Selasa, 24 November 2015

Islam dan Tradisi Musik di Asia Tenggara

Pendahuluan
Islam merupakan agama yang turun dengan seperangkat aturan yang terkandung dalam kitab sucinya, Alqur’an. Di dalamnya terkandung ajaran tauhid, Hukum, Muamalat, dan juga akhlak. Secara umum Aturan-aturan tersebut berisi perintah dan larangan. Dan hal itu menjadi suatu yang wajib untuk dilaksanakan oleh setiap pengikutnya.
Islam berisi aturan-aturan hukum. Ada wajib, yaitu hukum yang juka dilaksanankan mendapat pahala dan jika di tingalkan berdosa; sunnah, yaitu hukum yang jika di dilaksanakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa; Mubah, hukum yang juka di tinggalkan atau dilakasannakan tidak berpahala maupun berdosa; makruh, yaitu kebalikan dari sunnah; dan haram, yaitu hukum sebagai lawan dari Wajib. Yang kesemuanya itu telah tertera semuanya dalam kitab-kitab fiqih, yang bersumber dari Alqur’an, As-sunnah, maupun Ijtihad para ulama.
Dalam Islam di tegaskan bahwa hukum segala sesuatu pada dasarnya di perbolehkan (Mubah), selagi tidak ada aturan yang melarang atau mewajibkannya. Maka dari itu, hal-hal yang tidak menyakngkut ibadah yang sudah jelas tertera dalam hukum Islam, selagi tidak ada aturan yang mewajibkan atau melarang pada dasarnya diperbolehkan. Seperti bermusik yang sebenarnya di perbolehkan, namun ada yang yang berargumen dengan sebuah Hadits yang melarang. Namun para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini, tentunya dengan argumen mereka masing-masing.
Dalam tulisan ini, akan secara singkat membahas tentang hubungan antara Islam dan musik. Apakah ada larangan tentang Musik dalam Islam, dan bagaiman Hukumnya jika bermain musik jika dalam musik tersebut terkandung nilai-nilai Islam. Dan selanjutnya membahas beberapa contoh tradisi Musik yang bernafaskan Islam di Asia tenggara.
Sebanarnya Jika membahas konteks Asia tenggara, kemungkinan sangat luas dan kaya tradisi musik bernafaskan Islam ini, Namun karena sumber yang kami temukan kebanyakan membahas tentang Islam dan musik di Indonesia ataupun melayu Malaysia. Kemungkinan karena negara yang menjadi basis umat Islam di Asia tenggara yaitu kedua negara tersebut. Namun tidak menutup kemungkinan, di negara-negara Islam minoritas seperti Vietnam, Thailand, kambodja, Filipina, myanmar, juga terdapat tradisi semacam ini.  Maka dari itu, yang kami bahas dalam tulisan ini seputar Musik dan Islam di Indonesia dan melayu Malaysia.
1.      Islam dalam hubungannya dengan Musik
Musik dalam Islam, merupakan hal yang sebenarnya bisa dikaitan. Islam merupakan agama yang berisikan seperangkat ajaran dan nilai. Dalam kaidah pengambilan hukum Islam, hukum suatu hal pada dasarnya diperbolehkan, sebelum ada dalil yang melarangnya. Jika dilihat dalam kamus besar Bahasa Indonesia, musik berarti ilmu atau seni menyusun nada atau suara dalam urusan, kombinasi, dan hubungan temporal untuk menghasilkan komposisi (suara) yang mempunyai kesatuan dan kesinambungan.[1] Maka dari pengertian tersebut jelaslah bahwa musik merupakan sesuatu yang Mubah atau di perbolehkan, karena tidak mengandung hal-hal yang di larang dalam Syariat.
Dalam Alqur’an tidak menjelaskan hukum mendengarkan atau memainkan musik secara tegas. Para ulama yang mengharamkan musik mendasarkan argumennya pada surat Al-Luqman ayat 6. Yang menyebutkan bahawa orang yang mengucapkan perkataan yang tidak bermanfaat akan mendapatkan azab yang pedih. Artinya bahwa musik yang merupakan suara yang keluar dari alat musik dan ber-ritme merupakan sesuatu yang bermanfaat.
Namun, hal itu tidak relavan karena dalam ayat tersebut menyatakan bahwa yang mendapat adzab yang pedih nantinya adalah yang mengucapkan perkataan yang tidak bermanfaat. Sedangkan musik bukanlah perkataan. Karna yang mengandung perkataan adalah lagu. Sedangkan lagu tidak semuaya mengandung kata-kata yeng jelek atau mengarah pada perbuatan maksiat.
Untuk lagu yang mengandung kata-kata yang tidak baik atau mengarah pada maksiat tentu hukumnya haram, tapi untuk lagu yang isinya baik apalagi berisi syiar, tentu boleh. Jadi yang mempengaruhi hukum musik itu bukan musik itu sendiri, melainkan sesuatu yang lain diluar musik, seperti lirik lagu yang berisi kata-kata tidak baik.
Sedangkan dari sisi Hadits, ada sekitar tujuh Hadits yang secara langsung mengharamkan musik.[2] Salah satunya Hadits yang paling kuat yaitu sebagai berikut:
“akan ada sebagian di antara umatku yang menghalalkan zina, sutera dan minum minuman keras dan Musik.” (H.R. Bukhari)
Sebagian ulama, seperti yang dikatakan Al-Gazali, larangan tersebut tidak ditujukan pada alat musiknya, (seruling atau gitar), melainkan disebabkan karena “sesuatu yang lain” (amru Kharij). Karena di awal-awal Islam, kata Al-Ghazali kedua alat musik tersebut lebih dekat dimainkan di tempat-temat maksiat, sebagai musik pengiring  pesta minuman keras. Dan itu yang dilarang.
Maka dari itu, musik dalam hal ini, meski dalam Hadits ada larangan untuk memainkannya, namun laranga tersebut bukan terletak pada alat musiknya, melainkan pada hal yang diluar musik tersebut. Terlebih lagi, Islam menghendaki keindahan, dan musik merupakan sesuatu yang indah, maka dari itu, musik di perbolehkan. Apalagi jika melihat kasus di Indonesia, musik digunakan untuk memeriahkan pesta pernikahan, atau untuk memeriahkan peringatan hari besar Islam seperti lebaran, Maka itu sesuatu yang diharuskan.
2.      Tradisi Musik Islam di Asia tenggara
Tradisi atau kebudayaan yang ada di Asia tenggara, khusunya Indonesia, merupakan pengaruh dari agama-agama yang datang untuk menyebarkan ajarannya. pada kenyataanya, orang-orang penyebar agama tersebut tidak hanya menyebarkan ajaran-ajaran agamanya, namun juga membewa pengaruh kebudayaan ke Indonesia.
Pertama kali oleh para pendeta Hindu Budha, yang menyebarkan kebudayaan India ke Indonesia, yang bisa dilihat dari pennggalan-peninggalan Arkeologis yang mencirikan kebudayaan Hindu Budha. Baru pada abad ke 13, Islam datang yang lagi-lagi tidak hanya membawa ajaran Agama, tapi juga membawa kebudayaan mereka. Dari latar belakang tersebut, tak jarang ada perpaduan dari kedua kebudayaan tersebut.
Di indonesia misalkan, dalam suasana berkabung ketika ada seseoarang yang meninggal dunia, keluarganya mengadakan tahlil yang mengandung alunan musik vokal. Tahlil dilakukan beberapa tahap yaitu: tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari sampai seribu hari. Tahlil berisikan bacaan ayat Al-qur’an, Istighfar, Sholawat,dzikr dan berdoa bersama yang kesemuanya itu, menggunakan alunan melodi vokal.[3]
Dalam pelaksanaan sholat lima waktu, sebagai pelaksanaan kewajiban umat islam, setiap sebelum sholat, dikumandangkan suara adzan sebagai paggilan Sholat. Sebelum adanya Speaker, umat Islam menggunakan beduk dan kentongan untuk tanda datangnya waktu sholat. Dan setelahnya dikumandangkanlah Adzan yang suaranya lebih rendah dari suara beduk tersebut. Di zaman sekarang meskipun sudah ada speaker, tradisi memukul beduk ini masih di lakukan sebelum berkumandangnya Adzan. Dan beduk jika di lihat dari segi instrumen musik merupakan instrumen membranfon.[4] Dan jika dilihat sekarang di setiap masjid di Indonesia kebanyakan ada beduk dan kentongan didalamnya.
Dalam kebudayaan melayu, seperti Malaysia, sebagian Indonesia, Brunei dan singapura, pada bulan-bulan tertentu sering didengarkan Zikir dan Syair-syair arab yang dilagukan dengan melodi yang indah, terlebih pada zaman dahulu. Zaman sekarang kegiatan tersebut kebanyakan hanya dilakukan di daerah-daerah pedesaan.
            Tradisi-tradisi Islam yang menggunakan musik atau vokal musik meliputi: pertama, Maulid Nabi Muhammad SAW. Selama sebulan dikumandangkan sya’ir Maulud yang diiringi dengan Zikir dan Shalawat Badar; kedua, memperingati peristiwa Isra’ mi’raj Nabi Muhammad SAW, pada bulan rajab. Selama sebulan penuh dikumandangkan syair-syair Barzanji yang juga diiringi oleh Dzikir; ketiga, pada bulan Ramadhan Ramadhan sudah menjadi kebiasaan bagi umat Muslim berkeliling kampung atau desa mengumandangkan dzikir atau shalawat di malam hari, dan diselangi dengan teriakan sahur; keempat, pada perayaan dua hari raya yaitu ‘Idul Fitri dan ‘Idul adha, biasanya berkumandang takbir semenjak malam sampai menjelang sholat ‘Ied, dan jika melihat kasus di Indonesia biasanya diiringi dengan alunan beduk dan alat musik lainnya.[5]
3.      Beberapa contoh tradisi musik bernafaskan Islam
a.      Jenengan
Musik  tradisional  Islam Janengan merupakan  perwujudan dari perpaduan tiga  unsur  tradisi  musik,  yakni  tradisi  musik  Jawa dan  tradisi musik  Islam  Timur  Tengah  (Arab)  dan  kini  telah  dikembangkan dengan kombinasi musik Barat seperti Pop. Perpaduan di antara ketiga unsur tradisi musik yang berbeda ini membentuk suatu hasil kreativitas yang unik. Kesatupaduan di antara kedua unsur tradisi musik tersebut melahirkan nuansa musikal yang khas serta berbeda dengan kebanyakan nuansa musik islami pada umumnya.
Janengan merupakan  salah  satu  seni  tradisi  yang  tumbuh  dan  berkembang di Kebumen. Sebagian masyarakat Kebumen menyebutnya dengan shalawat  Jamjaneng,  sebagian  yang  lain  menyebutnya  dengan  Janengan. Meskipun  dari segi  unsur  pembentuknya  seni  ini mirip dengan  seni tradisi lain seperti  srakal dan  jembrung yang berkembang luas di Jawa Timur dan Jawa  Tengah,  masyarakat  Kebumen  menyebut  seni  tradisi  ini  sebagai  khas musik tradisional Kebumen. Hal ini karena seni Janengan tidak berkembang di  wilayah  lain  di  sekitar  Kebumen  seperti  Purworejo,  Wonosobo,  Banjarnegara  dan  Purbalingga.[6]
Para pemilik tradisi Janengan menuturkan bahwa Janengan merupakan warisan  tradisi  Islam  yang  diwariskan  oleh  nenek  moyang  mereka  sejak masa awal perkembangan Islam. Mereka melihat Janengan sebagai seni khas Islam  Kebumen  yang  sudah  barang  tentu  berbeda  dengan  seni  tradisi  lain yang seperti dolalak di Purworejo.
 Sulit dilacak mulai kapan seni Janengandi Kebumen mulai ada. Para pemilik kelompok dan pemain  Janengan tampaknya  bersepakat  bahwa  Janengan berasal  dari  kata  “Zamjani”,  nama  tokoh yang  dipercaya  sebagai  pencipta  musik  tradisional  Islam-Jawa  ini.  Tradisi masyarakat  setempat  mempercayai  Syekh  Zamjani  merupakan  tokoh  yang memadukan syair-syair yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga dan musik Jawa ciptaan Ibrahim al-Samarqandi (Brahim Samarkandi). Tokoh ini diperkirakan hidup pada abad ke-15-16, masa dimana Islam berkembang pesat di Tanah Jawa.[7]
Seni  tradisi  Janengan sebagaimana  seni  tradisi  lainnya  tentu  menghadapi tantangan zaman yang sangat berat. Pada awalnya seiring dengan perkembangan Islam di Jawa Janengan berkembang seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan Islam-Jawa yang menghasilkan berbagi varian tradisi Islam.  
Namun demikian secara keseluruhan tampak kesan komposisi  musik  Janengan adalah  nuansa  musik  Jawa.  Dengan  demikian, tepatlah  apabila  musik  Janengan ini  dinamakan  “musik  tradisional  Jawa Islam”.  Musik  tradisional  Islam-Jawa  ini  terbentuk  dari  perpaduan  antara ketiga unsur tradisi musik—musik Barat, musik Jawa,dan musik Islam—ini  juga melahirkan nilai-nilai  tersendiri, meliputi: nilai-nilai  musikal, nilai-nilai  kultural, dan nilai-nilai religius.
Nilai-nilai musikal tampak pada lagu (vokal), iringan (instrumental), dan hubungan  di  antara  lagu  dan  iringannya;  nilai-nilai kultural  (Jawa)  tampak pada bahasa dan unsur-unsur musik Jawa yang di antaranya meliputi tangga nada  dan  gramatika/idiom-idiom  musiknya;  dan  nilai-nilai  religius  tampak pada tema dan isi lirik lagu-lagunya yang bertemakan keagamaan Islam dan berisi hal-hal yang berkaitan dengan keimanan, perintah untuk menjalankan syariat Islam dan larangan untuk tidak berbuat dosa dan kesalahan agar umat manusia dapat hidup selamat dan bahagia di dunia dan di akhirat.Seni  tradisi  Janengan memadukan  musik  Jawa  dan  syi’iran  (singiran). Dalam  Janengan lagu  syi’iran  terdiri  dari  shalawat  dan  syi’ir  Jawa. Namun juga terdapat lagu-lagu  Janengan yang hanya terdiri dari bait-bait lagu sya’ir Jawa.[8]
b.      Marawis
Melihat Marawis, kita menjadi teringat akan kesenian Betawi lain, seperti Rebana Biang dan Ketimpring. Marawis sering diidentikkan sebagai salah satu kesenian etnis ini, walau masih menjadi bahan perdebatan di masyarakat tentang asal usulnya. Lagu-lagunya (jika itu dapat dibilang lagu) yang bernafaskan Islam cenderung membuat orang untuk mengaitkan kesenian ini dengan negara Arab. Tidak sedikit juga orang yang mengatakan Marawis sebagai kesenian yang memang berasal dari Arab, kemudian diadaptasi oleh masyarakat Betawi.
Ada beberapa yang keberatan jika dikatakan bahwa Marawis  berasal dari Arab. Mereka meyakini bahwa ini adalah kesenian asli masyarakat Indonesia, hanya saja menggunakan syair atau lagu-lagu sholawat yang kebanyakan berbahasa Arab. Jadi intinya hanya lagunya saja yang berbahasa Arab ini pun tidak semua karena banyak juga lagu yang berbahasa Melayu tapi tidak identik dengan atau merupakan kesenian yang berasal dari negara tersebut.[9]
Mungkin dikarenakan masyarakat Betawi yang sering menggunakan kesenian ini, terutama untuk acara hajatan, seperti ngarakpenganten atau pada acara-acara pengajian (majlas) dan peringatan hari keagamaan, maka banyak orang cenderung melihat ini sebagai kesenian khas masyarakat Betawi.
Sebagian lain kurang setuju dengan anggapan banyak orang  yang mengatakan bahwa Marawis milik orang Betawi. Alasannya karena di daerah lain kesenian ini juga ada, dengan nama yang sama atau berbeda. Misalnya di daerah Sumatera, Jawa, Riau, Palembang, Madura dan juga di Wonosobo.
Asal usul Merawis memang masih kontroversial. Sebagian orang yang menganggap seni ini berasal dari Arab atau negara Timur Tengah tidak dapat disalahkan, karena alat Marawis dan Hajir merupakan bagian dari Gambus, sedang Gambus  sendiri merupakan kesenian khas Timur Tengah.[10]
Melihat sejarahnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa Marawis memang  merupakan alat musik yang berasal dari Arab, tepatnya dari Hadramaut Yaman, dan bersamaan datangnya dengan masuknya Islam ke Nusantara, baik melalui musik Gambus atau tari Zapin. Alat ini kemudian terkenal sebagai bagian dari musik Gambus. Perkembangan selanjutnya, Marawis mulai memisahkan diri menjadi bentuk seni tersendiri.
Penutup
Dari pembahasan diatas, bahwa musik merupakan suatu yang dibolehkan dalam Islam. dan sebenarnya yang mengharamkan seperti yang tertera dalam hadits bukanlah musiknya, melainnya sesuatu di luar musik itu sendiri. Karena pada zaman dulu musik digunakan untuk mengiri kegiatan maksiat, minum-minuman keras dan sebagainya. Maka dalam hal ini, zaman sekarang pun jika musik itu dipergunakan untuk kegiatan yang bertentangan degan Islam maka musik tersebut bisa di katakan haram menurut Hadits yang telah disebutkan diatas.
Musik di Asia tenggara merupakan wujud dari akulrutasi Budaya Islam dan budaya setempat, atau bahkan budaya Hindu-budha. Karena para pembawa ajaran agama tidak hanya membawa ajaran tersebut, akan tetapi membawa kebudayaan diamana agama itu ada. Maka dari itu musik dalam hal ini yang berkaitan dengan Islam, di Asia tenggara yang meliputi Melayu dan Indonesia khusunya sangat kaya. Maka dari itu, kita sebagai generasi muda bangsa ini wajib melestarikan budaya tersebut, supaya tidak hilang oleh hadirnya musik-musik yang datang dari barat maupun k-pop dari Korea dan dari negara lainnya, yang notabene tidak bernafaskan Islam.



Daftar Pustaka
Al- Albani, Saikh Muhammad Nashiruddin., Siapa Bilang Musik Haram?Pro Kontra Masalah Musik dan Nyanyian, (Jakarta: Darul Haq, 2008).

Bouvier, Helena, Lebur: Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 2002.

Depertemen pendidikan Nasional., Kamus besar Bahasa Indonesia Edisi III, (Jakarta: Balai pustaka, 2005).

Heryanah., Marawis Penguatan Identitas Islam Masyarakat Betawi, Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume VI, No. 1 tahun 2004.

Junaidi, Akhmad Arif, dkk,. Jenengan sebagai seni tradisional Islam-Jawa, Jurnal Walisongo, Volume 21, nomor 2, November 2013.

Yusof, Abdullah dan Awerman Bidin., Perkembangan Seni Muzik dalam peradaban Islam di Nusantara, dari: http://umrefjournal.um.edu.my/filebank/published_article/2944/4867%20D2 Abdullah.pdf



[1] Depertemen pendidikan Nasional., Kamus besar Bahasa Indonesia Edisi III, (Jakarta: Balai pustaka, 2005)
[2] Saikh Muhammad Nashiruddin., Siapa Bilang Musik Haram? Pro Kontra Masalah Musik dan Nyanyian, (Jakarta: Darul Haq, 2008), hlm. 46
[3] Abdullah Yusof dan Awerman Bidin., Perkembangan Seni Muzik dalam peradaban Islam di Nusantara, dari: http://umrefjournal.um.edu.my/filebank/published_article/2944/4867%20D2 Abdullah.pdf, hlm. 58
[4] Ibid., hlm. 59
[5] Ibid., hlm. 60
[6] Junaidi, Akhmad Arif, dkk,. Jenengan sebagai seni tradisional Islam-Jawa, Jurnal Walisongo, Volume 21, nomor 2, November 2013, hlm. 478
[7] Ibid. 479
[8] Ibid., hlm. 488
[9] Heryanah., Marawis Penguatan Identitas Islam Masyarakat Betawi, Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume VI, No. 1 tahun 2004.
[10] Helena Bouvier, Lebur: Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta 2002,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar