Pendahuluan
Islam
merupakan agama yang turun dengan seperangkat aturan yang terkandung dalam
kitab sucinya, Alqur’an. Di dalamnya terkandung ajaran tauhid, Hukum, Muamalat,
dan juga akhlak. Secara umum Aturan-aturan tersebut berisi perintah dan
larangan. Dan hal itu menjadi suatu yang wajib untuk dilaksanakan oleh setiap
pengikutnya.
Islam
berisi aturan-aturan hukum. Ada wajib, yaitu hukum yang juka dilaksanankan
mendapat pahala dan jika di tingalkan berdosa; sunnah, yaitu hukum yang jika di
dilaksanakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa; Mubah, hukum
yang juka di tinggalkan atau dilakasannakan tidak berpahala maupun berdosa;
makruh, yaitu kebalikan dari sunnah; dan haram, yaitu hukum sebagai lawan dari
Wajib. Yang kesemuanya itu telah tertera semuanya dalam kitab-kitab fiqih, yang
bersumber dari Alqur’an, As-sunnah, maupun Ijtihad para ulama.
Dalam
Islam di tegaskan bahwa hukum segala sesuatu pada dasarnya di perbolehkan
(Mubah), selagi tidak ada aturan yang melarang atau mewajibkannya. Maka dari
itu, hal-hal yang tidak menyakngkut ibadah yang sudah jelas tertera dalam hukum
Islam, selagi tidak ada aturan yang mewajibkan atau melarang pada dasarnya
diperbolehkan. Seperti bermusik yang sebenarnya di perbolehkan, namun ada yang
yang berargumen dengan sebuah Hadits yang melarang. Namun para ulama berbeda
pendapat mengenai masalah ini, tentunya dengan argumen mereka masing-masing.
Dalam
tulisan ini, akan secara singkat membahas tentang hubungan antara Islam dan
musik. Apakah ada larangan tentang Musik dalam Islam, dan bagaiman Hukumnya
jika bermain musik jika dalam musik tersebut terkandung nilai-nilai Islam. Dan
selanjutnya membahas beberapa contoh tradisi Musik yang bernafaskan Islam di
Asia tenggara.
Sebanarnya
Jika membahas konteks Asia tenggara, kemungkinan sangat luas dan kaya tradisi
musik bernafaskan Islam ini, Namun karena sumber yang kami temukan kebanyakan
membahas tentang Islam dan musik di Indonesia ataupun melayu Malaysia. Kemungkinan
karena negara yang menjadi basis umat Islam di Asia tenggara yaitu kedua negara
tersebut. Namun tidak menutup kemungkinan, di negara-negara Islam minoritas
seperti Vietnam, Thailand, kambodja, Filipina, myanmar, juga terdapat tradisi
semacam ini. Maka dari itu, yang kami
bahas dalam tulisan ini seputar Musik dan Islam di Indonesia dan melayu
Malaysia.
1. Islam dalam hubungannya dengan Musik
Musik
dalam Islam, merupakan hal yang sebenarnya bisa dikaitan. Islam merupakan agama
yang berisikan seperangkat ajaran dan nilai. Dalam kaidah pengambilan hukum
Islam, hukum suatu hal pada dasarnya diperbolehkan, sebelum ada dalil yang
melarangnya. Jika dilihat dalam kamus besar Bahasa Indonesia, musik berarti
ilmu atau seni menyusun nada atau suara dalam urusan, kombinasi, dan hubungan
temporal untuk menghasilkan komposisi (suara) yang mempunyai kesatuan dan
kesinambungan.[1]
Maka dari pengertian tersebut jelaslah bahwa musik merupakan sesuatu yang Mubah
atau di perbolehkan, karena tidak mengandung hal-hal yang di larang dalam
Syariat.
Dalam
Alqur’an tidak menjelaskan hukum mendengarkan atau memainkan musik secara
tegas. Para ulama yang mengharamkan musik mendasarkan argumennya pada surat
Al-Luqman ayat 6. Yang menyebutkan bahawa orang yang mengucapkan perkataan yang
tidak bermanfaat akan mendapatkan azab yang pedih. Artinya bahwa musik yang
merupakan suara yang keluar dari alat musik dan ber-ritme merupakan sesuatu
yang bermanfaat.
