan belas buah kapal.[3] Peperangan tersebut terjadi secara sporadis sepanjang bulan Juli hingga awal bulan Agustus.
Namun, disebelah Barat Nusantara, Portugis tidak lagi menjadi kekuatan yang revolusioner. Keunggulan teknologi mereka yang terdiri atas teknik-teknik pelayaran dan militerdengan cepat berhasil diplajari oleh saingan-saingan mereka dari Indonesia yang merupakan musuh mereka. Malaka Portugis menjadi suatu bagian dari jaringan konflik di selat malaka, dimana Johor dan Aceh berlomba-lomba untuk dapat saling menglahkan untuk saling mengalahkan satu sama lain dan juga mengalahkan Portugis, dan demikian menjadi pengganti Malaka yang sesungguhnya.
Pada masa ini, di jawa yaitu majapahit sedang menyusut dan kekuatannya tergundang hebat. Ketika duta cina tiba di jawa, mereka tidak beruntung karna terseret dalam suatu pertempuran lokal, hingga 150 pengikut mereka terbunuh. Tampaknya raja-raja lokal jawa sekali lagi terlibat dalam perebutan kekuasaan yang ganas. Pergumulan ini mungkin bagian dari kekacauan politik yang menyertai peralihan takhta majapahih kepada suatu dinasti baru dan perpindahan kediaman raja dari dari majapahit ke keraton baru.[4]
Setelah bangsa Potugis datanglah orang-orang Belanda yang memiliki aspirasi dan strategi Portugis. Orang-orang Belanda datang dengan membawa persenjataan, kapal-kapal, dan dukungan keuangan yang lebih baik, serta kombinasi antara keberanian dan kekejaman yang sama. Mereka hampir menguasai seperti apa yang diinginkan oleh Portugis, namun yang tidak berhasil diperolehnya adalah mengusai rempah-rempah Indonesia. Yang membuat Belanda berbeda dengan Portugis ketika datang ke Indonesia adalah, orang-orang Belanda mendirikan tempat berpijak yang tepat di Jawa, yang membuat mereka menjadi suatu kekuatan penjajah yang berpangkalan di daratan Jawa.
Orang-orang portugis berusaha merahasiakan jalur-jalur pelayaran ke Asia kepada orang-orang Belanda, namun ada saja orang-orang Belanda yang bekerja pada mereka pada saat itu, yang paling terkenal diantaranya adalah Jan Huygen van Lischoten.[5] Pada tahun 1595-1596 dia menerbitkan bukunya yang berjudul Itinerario naer Oost ofte Portugaels Indien (catatan perjalanan ke Timur atau Hindia Portugis) yang memuat peta-peta dan deskripsi yang rinci tentang penemuan-penemuan Portugis. Dengan sebab itulah orang-orang Belanda semakin mengetahui kekayaan yang ada di Asia, dan karena mereka merasa yakin pula bahwa tingkat kesempurnaan kontruksi kapal dan persenjataan mereka membuat mereka merasa yakin bahwa orang-orang Portugis di Asia tidak mampu menandingi mereka.
Dan pada tahun 1595 pelayaran pertama Belanda menuju Hindia Timur dimulai. Empat buah kapal dengan dua ratus empat puluh sembilan awak kapal dan enam puluh empat pucuk meriam berangkat dibawah pimpinan Cornelis de Houtman.[6] Pada bulan Juni 1596nkapal-kapal de Houtman tiba di Banten, pelabuhan lada terbesar di Jawa Barat. Pada saat itulah orang-orang Belanda mulai terlibat konflik antara orang-orang Portugis dan masyarakat pribumi. Namu itu semua tidak berlangsung lama, de Houtman meninggalkan Banten dan kemudian melanjutkan pelayarannya menuju Timur dengan menyusuri pantai Utara pulau Jawa. dan pada masanya, munculah zaman yang dikenal sebagai zaman pelayaran-pelayaran liar atau tidak teratur (wilde vaart), yaitu ketika perusahaan-perusahaan ekspedisi Belanda yang saling berjuang keras untuk memperoleh bagian dari rempah-rempah indonesia. Pada tahun 1598 dua puluh dua kapal milik lima perusahaan yang berbeda mengadakan pelayaran, namun hanya empat belas kapal yang akhirnya kembali. Aramada dibawah pimpinan Jacob van Neck lah yang pertama tiba di kepulauan rempah-rempah di Maluku, yang mana rombongannya diterima dengan baik oleh masyarakat Maluku. Kemudian kapal-kapal tersebut kembali ke Belanda dengan membawa banyak rempah-rempah yang menghasilkan keuntungan sebesar 400 persen. Dengan diperolehnya banyak keuntungan tersebut membuat mereka  melakukan peelayaran kembali pada tahun 1601.[7] Karena semakin banyaknya para pedagang-pedagang eropa yang berdatangan ke Asia, menyebabkan semakin kecilnya keuntungan yang diperoleh, oleh sebab itu parlemen Belanda pada tahun 1598 mengajukan sebuah usulan agar perseroan-perseroan yang saling bersaing itu sebaiknya menggabungkan kepentingan mereka masing-masing kedalam suatu fusi, dan diperlukan waktu emapat tahun untuk bisa benar-benar membuat fusi semacam itu.
Pada bulan Maret 1602 perseroan-perseroan yang saling bersaing itu bergabung membentuk perserikatan maskapai Hindia Timur, VOC (Vereening de Oost Indische Compagni). Meskipun VOC merupakan organisasi Belanda, tetapi sebagian besar personilnya bukanlah orang Belanda. Para petualang, gelandangan, penjahat, dan orang-orang yang benasib jelek dari seluruh Eropalah yang mengucapkan sumpah setia. Ketidakberdayagunaan, ketidakjujuran, nepotisme, dan alkoholisme tersebut luas dikalangan VOC, hingga pada masa ini merupakan abad kekejaman.
Untuk menangani secara lebih tegas urusan-urusan VOC di Asia, maka pada tahun 1610 diciptakan jabatan jenderal. Selama masa jabatan tiga orang gubenur jenderal yang 1610-1619 yang dijadikan pusat VOC adalah Ambon, namun tempat ini ternyata tidak begitu memuaskan untuk dijadikan sebagai markas besar, walaupun Ambon terlertak tepat di jantung wilayah penghasil rempah-rempah. Belanda mulai mencari suatu tempat yang lebih baik untuk dijadikan suatu pusat pertemuan, suatu pelabuhan yang aman tempat mereka dapat mendirikan kantor-kantor, gudang-gudang, dan fasilitas bagi angkutan laut mereka. Dan dengan sendirinya perhatian mereka beralih ke Nusantara bagian Barat,suatu tempat di dekat selat Malaka yang sangat penting atau selat Sunda. Pusat perdagangan pertama VOC yang tetap telah dibangun di Banten pada tahun 1603, tetapi tampak jelas bahwa tembat tersebut tidak cocok karena di daerah ini mereka memiliki saingan yang sangat hebat dari pedagang Cina dan Inggris, dan kawasan ini berada dibawah kekuasaan masyarakat Banten yang sangat kuat.
Orang-orang VOC semakin merasa meningkatnya ancaman persaingan dari pihak Inggris. Sir Francis Drake mengadakan kontrak pertama Inggris dengan Indonesia dalam pelayarannya mengelilingi dunia ke arah Barat pada tahun 1577-1580. Dia singgah di Ternate dan pulang ke negaranya dengan membawa muatan cengkeh. Orang-orang Inggris sama haknya dengan orang-orang Belanda, didirong untuk terlibat secara langsung dalam perdagangan rempah-rempah. Pada tahun 1600 putri Elizabeth I memberi sebuah oktori kepada maskapai Hindia Timur (The East India Company) dan mulailah Inggris mendapat kemajuan di Asia. Sir James Lncaster ditunjuk untuk memimpin pelayaran pertama maskapai ini. Dia tiba di Aceh pada bulan Juni 1602 dan terus menuju Banten, dia mendapatkna izin untuk mendirikan kantor dagang pelabuhan lada yang sangat kaya ini tetap menjadi pusat kegiatan orang-orang Inggris sampai tahun 1682.
Pada tahun 1604 pelayaran kedua maskapai Hindia Timur Inggris yang dipimpin oleh Sir Henry Middleton berhasil mencapai Ternate, Tidore, Ambon dan Banda, namun di wilayah ini mereka mendapat perlawanan dari pihak VOC, dan mulailah persaingan sengit Inggris-Belanda untuk mendapatkan rempah-rempah. Konflik Inggris dengan Belanda semakin memuncak ketika orang-orang Belanda menganggap bahwa cita-cita monopoli mereka telah terlepas.
Namun pada akhirnya dan dengan rasa yang terpaksa, pihak VOC dengan Inggris melakukan kerja sama karena pertimbangan-pertimbangan diplomatik di Eropa pada tahun 1620. Orang-orang Inggris diperbolehkan untuk mendirikan kantor dagang mereka di Ambon.
B.      Respon yang dilakukan umat Islam di beberapa wilayah Indonesia terhadap penetrasi orang Eropa
Kedatangan belanda di Indonesia yang tujuan awalnya adalah dagang sudah menyimpang  kearah kilonialisasi.  hal ini yang menimbulkan kesadaran pihak-pihak yang merasa dirugikan, terutama masyarakat bawah yang semakin terasa mengalami penderitaan akibat kolonaialisasi tersebut. Berangkat dari kesadaran tersebut, banyak terjadi pemberontakan-pemberontakan bahkan perang bahkan perang besar terjadi di beberapa wilayah seperti perang diponegoro di jawa, perang banjarmasin di kalimantan dan perang padri di Sumatra barat.
Sartono kartodirdjo mempunyai pandangan lain mengenai hal ini, menurutnya kesadaran akan ketertindasan akibat kolonialisasi orang Eropa bukanlah faktor utama yang mendorong gerakan-gerakan perlawanan tersebut. Menurutnya “faktor religius dalam hal ini akan memperkuat keyakinan serta mempertegas sikap dan tindakan. Identitas yang diberikan oleh ideologi religius mengenai belanda dan masyarakat yang menciptakannya menjadi jelas. Belanda adalah kafir yang akan mengancam  Dar-al-Islam. Dan kedatangan belanda pasti akan dilawan dengan perang Sabil, seperti apa yang terjadi di minangkabau dan aceh.”[8] Maka dari faktor tersebut terjadi beberapa pemberontakan dan perang di beberapa wilayah Indonesia sebagai berikut :
1.      Perang diponegoro
Ada bebrapa sebab perang ini terjadi, kebijakan ekonomi belanda adalan penyebab utama. Kebijakan tersebut sangat menguntungkan pihak belanda dan amat menyusahkan masyarakat bawah. Seperti kebijakan lalu lintas dengan pengangkutan barang, semuanya dikenakan pajak, sampai seorang ibu yang menggendong anaknya dikenakan pajak. Kebijakan lain yang tak kalah menyusahkan dan sampai dialami oleh pengeran diponegoro sendiri, yaitu  tentang penyewaan tanah yang dilakukan sri sultan yaitu ayah dari diponegoro dihargai 25 real, akan tetapi, ketika belanda memakainya mengalami kerugian, Ia menuntut ganti rugi sebesar 60.000 real. Hal ini tak pelak membuat pangerang diponegoro sangat marah.
Puncaknya adalah Pada pertengahan bulan Mei 1825, pemerintah Belanda yang awalnya memerintahkan pembangunan jalan dari Yogyakarta ke Magelang lewat Muntilan, mengubah rencananya dan membelokan jalan itu melewati Tegalrejo. Rupanya di salah satu sektor, Belanda tepat melintasi makam dari leluhur Pangeran Diponegoro. Hal inilah yang membuat Pangeran Diponegoro tersinggung dan memutuskan untuk mengangkat senjata melawan Belanda. Ia kemudian memerintahkan bawahannya untuk mencabut patok-patok yang melewati makam tersebut. Namun Belanda tetap memasang patok-patok tersebut bahkan yang sudah jatuh sekalipun. Karena kesal, Pangeran Diponegoro mengganti patok-patok tersebut dengan tombak.
Belanda yang mempunyai alasan untuk menangkap Pangeran Diponegoro karena dinilai telah memberontak, pada 20 Juli 1825 mengepung kediaman beliau. Terdesak, Pangeran beserta keluarga dan pasukannya menyelamatkan diri menuju barat hingga Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, dan meneruskan ke arah selatan hingga tiba di Goa Selarong yang terletak lima kilometer arah barat dari Kota Bantul. Sementara itu, Belanda —yang tidak berhasil menangkap Pangeran Diponegoro— membakar habis kediamannya.
Pangeran Diponegoro kemudian menjadikan Goa Selarong, sebuah goa yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, sebagai basisnya. Pangeran menempati goa sebelah Barat yang disebut Goa Kakung, yang juga menjadi tempat pertapaan beliau. Sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (selir yang paling setia menemani Pangeran setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah Timur.
Setelah penyerangan itu, dimulailah sebuah perang besar yang akan berlangsung 5 tahun lamanya. Di bawah kepemimpinan Diponegoro, rakyat pribumi bersatu dalam semangat "Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati"; sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati. Selama perang, sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro. Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Maja yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan. Dalam perang jawa ini Pangeran Diponegoro juga berkoordinasi dengan I.S.K.S. Pakubowono VI serta Raden Tumenggung Prawirodigdoyo Bupati Gagatan.[9]
2.      Perang padri
Gerakan kaum padri terpengaruh oleh gerakan wahabiah di arab abad XIX, dengan ide puritanismenya. Gerakan ini bertujuan untuk membersihkan ajaran Islam dari pengaruh kebudayaan setempat yang  mereka anggap menyalahi ajaran Islam. Pada awalnaya gerakan ini terkonsentrasi pada pemberantasan tradisi perjudian, adu ayam dan pesta-pesta dengan hiburan yang dianggap merusak kehidupan beragama. Namun dikemudian hari gerakan ini melakukan perlawanan terhadap belanda dan ingris yang dianggap berdampak buruk bagi masyarakat khususnya umat Islam.
Waktu inggris memegang kekuasaan sementara mereka berhasil menyingkirkan kaum padri dari padang dan seanteronya dengan segala tipu muslihat. Kekuasaan sebagai penguasa dipakai untuk memungut pajak dan sebagian dari hasil panen, mengarahkan tenaga wanita dan anak-anak untuk “dijual” sebagai tenaga pekerja antara lain di Sumatra timur. Hal itu dilakukan sampai ketika belanda datang kembali pada tahun 1816. Hal tersebut membuat para penguasa menggabungkan diri dan mengadakan perlawanan terhadap belanda. Pusat gerakan adalah Bonjol atau Alam panjang. Imam bonjol dalam memimpin gerakan dibantu oleh tuanku mudik padang dan mansiangan. Dalam perlawanan kaum padri, belanda lama-kelamaan sadar bahwa pada hakikatnya bahwa gerakan itu tidak hanya mempertahankan kepentingan agama akan tetapi juga perlawanan terhadap kolonial, sebagai ancaman dari kemerdekaan mereka.
Sejak ditandatangani perjanjian imam bonjol pada awal tahun 1824 yang bertujuan untuk menghentikan perlawanan kaum padri, semangat perlawan tidak mereda melaikan semakin dahsyat, tidak mudah fundamentalisme seperti yang ada pada kaum padri dipadamkan begitu saja. Namun meskipun begitu, timbul kelompok yang tidak setuju dengan kaum padri, antara lain mereka yang masih menganngap dirinya keturunan raja-raja minagkabau atau peghulu-penghulu. Diantara mereka yang terkemuka ialah tuanku nan saleh dari talawas penghulu tanah datar, dan lain-lain.
Politik kolonial belanda mengikuti pola lama seperti yang telah dijalankan di daerah-daerah lain, yaitu cenderung memihak yang lebih ‘lunak’ dengan para penguasa, dan karena itu bersedia bekerjasama dengan belanda. Diharapkan dengan demikian front pribumi diperlemah. Meskipun telah ditandatangani kontrak antara belanda dan para penghulu yang mewakili daerah kerajaan minangkabau pada tanggal 10 Februari 1821, jadi secara De Jure belanda telah di akui kekuasaanya, namun secara de Facto daerah-daerah belum dikuasanya. Dan akibatnya Satu persatu semuanya perlu diperangi, ditundukkan dan diduduki.
Pos-pos yang didirikan belanda menghadapi ancaman terus-menerus dari kaum padri yang tidak henti-hentinya melakukan-serangan-serangan, seperti terhadap semawang, sulit air, rau, enam kota, dan tanjung alam. Untuk melemahkan basis belanda kaum padri melakukan juga di tanah datar dan juga ke Natal. Ofensif belanda secara besar-besaran pada tahun 1820 terhadap pagaruyung dapat dipukul mundur. Dan di maraupalam satu kompi dapat dihancurkan.
Dengan didirikannya pos-pos penjagaan di minagkabau sejak bulan juli 1830 timbul kegiatan lagi dari perlawanan kaum padri,  bahkan mulai menjalankan agresi diluar daerahnya seperti di tanah Tapanuli. Taktik memperluas medan juga ditanggapi oleh belanda, akan tetapi serangannya tetap dipusatkan terhadap bonjol. Tuanku imam Bonjol dan tuanku Muda menyelamatkan diri dan lolos sebelum bonjol diduduki belanda pada tanggal 21 september 1832. Antara 1825-1832 masih banyak penghulu yang melakukan perlawanan. Akhirnya pada 30 oktober 1832 menyerahlah tuanku nan Alahan dan dengan demikian berakhirlah perang padri.[10] 
3.      Perang aceh
Meskipun pada awal XIX hegemoni kerajaan Aceh di Sumatra bagian Utara menurun  sudah sangat menurun, namun kedaulatannya masih sangat diakui oleh negara-negara Barat, bahkan Traktat London pada tahun 1824 menjamin kemerdekaan dan integritasnya. Menurut traktat tersebut Belanda diberi wewenang menjaga ketentraman di perairan dalam lingkungan kerajaan Aceh.
Dan pada tanggal 30 Maret 1857 ditanda tanganilah kontrak antara Aceh dengan pemerintahan Hindia Belanda. Dicantumkan pula didalamnya kebebasan perdagangan dan larangan perdagangan budak serta perompakan. Pada tahun 1857 terjadilah perjanjian Siak, suatu perjanjian yang ditentang oleh sultan aceh, oleh karena perjanjian ini bertentangan dengan kekuasaan aceh. Karna hal ini, aceh mengerahkan banyak kapal perang di pantai timur Sumatra, meskipun akhirnya Deli, Serdang, Asahan kesemuanya jatuh ketangan Belanda.[11]
Perang Aceh Pertama (1873-1874) dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah melawan Belanda yang dipimpin Köhler. Köhler dengan 3000 serdadunya dapat dipatahkan, dimana Köhler sendiri tewas pada tanggal 14 April 1873. Sepuluh hari kemudian, perang berkecamuk di mana-mana. Yang paling besar saat merebut kembali Masjid Raya Baiturrahman, yang dibantu oleh beberapa kelompok pasukan. Ada di Peukan Aceh, Lambhuk, Lampu'uk, Peukan Bada, sampai Lambada, Krueng Raya. Beberapa ribu orang juga berdatangan dari Teunom, Pidie, Peusangan, dan beberapa wilayah lain.
Perang Aceh Kedua (1874-1880). Pasukan Belanda dipimpin oleh Jenderal Jan van Swieten. Belanda berhasil menduduki Keraton Sultan, 26 Januari 1874, dan dijadikan sebagai pusat pertahanan Belanda. Pada 31 Januari 1874 Jenderal Van Swieten mengumumkan bahwa seluruh Aceh jadi bagian dari Kerajaan Belanda. Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari 1874, digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawood yang dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indrapuri. Perang pertama dan kedua ini adalah perang total dan frontal, dimana pemerintah masih berjalan mapan, meskipun ibu kota negara berpindah-pindah ke Keumala Dalam, Indrapuri, dan tempat-tempat lain.
Perang ketiga (1881-1896), perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi sabilillah. Dimana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1903. Dalam perang gerilya ini pasukan Aceh di bawah Teuku Umar bersama Panglima Polim dan Sultan. Pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van der Dussen di Meulaboh, Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar kemudian tampil menjadi komandan perang gerilya.
Perang keempat (1896-1910) adalah perang gerilya kelompok dan perorangan dengan perlawanan, penyerbuan, penghadangan dan pembunuhan tanpa komando dari pusat pemerintahan Kesultanan. Untuk mengalahkan pertahanan dan perlawan Aceh, Belanda memakai tenaga ahli Dr. Christiaan Snouck Hurgronje yang menyamar selama 2 tahun di pedalaman Aceh untuk meneliti kemasyarakatan dan ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya itu dibukukan dengan judul Rakyat Aceh (De Acehers). Dalam buku itu disebutkan strategi bagaimana untuk menaklukkan Aceh.
III.                PENUTUP
Kedatangan bangsa eropa pada awalnya adalah untuk tujian dagang. Yang pertama kali datang adalah portugis setelah sebelumnya para pelaut bangsa tersebut mengarungi samudra sampai menemukan tanjung harapan, untuk kemudian terus menjelajah sampai mendarat Indonesia yang mereka sebut sebagai Hindia timur. Disinilah portugis melakukan transaksi dagang dengan penduduk pribumi indonesia. Namun lama kelamaan tujuannya berubah ingin menguasai rempah-rempah Indonesia.
Di lain pihak belanda datang kemudian setelah terjadi konflik dengan portugis. Yang kemudian portugis dapat dipukul mundur dan belanda behasil menduduki Indonesia. Tujuan belanda datang ke bumi nusantara tidak jauh berbeda dengan portugis, yaitu sama-sama ingin menguasai rempah indonesia, yang pada akhirnya merujuk pada kolonialisasi terhadap indonesia. Dan pada tahap inilah indonesia menjadi negara jajahan belanda.
Kolonialisasi terhadap bangsa Indonesia yang semakin menyengsarakan masyarakat pribumi telah menimbulkan kesadaran akan ketertindasannya. Hal ini menimbulkan reaksi masyarakat indonesia untuk melawan ketertindasan tersebut. Latar belakang ideologi religius merupakan pendorong terbesar gerakan perlawanan ini. Adalah islam yang mempunyai istilah khusus untuk para orang-orang belanda tersebut, yaitu Kafir. Maka dari itu terjadi  pemberontakan-pemberontakan sampai perang besar di beberapa wilayah Indonesia.
Di jawa yaitu perang luar biasa selama 5 tahun yang dipimpin oleh pangeran Diponegoro. Dalam hal ini kebijakan ekonomi belanda yang menyebebkannya; Di sumatra ada perang yang dilakukan oleh Kaum padri yang bertujuan untuk memberantas para penguasa yang masih berpegang dengan budaya lokal yang menurutnya tidak sesuai dengan syariat; dan diujung barat sumatra terjadi perang aceh untuk melawan ketertindasan masyarakat karna adanya kolonialisasi.

DAFTAR PUSTAKA
Sartono kartodirdjo, pengantar sejarah indonesia baru: 1500-1900 dari emporium sampai imperium Jilid 1, (Jakarta: PT Gramedia, 1988)

Ricklefs M.C., Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta : Gajah Mada University press, 2011)

Vlekke, Bernard H.M., Nusantara sejarah indonesia, (jakarta : kepustakaan populer gramedia, 2008)





[1] M.C.Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta : Gajah Mada University press ), hal. 31
[2] Ibid, hal 32
[3] Ibid, hal 33         
[4] Bernard H.M. Vlekke., Nusantara sejarah indonesia, (jakarta : kepustakaan populer gramedia, 2008) h. 91
[5] M.C.Ricklefs, h. 38
[6] Ibid, h. 39
[7] M.c. Ricklefs op.cit
[8] Sartono kartodirdjo, pengantar sejarah indonesia baru: 1500-1900 dari emporium sampai imperium Jilid 1, PT Gramedia, Jakarta, 1988. h. 327
[9] Ibid. Hal. 380-381
[10] Sartono kartodirdjo, h.379-380
[11] Ibid., h. 386

Tidak ada komentar:

Posting Komentar