I. PENDAHULUAN
Islam
datang ke indonesia sangat berbeda dengan kedatangan islam di berbagai belahan
dunia lainnya. Islam datang dengan damai, melalui pendekatan budaya, makanya
dengan mudah diterima oleh penduduk lokal nusantara. Sedangkan yang lain dengan
cara pedang, dan harus merenggut banyak nyawa untuk kemudian islam bisa
diterima. Karna itu ciri khas islam di indonesia sangat berbeda dengan yang
lainnya, adanya akulturasi dengan bedaya lokal itulah yang membedakannya dengan
yang lain.
Dalam
sejarahnya, islam datang di Indonesia sekitar abad XIII, yang dibawa oleh
pedagang dari timur tengah yang kemudian menyebarkan islam di indonesia. Dalam
hal ini banyak perbedaan pendapat, ada juga yang menyatakan bahwa Islam datang
di indonesia pada awal abad hijriyah, atau sekitar abad VII Masehi. namun yang
pasti pada abad-abad seterusnya setelah abad XIII islam eberitakan sudah
berkembang yang dibuktikan dengan berdirinya beberapa kerajaan islam seperti
malaka, Samudra pasai, Aceh, mataram, dan sebagainya.
Abad
ke XV-XVI adalah abad dimana eropa bangkit dan maju. Termasuk dalam bidang
pelayarannya. maka dari itu, orang eropa banyak melakukan ekspedisi-ekspedisi
maritim yang bertujuan untuk mencari sumber daya demi keperuluan dagang. Dari
Ekspedisi-ekspedisi tersubut melahirkan pelaut-pelaut hebat yang bisa
mengarungi samudra dan menemukan tanjung harapan di afrika selatan. Kemudian
mengarungi sampai ke asia timur dan sampai ke nusantara.
Dari
latar belakang tesebut, makalah ini akan membahas tentang kedatangan eropa ke
Indonesia. dan karna seperti disebutkan sebelumnya bahwa Islam sedang
berkembang pada saat-saat itu maka kami juga akan membahas tentang respon yang
dilakukan umat islam terhadap kedatangan eropa tersebut. Dalam masalah ini kami
akan membahas di beberapa kasus tenang respon umat Islam tentang kedatangan
eropa.
II. PEMBAHASAN
A. Kedatangan Eropa di Indonesia
Orang-orang
Eropa datang ke Asia Tenggara pada awal abad XVI. Orang-orang Eropa, terutama
Belanda memiliki dampak yang sangat besar terhadap Indonesia, namun hal
tersebut pada dasarnya merupakan suatu gejala yang berpengaruh pada masa
belakangan, bagaimanapun juga pengaruh orang-orang Eropa pada tahun-tahun
pertama kehadiran mereka sangatlah terbatas daerah dan kedalamannya.[1] Pada
awal abad XV Eropa bukanlah merupakan kawasan yang paling maju dan paling
dinamis, namun kekuatan besar yang sedang berkembang di dunia adalah Islam.
Orang-orang
Eropa, terutama bangsa Portugis mencapai kemajuan-kemajuan dibidang teknologi
tertentu yang akan membuat bangsa Portugis
mengalami suatu petualangan mengarungi samudra yang paling berani.
Bangsa Portugis tidak hanya mencapai kemajuan-kemajuan di bidang teknologi yang
memungkinkan mereka melebarkan sayapnya hingga menuju sebrang lautan, namun
mereka juga memiliki keinginan dan kepentingan yang keras untuk melakukan hal
tersebut. Dengan dorongan dari pangeran Henry, para pelaut dan petualangan
Portugis memulai usaha pencarian emas, kemenangan dalam peperangan, dan
mengepung jalan lawan yang beragama islam dengan menyusuri pantai Barat Afrika.
Mereka juga berusaha untuk bisa mendapatkan rempah-rempah, dan secara tidak
langsung hal ini membuat mereka mendapatkan jalan ke Asia dengan tujuan
memotong jalur pelayaran para pedagang Islam, yang melalui tempat penjualan
mereka di Venesia di Laut Tengah memonopoli impor rempah-rempah ke Eropa.[2]
Pada
tahun 1487 Bartolomeu Dias mengitari Tanjung Harapan dan dengan demikian
pulalah dia sudah memasuki Samudra Hindia. Barang-barang dagangan yang ingin
mereka jual tidak dapat bersaing di pasaran India yang canggih dengan
hasil-hasil yang mengalir melalui jaringan perdagangan Asia. Dengan adanya
ancaman bahaya tersebuat membuat mereka menyadari bahwa mereka harus melakukan
peperangan di laut untuk mengokohkan diri. Orang yang paling bertanggung jawab
dengan dijalaninya keadaan seperti ini adalah Afonso de Albuquerque, yang
merupakan panglima angkatan laut yang terbesar pada masa itu. Pada tahun 1503
Albuquerque menjalankan perjalanan menuju India, dan pada tahun 1510 dia dapat
menaklukkan Goa di pantai Barat yang kemudian dijadikan pangkalan tetap
Portugis. Dibuatnya pangakalan-pangkalan tersebut adalah untuk mendominasi
perdagangan laut di Asia yang dapat digunakan untuk mengerahkan teknologi yang
tinggi. Dan pada tahun yang sama bangsa Portugis hampir mencapai tujuannya,
yaitu menyerang ujung Timur perdagangan Asia di Malaka. Pada tahun 1511
Albuquerque melakukan pelayaran dari Goa Portugis menuju Malaka dengan kekuatan
kira-kira 1.200 oarang dengan tujuh belas atau delapan belas buah kapal.[3]
Peperangan tersebut terjadi secara sporadis sepanjang bulan Juli hingga awal
bulan Agustus.
Namun,
disebelah Barat Nusantara, Portugis tidak lagi menjadi kekuatan yang
revolusioner. Keunggulan teknologi mereka yang terdiri atas teknik-teknik
pelayaran dan militerdengan cepat berhasil diplajari oleh saingan-saingan
mereka dari Indonesia yang merupakan musuh mereka. Malaka Portugis menjadi
suatu bagian dari jaringan konflik di selat malaka, dimana Johor dan Aceh
berlomba-lomba untuk dapat saling menglahkan untuk saling mengalahkan satu sama
lain dan juga mengalahkan Portugis, dan demikian menjadi pengganti Malaka yang
sesungguhnya.
Pada
masa ini, di jawa yaitu majapahit sedang menyusut dan kekuatannya tergundang
hebat. Ketika duta cina tiba di jawa, mereka tidak beruntung karna terseret
dalam suatu pertempuran lokal, hingga 150 pengikut mereka terbunuh. Tampaknya
raja-raja lokal jawa sekali lagi terlibat dalam perebutan kekuasaan yang ganas.
Pergumulan ini mungkin bagian dari kekacauan politik yang menyertai peralihan
takhta majapahih kepada suatu dinasti baru dan perpindahan kediaman raja dari
dari majapahit ke keraton baru.[4]
Setelah
bangsa Potugis datanglah orang-orang Belanda yang memiliki aspirasi dan
strategi Portugis. Orang-orang Belanda datang dengan membawa persenjataan,
kapal-kapal, dan dukungan keuangan yang lebih baik, serta kombinasi antara
keberanian dan kekejaman yang sama. Mereka hampir menguasai seperti apa yang
diinginkan oleh Portugis, namun yang tidak berhasil diperolehnya adalah
mengusai rempah-rempah Indonesia. Yang membuat Belanda berbeda dengan Portugis
ketika datang ke Indonesia adalah, orang-orang Belanda mendirikan tempat
berpijak yang tepat di Jawa, yang membuat mereka menjadi suatu kekuatan penjajah
yang berpangkalan di daratan Jawa.
Orang-orang
portugis berusaha merahasiakan jalur-jalur pelayaran ke Asia kepada orang-orang
Belanda, namun ada saja orang-orang Belanda yang bekerja pada mereka pada saat
itu, yang paling terkenal diantaranya adalah Jan Huygen van Lischoten.[5] Pada
tahun 1595-1596 dia menerbitkan bukunya yang berjudul Itinerario naer Oost
ofte Portugaels Indien (catatan perjalanan ke Timur atau Hindia Portugis)
yang memuat peta-peta dan deskripsi yang rinci tentang penemuan-penemuan Portugis.
Dengan sebab itulah orang-orang Belanda semakin mengetahui kekayaan yang ada di
Asia, dan karena mereka merasa yakin pula bahwa tingkat kesempurnaan kontruksi
kapal dan persenjataan mereka membuat mereka merasa yakin bahwa orang-orang
Portugis di Asia tidak mampu menandingi mereka.
Dan
pada tahun 1595 pelayaran pertama Belanda menuju Hindia Timur dimulai. Empat
buah kapal dengan dua ratus empat puluh sembilan awak kapal dan enam puluh
empat pucuk meriam berangkat dibawah pimpinan Cornelis de Houtman.[6] Pada
bulan Juni 1596nkapal-kapal de Houtman tiba di Banten, pelabuhan lada terbesar
di Jawa Barat. Pada saat itulah orang-orang Belanda mulai terlibat konflik
antara orang-orang Portugis dan masyarakat pribumi. Namu itu semua tidak
berlangsung lama, de Houtman meninggalkan Banten dan kemudian melanjutkan
pelayarannya menuju Timur dengan menyusuri pantai Utara pulau Jawa. dan pada
masanya, munculah zaman yang dikenal sebagai zaman pelayaran-pelayaran liar
atau tidak teratur (wilde vaart), yaitu ketika perusahaan-perusahaan ekspedisi
Belanda yang saling berjuang keras untuk memperoleh bagian dari rempah-rempah
indonesia. Pada tahun 1598 dua puluh dua kapal milik lima perusahaan yang
berbeda mengadakan pelayaran, namun hanya empat belas kapal yang akhirnya kembali.
Aramada dibawah pimpinan Jacob van Neck lah yang pertama tiba di kepulauan
rempah-rempah di Maluku, yang mana rombongannya diterima dengan baik oleh
masyarakat Maluku. Kemudian kapal-kapal tersebut kembali ke Belanda dengan
membawa banyak rempah-rempah yang menghasilkan keuntungan sebesar 400 persen.
Dengan diperolehnya banyak keuntungan tersebut membuat mereka melakukan peelayaran kembali pada tahun 1601.[7] Karena
semakin banyaknya para pedagang-pedagang eropa yang berdatangan ke Asia,
menyebabkan semakin kecilnya keuntungan yang diperoleh, oleh sebab itu parlemen
Belanda pada tahun 1598 mengajukan sebuah usulan agar perseroan-perseroan yang
saling bersaing itu sebaiknya menggabungkan kepentingan mereka masing-masing
kedalam suatu fusi, dan diperlukan waktu emapat tahun untuk bisa benar-benar
membuat fusi semacam itu.
Pada
bulan Maret 1602 perseroan-perseroan yang saling bersaing itu bergabung
membentuk perserikatan maskapai Hindia Timur, VOC (Vereening de Oost Indische
Compagni). Meskipun VOC merupakan organisasi Belanda, tetapi sebagian besar
personilnya bukanlah orang Belanda. Para petualang, gelandangan, penjahat, dan
orang-orang yang benasib jelek dari seluruh Eropalah yang mengucapkan sumpah
setia. Ketidakberdayagunaan, ketidakjujuran, nepotisme, dan alkoholisme tersebut
luas dikalangan VOC, hingga pada masa ini merupakan abad kekejaman.
Untuk
menangani secara lebih tegas urusan-urusan VOC di Asia, maka pada tahun 1610
diciptakan jabatan jenderal. Selama masa jabatan tiga orang gubenur jenderal
yang 1610-1619 yang dijadikan pusat VOC adalah Ambon, namun tempat ini ternyata
tidak begitu memuaskan untuk dijadikan sebagai markas besar, walaupun Ambon
terlertak tepat di jantung wilayah penghasil rempah-rempah. Belanda mulai
mencari suatu tempat yang lebih baik untuk dijadikan suatu pusat pertemuan,
suatu pelabuhan yang aman tempat mereka dapat mendirikan kantor-kantor,
gudang-gudang, dan fasilitas bagi angkutan laut mereka. Dan dengan sendirinya
perhatian mereka beralih ke Nusantara bagian Barat,suatu tempat di dekat selat
Malaka yang sangat penting atau selat Sunda. Pusat perdagangan pertama VOC yang
tetap telah dibangun di Banten pada tahun 1603, tetapi tampak jelas bahwa
tembat tersebut tidak cocok karena di daerah ini mereka memiliki saingan yang
sangat hebat dari pedagang Cina dan Inggris, dan kawasan ini berada dibawah
kekuasaan masyarakat Banten yang sangat kuat.
Orang-orang
VOC semakin merasa meningkatnya ancaman persaingan dari pihak Inggris. Sir
Francis Drake mengadakan kontrak pertama Inggris dengan Indonesia dalam
pelayarannya mengelilingi dunia ke arah Barat pada tahun 1577-1580. Dia singgah
di Ternate dan pulang ke negaranya dengan membawa muatan cengkeh. Orang-orang
Inggris sama haknya dengan orang-orang Belanda, didirong untuk terlibat secara
langsung dalam perdagangan rempah-rempah. Pada tahun 1600 putri Elizabeth I
memberi sebuah oktori kepada maskapai Hindia Timur (The East India Company) dan
mulailah Inggris mendapat kemajuan di Asia. Sir James Lncaster ditunjuk untuk
memimpin pelayaran pertama maskapai ini. Dia tiba di Aceh pada bulan Juni 1602
dan terus menuju Banten, dia mendapatkna izin untuk mendirikan kantor dagang
pelabuhan lada yang sangat kaya ini tetap menjadi pusat kegiatan orang-orang
Inggris sampai tahun 1682.
Pada
tahun 1604 pelayaran kedua maskapai Hindia Timur Inggris yang dipimpin oleh Sir
Henry Middleton berhasil mencapai Ternate, Tidore, Ambon dan Banda, namun di
wilayah ini mereka mendapat perlawanan dari pihak VOC, dan mulailah persaingan
sengit Inggris-Belanda untuk mendapatkan rempah-rempah. Konflik Inggris dengan
Belanda semakin memuncak ketika orang-orang Belanda menganggap bahwa cita-cita
monopoli mereka telah terlepas.
Namun
pada akhirnya dan dengan rasa yang terpaksa, pihak VOC dengan Inggris melakukan
kerja sama karena pertimbangan-pertimbangan diplomatik di Eropa pada tahun
1620. Orang-orang Inggris diperbolehkan untuk mendirikan kantor dagang mereka
di Ambon.
B. Respon yang dilakukan umat Islam di beberapa wilayah Indonesia terhadap penetrasi orang Eropa
Kedatangan
belanda di Indonesia yang tujuan awalnya adalah dagang sudah menyimpang kearah kilonialisasi. hal ini yang menimbulkan kesadaran
pihak-pihak yang merasa dirugikan, terutama masyarakat bawah yang semakin
terasa mengalami penderitaan akibat kolonaialisasi tersebut. Berangkat dari
kesadaran tersebut, banyak terjadi pemberontakan-pemberontakan bahkan perang
bahkan perang besar terjadi di beberapa wilayah seperti perang diponegoro di
jawa, perang banjarmasin di kalimantan dan perang padri di Sumatra barat.
Sartono
kartodirdjo mempunyai pandangan lain mengenai hal ini, menurutnya kesadaran
akan ketertindasan akibat kolonialisasi orang Eropa bukanlah faktor utama yang
mendorong gerakan-gerakan perlawanan tersebut. Menurutnya “faktor religius
dalam hal ini akan memperkuat keyakinan serta mempertegas sikap dan tindakan.
Identitas yang diberikan oleh ideologi religius mengenai belanda dan masyarakat
yang menciptakannya menjadi jelas. Belanda adalah kafir yang akan mengancam Dar-al-Islam. Dan kedatangan belanda
pasti akan dilawan dengan perang Sabil, seperti
apa yang terjadi di minangkabau dan aceh.”[8] Maka
dari faktor tersebut terjadi beberapa pemberontakan dan perang di beberapa
wilayah Indonesia sebagai berikut :
1. Perang diponegoro
Ada
bebrapa sebab perang ini terjadi, kebijakan ekonomi belanda adalan penyebab
utama. Kebijakan tersebut sangat menguntungkan pihak belanda dan amat
menyusahkan masyarakat bawah. Seperti kebijakan lalu lintas dengan pengangkutan
barang, semuanya dikenakan pajak, sampai seorang ibu yang menggendong anaknya
dikenakan pajak. Kebijakan lain yang tak kalah menyusahkan dan sampai dialami
oleh pengeran diponegoro sendiri, yaitu
tentang penyewaan tanah yang dilakukan sri sultan yaitu ayah dari
diponegoro dihargai 25 real, akan tetapi, ketika belanda memakainya mengalami
kerugian, Ia menuntut ganti rugi sebesar 60.000 real. Hal ini tak pelak membuat
pangerang diponegoro sangat marah.
Puncaknya
adalah Pada pertengahan bulan Mei
1825,
pemerintah Belanda yang awalnya memerintahkan pembangunan jalan dari Yogyakarta
ke Magelang
lewat Muntilan,
mengubah rencananya dan membelokan jalan itu melewati Tegalrejo. Rupanya di
salah satu sektor, Belanda tepat melintasi makam dari leluhur Pangeran
Diponegoro. Hal inilah yang membuat Pangeran Diponegoro tersinggung dan
memutuskan untuk mengangkat senjata melawan Belanda. Ia kemudian memerintahkan
bawahannya untuk mencabut patok-patok yang melewati makam tersebut. Namun
Belanda tetap memasang patok-patok tersebut bahkan yang sudah jatuh sekalipun.
Karena kesal, Pangeran Diponegoro mengganti patok-patok tersebut dengan tombak.
Belanda
yang mempunyai alasan untuk menangkap Pangeran Diponegoro karena dinilai telah
memberontak, pada 20 Juli 1825 mengepung kediaman beliau. Terdesak, Pangeran
beserta keluarga dan pasukannya menyelamatkan diri menuju barat hingga Desa
Dekso di Kabupaten Kulonprogo, dan meneruskan ke arah selatan hingga tiba di
Goa Selarong yang terletak lima kilometer arah barat dari Kota Bantul.
Sementara itu, Belanda —yang tidak berhasil menangkap Pangeran Diponegoro—
membakar habis kediamannya.
Pangeran
Diponegoro kemudian menjadikan Goa Selarong, sebuah goa yang terletak di Dusun
Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, sebagai basisnya. Pangeran menempati
goa sebelah Barat yang disebut Goa Kakung, yang juga menjadi tempat pertapaan
beliau. Sedangkan Raden
Ayu Retnaningsih (selir yang
paling setia menemani Pangeran setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya
menempati Goa Putri di sebelah Timur.
Setelah
penyerangan itu, dimulailah sebuah perang besar yang akan berlangsung 5 tahun
lamanya. Di bawah kepemimpinan Diponegoro, rakyat pribumi bersatu dalam
semangat "Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati";
sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati. Selama perang, sebanyak 15
dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro.
Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai
Maja yang juga menjadi pemimpin spiritual
pemberontakan. Dalam perang jawa ini Pangeran Diponegoro juga berkoordinasi
dengan I.S.K.S. Pakubowono VI serta Raden Tumenggung Prawirodigdoyo Bupati
Gagatan.[9]
2. Perang padri
Gerakan
kaum padri terpengaruh oleh gerakan wahabiah di arab abad XIX, dengan ide
puritanismenya. Gerakan ini bertujuan untuk membersihkan ajaran Islam dari
pengaruh kebudayaan setempat yang mereka
anggap menyalahi ajaran Islam. Pada awalnaya gerakan ini terkonsentrasi pada
pemberantasan tradisi perjudian, adu ayam dan pesta-pesta dengan hiburan yang
dianggap merusak kehidupan beragama. Namun dikemudian hari gerakan ini melakukan
perlawanan terhadap belanda dan ingris yang dianggap berdampak buruk bagi
masyarakat khususnya umat Islam.
Waktu
inggris memegang kekuasaan sementara mereka berhasil menyingkirkan kaum padri
dari padang dan seanteronya dengan segala tipu muslihat. Kekuasaan sebagai
penguasa dipakai untuk memungut pajak dan sebagian dari hasil panen,
mengarahkan tenaga wanita dan anak-anak untuk “dijual” sebagai tenaga pekerja
antara lain di Sumatra timur. Hal itu dilakukan sampai ketika belanda datang
kembali pada tahun 1816. Hal tersebut membuat para penguasa menggabungkan diri
dan mengadakan perlawanan terhadap belanda. Pusat gerakan adalah Bonjol atau
Alam panjang. Imam bonjol dalam memimpin gerakan dibantu oleh tuanku mudik
padang dan mansiangan. Dalam perlawanan kaum padri, belanda lama-kelamaan sadar
bahwa pada hakikatnya bahwa gerakan itu tidak hanya mempertahankan kepentingan
agama akan tetapi juga perlawanan terhadap kolonial, sebagai ancaman dari
kemerdekaan mereka.
Sejak
ditandatangani perjanjian imam bonjol pada awal tahun 1824 yang bertujuan untuk
menghentikan perlawanan kaum padri, semangat perlawan tidak mereda melaikan
semakin dahsyat, tidak mudah fundamentalisme seperti yang ada pada kaum padri
dipadamkan begitu saja. Namun meskipun begitu, timbul kelompok yang tidak
setuju dengan kaum padri, antara lain mereka yang masih menganngap dirinya
keturunan raja-raja minagkabau atau peghulu-penghulu. Diantara mereka yang
terkemuka ialah tuanku nan saleh dari talawas penghulu tanah datar, dan
lain-lain.
Politik
kolonial belanda mengikuti pola lama seperti yang telah dijalankan di
daerah-daerah lain, yaitu cenderung memihak yang lebih ‘lunak’ dengan para
penguasa, dan karena itu bersedia bekerjasama dengan belanda. Diharapkan dengan
demikian front pribumi diperlemah. Meskipun telah ditandatangani kontrak antara
belanda dan para penghulu yang mewakili daerah kerajaan minangkabau pada
tanggal 10 Februari 1821, jadi secara De Jure belanda telah di akui
kekuasaanya, namun secara de Facto daerah-daerah belum dikuasanya. Dan
akibatnya Satu persatu semuanya perlu diperangi, ditundukkan dan diduduki.
Pos-pos
yang didirikan belanda menghadapi ancaman terus-menerus dari kaum padri yang
tidak henti-hentinya melakukan-serangan-serangan, seperti terhadap semawang,
sulit air, rau, enam kota, dan tanjung alam. Untuk melemahkan basis belanda
kaum padri melakukan juga di tanah datar dan juga ke Natal. Ofensif belanda
secara besar-besaran pada tahun 1820 terhadap pagaruyung dapat dipukul mundur.
Dan di maraupalam satu kompi dapat dihancurkan.
Dengan
didirikannya pos-pos penjagaan di minagkabau sejak bulan juli 1830 timbul
kegiatan lagi dari perlawanan kaum padri,
bahkan mulai menjalankan agresi diluar daerahnya seperti di tanah
Tapanuli. Taktik memperluas medan juga ditanggapi oleh belanda, akan tetapi
serangannya tetap dipusatkan terhadap bonjol. Tuanku imam Bonjol dan tuanku
Muda menyelamatkan diri dan lolos sebelum bonjol diduduki belanda pada tanggal
21 september 1832. Antara 1825-1832 masih banyak penghulu yang melakukan perlawanan.
Akhirnya pada 30 oktober 1832 menyerahlah tuanku nan Alahan dan dengan demikian
berakhirlah perang padri.[10]
3. Perang aceh
Meskipun
pada awal XIX hegemoni kerajaan Aceh di Sumatra bagian Utara menurun sudah sangat menurun, namun kedaulatannya
masih sangat diakui oleh negara-negara Barat, bahkan Traktat London pada tahun
1824 menjamin kemerdekaan dan integritasnya. Menurut traktat tersebut Belanda
diberi wewenang menjaga ketentraman di perairan dalam lingkungan kerajaan Aceh.
Dan
pada tanggal 30 Maret 1857 ditanda tanganilah kontrak antara Aceh dengan
pemerintahan Hindia Belanda. Dicantumkan pula didalamnya kebebasan perdagangan
dan larangan perdagangan budak serta perompakan. Pada tahun 1857 terjadilah
perjanjian Siak, suatu perjanjian yang ditentang oleh sultan aceh, oleh karena
perjanjian ini bertentangan dengan kekuasaan aceh. Karna hal ini, aceh
mengerahkan banyak kapal perang di pantai timur Sumatra, meskipun akhirnya
Deli, Serdang, Asahan kesemuanya jatuh ketangan Belanda.[11]
Perang Aceh
Pertama (1873-1874) dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan
Mahmud Syah melawan Belanda
yang dipimpin Köhler. Köhler
dengan 3000 serdadunya dapat dipatahkan, dimana Köhler sendiri tewas pada tanggal 14 April
1873.
Sepuluh hari kemudian, perang berkecamuk di mana-mana. Yang paling besar saat
merebut kembali Masjid Raya Baiturrahman, yang dibantu oleh beberapa kelompok
pasukan. Ada di Peukan Aceh, Lambhuk, Lampu'uk, Peukan Bada, sampai Lambada, Krueng Raya. Beberapa ribu
orang juga berdatangan dari Teunom,
Pidie, Peusangan, dan beberapa wilayah lain.
Perang Aceh Kedua (1874-1880). Pasukan Belanda dipimpin oleh
Jenderal Jan van Swieten. Belanda berhasil menduduki Keraton Sultan, 26 Januari
1874,
dan dijadikan sebagai pusat pertahanan Belanda. Pada 31 Januari
1874 Jenderal Van Swieten mengumumkan bahwa seluruh Aceh jadi bagian dari Kerajaan Belanda. Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari
1874,
digantikan oleh Tuanku
Muhammad Dawood yang dinobatkan
sebagai Sultan di masjid Indrapuri. Perang pertama dan kedua ini adalah perang
total dan frontal, dimana pemerintah masih berjalan mapan, meskipun ibu
kota negara berpindah-pindah ke Keumala Dalam, Indrapuri, dan tempat-tempat lain.
Perang
ketiga (1881-1896), perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi
sabilillah. Dimana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun
1903. Dalam perang gerilya ini pasukan Aceh di bawah Teuku Umar
bersama Panglima Polim dan Sultan. Pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van der Dussen di Meulaboh,
Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar kemudian tampil menjadi
komandan perang gerilya.
Perang
keempat (1896-1910) adalah perang gerilya kelompok dan perorangan dengan
perlawanan, penyerbuan, penghadangan dan pembunuhan tanpa komando dari pusat
pemerintahan Kesultanan. Untuk mengalahkan pertahanan dan perlawan Aceh,
Belanda memakai tenaga ahli Dr. Christiaan
Snouck Hurgronje yang menyamar
selama 2 tahun di pedalaman Aceh untuk meneliti kemasyarakatan dan
ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya itu dibukukan dengan judul Rakyat Aceh
(De Acehers). Dalam buku itu disebutkan strategi bagaimana untuk
menaklukkan Aceh.
III. PENUTUP
Kedatangan
bangsa eropa pada awalnya adalah untuk tujian dagang. Yang pertama kali datang
adalah portugis setelah sebelumnya para pelaut bangsa tersebut mengarungi
samudra sampai menemukan tanjung harapan, untuk kemudian terus menjelajah
sampai mendarat Indonesia yang mereka sebut sebagai Hindia timur. Disinilah
portugis melakukan transaksi dagang dengan penduduk pribumi indonesia. Namun
lama kelamaan tujuannya berubah ingin menguasai rempah-rempah Indonesia.
Di
lain pihak belanda datang kemudian setelah terjadi konflik dengan portugis.
Yang kemudian portugis dapat dipukul mundur dan belanda behasil menduduki
Indonesia. Tujuan belanda datang ke bumi nusantara tidak jauh berbeda dengan
portugis, yaitu sama-sama ingin menguasai rempah indonesia, yang pada akhirnya
merujuk pada kolonialisasi terhadap indonesia. Dan pada tahap inilah indonesia
menjadi negara jajahan belanda.
Kolonialisasi
terhadap bangsa Indonesia yang semakin menyengsarakan masyarakat pribumi telah
menimbulkan kesadaran akan ketertindasannya. Hal ini menimbulkan reaksi
masyarakat indonesia untuk melawan ketertindasan tersebut. Latar belakang
ideologi religius merupakan pendorong terbesar gerakan perlawanan ini. Adalah
islam yang mempunyai istilah khusus untuk para orang-orang belanda tersebut,
yaitu Kafir. Maka dari itu terjadi
pemberontakan-pemberontakan sampai perang besar di beberapa wilayah
Indonesia.
Di
jawa yaitu perang luar biasa selama 5 tahun yang dipimpin oleh pangeran
Diponegoro. Dalam hal ini kebijakan ekonomi belanda yang menyebebkannya; Di
sumatra ada perang yang dilakukan oleh Kaum padri yang bertujuan untuk
memberantas para penguasa yang masih berpegang dengan budaya lokal yang
menurutnya tidak sesuai dengan syariat; dan diujung barat sumatra terjadi
perang aceh untuk melawan ketertindasan masyarakat karna adanya kolonialisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Sartono kartodirdjo, pengantar sejarah indonesia baru: 1500-1900
dari emporium sampai imperium Jilid 1, (Jakarta: PT Gramedia, 1988)
Ricklefs M.C., Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta : Gajah Mada University press,
2011)
Vlekke, Bernard H.M., Nusantara
sejarah indonesia, (jakarta : kepustakaan populer gramedia, 2008)
[1]
M.C.Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern,
(Yogyakarta : Gajah Mada University press ), hal. 31
[2] Ibid,
hal 32
[3] Ibid,
hal 33
[4] Bernard
H.M. Vlekke., Nusantara sejarah indonesia, (jakarta : kepustakaan
populer gramedia, 2008) h. 91
[5] M.C.Ricklefs,
h. 38
[6] Ibid, h.
39
[7] M.c.
Ricklefs op.cit
[8] Sartono
kartodirdjo, pengantar sejarah indonesia
baru: 1500-1900 dari emporium sampai imperium Jilid 1, PT Gramedia,
Jakarta, 1988. h. 327
[9] Ibid. Hal. 380-381
[10] Sartono
kartodirdjo, h.379-380
[11] Ibid.,
h. 386
Tidak ada komentar:
Posting Komentar