Namun,
hal itu tidak relavan karena dalam ayat tersebut menyatakan bahwa yang mendapat
adzab yang pedih nantinya adalah yang mengucapkan perkataan yang tidak
bermanfaat. Sedangkan musik bukanlah perkataan. Karna yang mengandung perkataan
adalah lagu. Sedangkan lagu tidak semuaya mengandung kata-kata yeng jelek atau
mengarah pada perbuatan maksiat.
Untuk
lagu yang mengandung kata-kata yang tidak baik atau mengarah pada maksiat tentu
hukumnya haram, tapi untuk lagu yang isinya baik apalagi berisi syiar, tentu
boleh. Jadi yang mempengaruhi hukum musik itu bukan musik itu sendiri,
melainkan sesuatu yang lain diluar musik, seperti lirik lagu yang berisi
kata-kata tidak baik.
Sedangkan
dari sisi Hadits, ada sekitar tujuh Hadits yang secara langsung mengharamkan
musik.[2]
Salah satunya Hadits yang paling kuat yaitu sebagai berikut:
“akan ada sebagian di
antara umatku yang menghalalkan zina, sutera dan minum minuman keras dan
Musik.” (H.R. Bukhari)
Sebagian
ulama, seperti yang dikatakan Al-Gazali, larangan tersebut tidak ditujukan pada
alat musiknya, (seruling atau gitar), melainkan disebabkan karena “sesuatu yang
lain” (amru Kharij). Karena di
awal-awal Islam, kata Al-Ghazali kedua alat musik tersebut lebih dekat
dimainkan di tempat-temat maksiat, sebagai musik pengiring pesta minuman keras. Dan itu yang dilarang.
Maka
dari itu, musik dalam hal ini, meski dalam Hadits ada larangan untuk
memainkannya, namun laranga tersebut bukan terletak pada alat musiknya,
melainkan pada hal yang diluar musik tersebut. Terlebih lagi, Islam menghendaki
keindahan, dan musik merupakan sesuatu yang indah, maka dari itu, musik di
perbolehkan. Apalagi jika melihat kasus di Indonesia, musik digunakan untuk
memeriahkan pesta pernikahan, atau untuk memeriahkan peringatan hari besar
Islam seperti lebaran, Maka itu sesuatu yang diharuskan.
2. Tradisi Musik Islam di Asia tenggara
Tradisi
atau kebudayaan yang ada di Asia tenggara, khusunya Indonesia, merupakan
pengaruh dari agama-agama yang datang untuk menyebarkan ajarannya. pada
kenyataanya, orang-orang penyebar agama tersebut tidak hanya menyebarkan
ajaran-ajaran agamanya, namun juga membewa pengaruh kebudayaan ke Indonesia.
Pertama
kali oleh para pendeta Hindu Budha, yang menyebarkan kebudayaan India ke
Indonesia, yang bisa dilihat dari pennggalan-peninggalan Arkeologis yang
mencirikan kebudayaan Hindu Budha. Baru pada abad ke 13, Islam datang yang
lagi-lagi tidak hanya membawa ajaran Agama, tapi juga membawa kebudayaan
mereka. Dari latar belakang tersebut, tak jarang ada perpaduan dari kedua
kebudayaan tersebut.
Di
indonesia misalkan, dalam suasana berkabung ketika ada seseoarang yang
meninggal dunia, keluarganya mengadakan tahlil yang mengandung alunan musik
vokal. Tahlil dilakukan beberapa tahap yaitu: tiga hari, tujuh hari, empat
puluh hari, seratus hari sampai seribu hari. Tahlil berisikan bacaan ayat
Al-qur’an, Istighfar, Sholawat,dzikr dan berdoa bersama yang kesemuanya itu,
menggunakan alunan melodi vokal.[3]
Dalam
pelaksanaan sholat lima waktu, sebagai pelaksanaan kewajiban umat islam, setiap
sebelum sholat, dikumandangkan suara adzan sebagai paggilan Sholat. Sebelum
adanya Speaker, umat Islam
menggunakan beduk dan kentongan untuk tanda datangnya waktu sholat. Dan
setelahnya dikumandangkanlah Adzan yang suaranya lebih rendah dari suara beduk
tersebut. Di zaman sekarang meskipun sudah ada speaker, tradisi memukul beduk ini masih di lakukan sebelum
berkumandangnya Adzan. Dan beduk jika di lihat dari segi instrumen musik
merupakan instrumen membranfon.[4]
Dan jika dilihat sekarang di setiap masjid di Indonesia kebanyakan ada
beduk dan kentongan didalamnya.
Dalam
kebudayaan melayu, seperti Malaysia, sebagian Indonesia, Brunei dan singapura,
pada bulan-bulan tertentu sering didengarkan Zikir dan Syair-syair arab yang
dilagukan dengan melodi yang indah, terlebih pada zaman dahulu. Zaman sekarang
kegiatan tersebut kebanyakan hanya dilakukan di daerah-daerah pedesaan.
Tradisi-tradisi Islam yang
menggunakan musik atau vokal musik meliputi: pertama, Maulid Nabi Muhammad SAW. Selama sebulan dikumandangkan
sya’ir Maulud yang diiringi dengan Zikir dan Shalawat Badar; kedua, memperingati peristiwa Isra’
mi’raj Nabi Muhammad SAW, pada bulan rajab. Selama sebulan penuh dikumandangkan
syair-syair Barzanji yang juga diiringi oleh Dzikir; ketiga, pada bulan Ramadhan Ramadhan sudah menjadi kebiasaan bagi
umat Muslim berkeliling kampung atau desa mengumandangkan dzikir atau shalawat
di malam hari, dan diselangi dengan teriakan sahur; keempat, pada perayaan dua hari raya yaitu ‘Idul Fitri dan
‘Idul adha, biasanya berkumandang takbir semenjak malam sampai menjelang sholat
‘Ied, dan jika melihat kasus di Indonesia biasanya diiringi dengan alunan beduk
dan alat musik lainnya.[5]
3. Beberapa contoh tradisi musik bernafaskan Islam
a. Jenengan
Musik tradisional
Islam Janengan merupakan
perwujudan dari perpaduan tiga
unsur tradisi musik,
yakni tradisi musik
Jawa dan tradisi musik Islam
Timur Tengah (Arab)
dan kini telah
dikembangkan dengan kombinasi musik Barat seperti Pop. Perpaduan di
antara ketiga unsur tradisi musik yang berbeda ini membentuk suatu hasil
kreativitas yang unik. Kesatupaduan di antara kedua unsur tradisi musik
tersebut melahirkan nuansa musikal yang khas serta berbeda dengan kebanyakan
nuansa musik islami pada umumnya.
Janengan
merupakan salah satu
seni tradisi yang
tumbuh dan berkembang di Kebumen. Sebagian masyarakat
Kebumen menyebutnya dengan shalawat Jamjaneng, sebagian
yang lain menyebutnya
dengan Janengan. Meskipun dari segi
unsur pembentuknya seni
ini mirip dengan seni tradisi
lain seperti srakal dan jembrung yang berkembang luas di Jawa
Timur dan Jawa Tengah, masyarakat
Kebumen menyebut seni
tradisi ini sebagai
khas musik tradisional Kebumen. Hal ini karena seni Janengan tidak
berkembang di wilayah lain
di sekitar Kebumen
seperti Purworejo, Wonosobo,
Banjarnegara dan Purbalingga.[6]
Para
pemilik tradisi Janengan menuturkan bahwa Janengan merupakan warisan tradisi
Islam yang diwariskan
oleh nenek moyang
mereka sejak masa awal
perkembangan Islam. Mereka melihat Janengan sebagai seni khas Islam Kebumen
yang sudah barang
tentu berbeda dengan
seni tradisi lain yang seperti dolalak di Purworejo.
Sulit dilacak mulai kapan seni Janengandi
Kebumen mulai ada. Para pemilik kelompok dan pemain Janengan tampaknya bersepakat
bahwa Janengan berasal dari
kata “Zamjani”, nama
tokoh yang dipercaya sebagai
pencipta musik tradisional
Islam-Jawa ini. Tradisi masyarakat setempat
mempercayai Syekh Zamjani
merupakan tokoh yang memadukan syair-syair yang diciptakan
oleh Sunan Kalijaga dan musik Jawa ciptaan Ibrahim al-Samarqandi (Brahim
Samarkandi). Tokoh ini diperkirakan hidup pada abad ke-15-16, masa dimana Islam
berkembang pesat di Tanah Jawa.[7]
Seni tradisi
Janengan sebagaimana seni tradisi
lainnya tentu menghadapi tantangan zaman yang sangat berat.
Pada awalnya seiring dengan perkembangan Islam di Jawa Janengan berkembang
seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan Islam-Jawa yang menghasilkan
berbagi varian tradisi Islam.
Namun
demikian secara keseluruhan tampak kesan komposisi musik
Janengan adalah nuansa musik
Jawa. Dengan demikian, tepatlah apabila
musik Janengan ini dinamakan
“musik tradisional Jawa Islam”.
Musik tradisional Islam-Jawa
ini terbentuk dari
perpaduan antara ketiga unsur
tradisi musik—musik Barat, musik Jawa,dan musik Islam—ini juga melahirkan nilai-nilai tersendiri, meliputi: nilai-nilai musikal, nilai-nilai kultural, dan nilai-nilai religius.
Nilai-nilai
musikal tampak pada lagu (vokal), iringan (instrumental), dan hubungan di
antara lagu dan
iringannya; nilai-nilai
kultural (Jawa) tampak pada bahasa dan unsur-unsur musik Jawa
yang di antaranya meliputi tangga nada
dan gramatika/idiom-idiom musiknya;
dan nilai-nilai religius
tampak pada tema dan isi lirik lagu-lagunya yang bertemakan keagamaan
Islam dan berisi hal-hal yang berkaitan dengan keimanan, perintah untuk
menjalankan syariat Islam dan larangan untuk tidak berbuat dosa dan kesalahan
agar umat manusia dapat hidup selamat dan bahagia di dunia dan di akhirat.Seni tradisi
Janengan memadukan musik Jawa
dan syi’iran (singiran). Dalam Janengan lagu
syi’iran terdiri dari
shalawat dan syi’ir
Jawa. Namun juga terdapat lagu-lagu
Janengan yang hanya terdiri dari bait-bait lagu sya’ir Jawa.[8]
b. Marawis
Melihat
Marawis, kita menjadi teringat akan kesenian Betawi lain, seperti Rebana Biang
dan Ketimpring. Marawis sering diidentikkan sebagai salah satu kesenian etnis
ini, walau masih menjadi bahan perdebatan di masyarakat tentang asal usulnya.
Lagu-lagunya (jika itu dapat dibilang lagu) yang bernafaskan Islam cenderung
membuat orang untuk mengaitkan kesenian ini dengan negara Arab. Tidak sedikit
juga orang yang mengatakan Marawis sebagai kesenian yang memang berasal dari
Arab, kemudian diadaptasi oleh masyarakat Betawi.
Ada
beberapa yang keberatan jika dikatakan bahwa Marawis berasal dari Arab. Mereka meyakini bahwa ini
adalah kesenian asli masyarakat Indonesia, hanya saja menggunakan syair atau
lagu-lagu sholawat yang kebanyakan berbahasa Arab. Jadi intinya hanya lagunya
saja yang berbahasa Arab ini pun tidak semua karena banyak juga lagu yang
berbahasa Melayu tapi tidak identik dengan atau merupakan kesenian yang berasal
dari negara tersebut.[9]
Mungkin
dikarenakan masyarakat Betawi yang sering menggunakan kesenian ini, terutama
untuk acara hajatan, seperti ngarakpenganten atau pada acara-acara pengajian
(majlas) dan peringatan hari keagamaan, maka banyak orang cenderung melihat ini
sebagai kesenian khas masyarakat Betawi.
Sebagian
lain kurang setuju dengan anggapan banyak orang
yang mengatakan bahwa Marawis milik orang Betawi. Alasannya karena di
daerah lain kesenian ini juga ada, dengan nama yang sama atau berbeda. Misalnya
di daerah Sumatera, Jawa, Riau, Palembang, Madura dan juga di Wonosobo.
Asal
usul Merawis memang masih kontroversial. Sebagian orang yang menganggap seni
ini berasal dari Arab atau negara Timur Tengah tidak dapat disalahkan, karena
alat Marawis dan Hajir merupakan bagian dari Gambus, sedang Gambus sendiri merupakan kesenian khas Timur Tengah.[10]
Melihat
sejarahnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa Marawis memang merupakan alat musik yang berasal dari Arab,
tepatnya dari Hadramaut Yaman, dan bersamaan datangnya dengan masuknya Islam ke
Nusantara, baik melalui musik Gambus atau tari Zapin. Alat ini kemudian
terkenal sebagai bagian dari musik Gambus. Perkembangan selanjutnya, Marawis
mulai memisahkan diri menjadi bentuk seni tersendiri.
Penutup
Dari
pembahasan diatas, bahwa musik merupakan suatu yang dibolehkan dalam Islam. dan
sebenarnya yang mengharamkan seperti yang tertera dalam hadits bukanlah
musiknya, melainnya sesuatu di luar musik itu sendiri. Karena pada zaman dulu
musik digunakan untuk mengiri kegiatan maksiat, minum-minuman keras dan
sebagainya. Maka dalam hal ini, zaman sekarang pun jika musik itu dipergunakan
untuk kegiatan yang bertentangan degan Islam maka musik tersebut bisa di
katakan haram menurut Hadits yang telah disebutkan diatas.
Musik
di Asia tenggara merupakan wujud dari akulrutasi Budaya Islam dan budaya
setempat, atau bahkan budaya Hindu-budha. Karena para pembawa ajaran agama
tidak hanya membawa ajaran tersebut, akan tetapi membawa kebudayaan diamana
agama itu ada. Maka dari itu musik dalam hal ini yang berkaitan dengan Islam,
di Asia tenggara yang meliputi Melayu dan Indonesia khusunya sangat kaya. Maka
dari itu, kita sebagai generasi muda bangsa ini wajib melestarikan budaya
tersebut, supaya tidak hilang oleh hadirnya musik-musik yang datang dari barat
maupun k-pop dari Korea dan dari negara lainnya, yang notabene tidak
bernafaskan Islam.
Daftar Pustaka
Al- Albani, Saikh
Muhammad Nashiruddin., Siapa Bilang Musik
Haram?Pro Kontra Masalah Musik dan Nyanyian, (Jakarta: Darul Haq, 2008).
Bouvier, Helena, Lebur: Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat
Madura. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 2002.
Depertemen pendidikan Nasional., Kamus besar Bahasa Indonesia Edisi III, (Jakarta: Balai pustaka, 2005).
Heryanah., Marawis Penguatan Identitas Islam Masyarakat Betawi, Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume VI, No. 1 tahun 2004.
Junaidi, Akhmad Arif, dkk,. Jenengan sebagai seni tradisional Islam-Jawa, Jurnal Walisongo, Volume 21, nomor 2, November 2013.
Yusof, Abdullah dan Awerman Bidin., Perkembangan Seni Muzik dalam peradaban Islam di Nusantara, dari: http://umrefjournal.um.edu.my/filebank/published_article/2944/4867%20D2 Abdullah.pdf
[1]
Depertemen pendidikan Nasional., Kamus
besar Bahasa Indonesia Edisi III, (Jakarta: Balai pustaka, 2005)
[2] Saikh
Muhammad Nashiruddin., Siapa Bilang Musik
Haram? Pro Kontra Masalah Musik dan Nyanyian, (Jakarta: Darul Haq, 2008),
hlm. 46
[3]
Abdullah Yusof dan Awerman Bidin., Perkembangan
Seni Muzik dalam peradaban Islam di Nusantara, dari:
http://umrefjournal.um.edu.my/filebank/published_article/2944/4867%20D2
Abdullah.pdf, hlm. 58
[4] Ibid.,
hlm. 59
[5] Ibid.,
hlm. 60
[6] Junaidi,
Akhmad Arif, dkk,. Jenengan sebagai seni
tradisional Islam-Jawa, Jurnal Walisongo, Volume 21, nomor 2, November 2013,
hlm. 478
[7] Ibid. 479
[8] Ibid., hlm. 488
[9]
Heryanah., Marawis Penguatan Identitas
Islam Masyarakat Betawi, Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume VI, No. 1
tahun 2004.
[10] Helena
Bouvier, Lebur: Seni Musik dan
Pertunjukan dalam Masyarakat Madura, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta 2002,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar