Pendahuluan
Masyarakat
merupakan objek yang tidak habis-habisnya dibahas. Setiap masanya selalu ada
hal-hal baru yang selalu menarik untuk dikaji. Dalam sosiologi sebagai suatu
ilmu yang khusus mengkaji masyarakat, selalu ada teori-teori baru untuk menggambarkan
semakin kompleksnya masalah yang ada. Dalam hal pengkelasan masyarakat, pada
awalnya toeri yang ada menggambarkan masyarakat secara sangat sederhana, namun
semakin kesini semakin kompleks bahasan tentang masyarakat.
Istilah
kelas menengah bagi kebanyakan orang merupakan istilah yang digunakan untuk
mengkalsifikasikan masyarakat berdasarkan tingkatan ekonomi. Seperti marx yang
dengan tegas mengungkapkan bahwa masyarakat terdiri dari kelas borjuis dan
kelas buruh. Dan diantara keduanya adalah kelas menengah.
Kelas
menengah menurut aliran Marx merupakan kelas yang sangat penting perannya dalam
struktur suatu negara. Karna posisinya yang sejajar dengan masyarakat bawah,
namun secara ekonomi atau pendidikan amat berbeda. Dan juga tidak jauh posisinya
dengan kaum borjuis sebagai kaum yang menempati tingkat perekonomian yang
tertinggi. Maka dari itu kebangkitan kekuatan kelas menengah dalam suatu negara
merupakan awal yang baik bagi kelangsungan kehidupan masyarakat di suatu
masyarakat tersebut.
Dalam
makalah ini akan membahas tentang kelas menengah di Minang kabau. yang waktu
itu di tempati oleh para pengusaha, pedagang, orang-orang terpelajar, dan juga
orang orang terpandang seperti ulama dan pemangku adat. Dan dalam temanya di
persempit hanya pada kelas menengah Muslim saja. Maka dalam hal ini kami
memfokuskan pada kelas menengah muslim. namun meskipun begitu, adanya kaitan
dengan kelas menengah yang lain tetap kami bahas dalam makalah ini.
1. Pemahaman tentang kelas menengah
Kelas
menengah merupakan istilah yang dipakai oleh Karl marx untuk menyebut para
petani, pengusaha dan pedagang kecil sisa-sisa kelompok ekonomi pra kapitalis.
Mereka disebut “borjuis kecil”.posisinya ada diantara kelas pekerja dan kelas
kapitalis dan tuan tanah. Maka adanya kelompok ini megaburkan batas antara kaum
buruh dan borjuasi.
Namun
marx dalam hal ini mengungkapkan dua pandangan yang cenderung kontradiktif.
Disatu pihak menyatakan bahwa Ia melihat meningkatnya kaum menengah tersebut.
Namun di lain pihak ia berbicara juga mengenai meningkatnya kelas polarisasi
masyarakat menjadi dua kelas besar saja.
Lain
Marx, lain juga Weber, pendiri sosiologi modern itu membagi masyarakat
kapitalis secara Ekonomi sebagai berikut : (1) kelas pemilik lapisan tertas,
yang identik dengan kaum borjuasi dalam pandangan Marx, (2) kelas pekerja di tingkat terbawah yang
disebut kaum buruh. Dan diantara dua kelas itu ada diantaranya. Yaitu (3)
kelas- kelas Intelegensia, (4) manajer dan administrator, (5) borjuis Kecil
dalam arti tradisional, yang meliputi kelas petani, pengusaha dan pedagang.
Golongan terakhir inilah yang identik dengan strata peralihan yang dilihat
Marx.[1]
Adanya
kelas manajer dan administrator dalam Pembagian kelas menurut Weber ini,
membuat para penganut Marxis maupun non Marxis, mengembangkan teori mengenai
“kelas menengah baru”. Jika golongan
kelas menengah lama menurut aliran Marxis yaitu (1) produsen kecil, (2)
pengerajin, (3) kaum profesional yang independen, (4) petani kecil, sedangkan
kelas menengah baru muncul sebagai (1) pegawai kecil, (2) pengawas pabrik, (3)
pegawai teknis, (4) guru, (5) pegawai pemerintah dan semacamnya yang timbul
kemudian di masyarakat kapitalis.
Dalam
perkembangan selanjutnya, dari bidang sosiologi tibul upaya untuk membedakan
golongan masyarakat secara hirarkis, dengan tekanan, melihat ketidaksamaan atau
kepincangan sosial karena perbedaan (1)
tingkat pendapatan, (2) pembagian kekayaan, (3) prestise, (4) umur, etnisitas.
Dengan cara ini tidak lagi dilakukan analisis kelas, melainkan stratifikasi, yang
menghasilkan strata-strata dalam masyarakat.
Signifikansi
golongan menengah malah lebih menonjol, bukan saja karena jumlahnya, yang
menunjukan posisinya dalam struktur masyarakat, juga karena sifatnya, yang
lebih menunjukkan kualitasnya. Kedudukan golongan menengah yang semakin menguat
ini menjadikan argumentasi baru bagi legitimasi masyarakat kapitalis dan sistem
Ekonomi bebas. Tidak sebagaimana diramalkan oleh Marx, dimana kematangan
kapitalisme ditandai oleh polarisasi masyarakat menjadi kelas buruh dan
borjuasi, maka argumentasi baru mengatakan bahwa kematangan kapitalisme
ditandai dengan dominannya kuantitatif dan kualitatif, kedudukan dan peranan
golongan menengah ini.
Dengan
menonjolnya kedudukan dan peran sentral golongan menengah tersebut, maka arti
pentingnya golongan borjuasi, sebagai “kelas pemeras” seperti konsep Marxis
menjadi berkurang. Dalam kata Marx sendiri, negara adalah “komite
penyelenggara” bagi kepentingan kaum borjuasi.
Dalam
konsep sosiologi, terdapat perbedaan antara kelas dan elite. Apabila konsep
kelas dilihat dari batasan Ekonomi, maka konsep elite didasarkan pada
pengertian non Ekonomi. Golongan borjuasi sebagai suatu kelas, bisa merupakan
elite ekonomi, tapi belum tentu sekaligus elite politik. Elite bersifat plural,
sedangkan kelas mengandung pengertian ekonomi.[2]
2. Kelas menengah muslim minangkabau
Minangkabau
merupakan sekelompok suku ynag mendiami daerah Sumatera Barat sekarang.[3]
Jumlah orang minang di lingkaran elite politik, intelektual, profesional
Republik ketika awal-awal kemerdekaan, bisa dibilang tidak sepadan dengan
jumlah penduduknya yang hanya 3 % dari jumlah penduduk Indonesia.
Ciri
utama dari pandangan hidup Minangkabau abad ke-19 adalah bertumbuhnya tradisi-tradisi
Islam lokal. Payakumbuh dan pariaman Khususnya tercatat sebagai pusat-pusat
studi Islam yang cukup penting. Dan juga menghasilkan tokoh-tokoh agama (ulama
terkenal).
Kelas
menengah yang dimaksud dalam makalah ini adalah Ulama. Keharuman namanya berkat
keistimewaan yang dimilikinya merupakan daya tarik tersendiri bagi murid-murid
terhadap perguruannya. Lembaga pendidikan Islam yang dipimpinnya biasanya
dilaksanakan di surau-surau.
Surau
yang paling terkenal di sumatera Barat dan merupakan contoh yang baik tentang
keberhasilan meletakkan dasar pendidikan Islam serta terus melanjutkan ajaran
yang dirintis oleh para pendirinya terdahulu ialah surau Ulakhan yang terletak
disebuah Nagari kecil di kawasan pantai dekat pariaman.
Tokoh
Utama surau Ulakan ialah Syekh Burhanuddin, ialah ulama yang datang dari Abad
ke-17, yang konon dilaporkan bahwa Ia pertama kali mendengar tentang Islam dari
seorang pelaut Muslim sehingga menggugahnya untuk pergi ke Aceh untuk mempelajari
Islam lebih Jauh. Setelah kembali ke Sumatera Barat, Ia mendirikan pusat
pendidikan Islam di Ulakan, untuk membekali murid guna menyebarkan Islam di
Minangkabau.
Pusat-pusat
Agama Islam paling awal lainnya juga berkembang sebagai perguruan Islam yang
bersifat mistik atau tarekat. Para pengikutnya mencari pengalaman spiritual dan
mistik dengan dibimbing oleh Ulama yang menjadi guru dan pemimpin mereka.
Pusat-pusat
studi Islam yang didirikan oleh para Ulama Minangkabau barangkali merupakan
basis Utama orang minagkabau yang baru masuk Islam. Pada awalnya para Ulama
menanamkan Islam dengan Unsur-unsur Mistik dan tidak begitu dekat hubungannya
dengan agama yang dikembangkan Nabi Muhammad, tetapi kemudian juga berkembang
ajaran Islam sebagaimana yang di praktikkan, baik di Makkah maupun di Madinnah
sejak periode yang sama.[4]
3. Matinya Kelas menengah muslim Minangkabau
Keadaan
minangkabau
disaat
kedatangan
Belanda
pada
pertengahan
abad ke-19, yang
memanfaatkan
institusi
adat
nagari
telah
membuka
katup
penting
dalam
sebagian
golongan, terutama
adalah
golongan
kelas
menengah, sebab
adatlah yang memelihara
pelestarian
pola
hubungan
antar
keluarga
setempat yang yang
sudah
ada
sebelumnya.Belanda
membutuhkan
penduduk
setempat, yang memiliki
keterampilan
teknis
dasar
membaca, menulis, dan
pengetahuan
berhitung
secukupnya.
Dan karena
itulah, tak
banyak
lagi
keluarga yang berharap
status sebagai kepala “tradisional” dan
mereka
harus
mencari
kedudukan
dan
keunggulan di luar
lingkungan yang tradisional.
Bahkan system sosio-ekonomi
nagari
Minangkabau, dengan
tradisi
merantau, yakni
kebiasaan
kaum
pemuda
meninggalkan kampung halaman mereka untuk mengadu nasib d tempat lain merupakan
tradisi yang unik
dan
cocok
bagi
mereka
untuk
mengambil
kesempatan yang ditawarkan
oleh
pemerintah colonial itu.
Karena pemerintah colonial memerlukan
sejumlah
tenaga
kerani (pegawai-juru-tulis)
dantenaga-tenaga yang memerlukan keterampilan bacatulis.
Dan sejak
saat
itu
banyak
keluarga Minangkabau yang bekerja
secara
turun-temurun
sebagai
birokrasi
pemerintah
Belanda.
System keluarga
Minangkabau
menekankan
pemusatan
sumber-sumber
untuk
diteruskan
kekeluarga
generasi
berikutnya, yang pada
gilirannya
terus
berusaha
memperbesar
jumlahnya
dari
generasi
sebelumnya.
Dengan
begitu
keluarga
Minangkabau
yang kemudian
tampil
sebagai
kelas
menengah ini mereka yang berasal
dari
keluarga guru sekolah, juru
tulis di gudang-gudang kopi
pemerintah atau menjadi pegawai kecil bagi pemerintah kolonial Belanda.[5]
Dari
kasus pemanfaatan institusi adat inilah sebagian kaum menengah mengalami “kemajuan” dalam
arti
tanggapan
kreatif
mereka
terhadap
kehadiran
kekuatan kolonial dan peluang-peluang
baru yang ditawarkan
untuk
memperoleh
kekayaan, prestise,
kekuasaan dan kedudukan.
Bagi
kebanyakan
golongan
kelas
menengah
ini
jalan
terbaik
untuk
maju
terdapat
dalam
upaya
adaptasi
mereka
dengan
pemerintah
kolonial dan
untuk
itu
mereka
harus
belajar
keterampilan
dan
teknik-teknik
baru yang menjadi
prasyarat
masuk
lapangan
kerja
baru.
Pendidikan “Barat” di
Sumaera Barat abad ke-19 mencerminkan tanggapan yang amat
pragmatic
dan
menguntungkan
beberapa
kelompok
tertentu
terhadap
kebutuhan
pemerintah
Eropa
akan
tenaga
personil yang terdidik
dalam
birokrasi
pemerintah.
Orang Minangkabau
memandang
tinggi pendidikan. Pandangan positif terhadap pendidikan mulai berkembang dalam masyarakat Minangkabau sejak Belanda melakukan kebijakank husus untuk meningkatkan pendidikan masyarakat Minangkabau pada tahun 1870. Belanda
membantu
dana
pendidikan
sekolah-sekolah
negeri
dan
mengubah
Sekolah
Radja
menjadi
sentra
pendidikan yang setara
dengan
sekolah-sekolah di
HindiaBelanda. Masyarakat, terutama keluarga yang ingin
maju, keluarga
bangsawan, dan
kelas
menengah, memandang
bersekolah
sebagai
sebuah
prestise.Karena
sekolah-sekolah
gaya Barat, menghasilkan
murid-murid yang nantinya
bias
bekerja
guna
mendapatkan
keuntungan
tertentu
dalam dunia material.[6]
Sekolah-sekolah
gaya Barat
ini jelas menjadi saingan “sekolah” tradisional
seperti
membaca Al Quran dan
mengamalkan
ajaran-ajaran Islam yang
berguna bagi pembentukan moral dan
ketaatan
seseorang
terhadap
Tuhan. Sekolah “Barat”
nantinya justru menjadi bagian penting dalam kehidupan mereka untuk menghasilkan keuntungan tertentu dalam dunia material dan
mengubah status seseorang
dalam
kehidupan.
Tentu
saja
reaksi
terhadap
munculnya
pendidikan Barat, sejajar
dengan
munculnya
reaksi
terhadap
kekuasaan Barat pada
umumnya.Para kepala
nagari
dan
kaum
bangsawan
merupakan “komunitas” utama
dalam
pembentukan
dan
perubahan
dalam
melegitimasi
rezim
baru.
Mereka
dibius
menjadi
bagian
dari
penguasa
baru: Belanda.
Namun
disatu
sisi, orang Minang
juga
pandai
menangkap
dengan
jitu
aturan main kolonial yang
baru dan sekuler itu menurut pengertian mereka sendiri; mengambil yang dibutuhkan
dan
menyesuaikan
untuk
tujuan-tujuan
khsusus
mereka (terkadang
dalam
tujuan
tradisional). Walaupun
bekerja
untuk
Belanda
mereka
tidak
menggantungkan
takdir
mereka
pada
aturan kolonial, seperti yang terjadi
pada orang Nasrani di
Indonesia. Karena tujuan utama mereka menjadi pegawai Belanda adalah semata-matahanya
didorong
oleh
kewirausahaannya, yang
mengharuskan
mereka
untuk
memperbaiki
ekonomi
kehidupan
keluarganya.[7]
Penutup
Dari
makalah singkat tersebut bisa ditarik benang merah bahwa Kelas menengah
merupakan istilah yang dipakai oleh Karl marx untuk menyebut para petani,
pengusaha dan pedagang kecil sisa-sisa kelompok ekonomi pra kapitalis. Mereka
disebut “borjuis kecil”. Lain Marx, lain juga Weber, pendiri sosiologi modern
itu membagi masyarakat kapitalis secara Ekonomi.
Pembagian
kelas menurut Weber mengembangkan teori mengenai “kelas menengah baru”. Dalam
perkembangan selanjutnya, dari bidang sosiologi tibul upaya untuk membedakan
golongan masyarakat secara hirarkis, dengan tekanan, melihat ketidaksamaan atau
kepincangan sosial karena perbedaan. Signifikansi golongan menengah malah lebih
menonjol, bukan saja karena jumlahnya, yang menunjukan posisinya dalam struktur
masyarakat, juga karena sifatnya, yang lebih menunjukkan kualitasnya.
Minangkabau
merupakan sekelompok suku yang mendiami daerah Sumatera Barat sekarang. Keadaan minangkabau disaat kedatangan Belanda pada pertengahan abad ke-19, kekuasaan
Belanda yang
memanfaatkan
institusi
adat
nagari
telah
membuka
katup
penting
dalam
sebagian
golongan, terutama
adalah
golongan
kelas
menengah, sebab
adatlah yang memelihara
pelestarian
polahubungan
antar
keluarga
setempat yang yang
sudah
ada
sebelumnya.
pemerintah colonial
memerlukan sejumlah tenaga kerani (pegawai-juru-tulis) dantenaga-tenaga yang
memerlukan keterampilan bacatulis.
Dan sejak
saat
itu
banyak
keluarga
Minangkabau yang bekerja
secara
turun-temurun
sebagai
birokrasi
pemerintah
Belanda.
Bagi
kebanyakan
golongan
kelas
menengah
ini
jalan
terbaik
untuk
maju
terdapat
dalam
upaya
adaptasi
mereka
dengan
pemerintah
kolonial dan
untuk
itu
mereka
harus
belajar
keterampilan
dan
teknik-teknik
baru yang menjadi
prasyarat
masuk
lapangan
kerja
baru.
Karena
tujuan
utama
mereka
menjadi
pegawai
Belanda
adalah
semata-mata
hanya
untuk
memperbaiki kehidupan keluarganya yaitu didorong oleh kewirausahaannya.
SUMBER:
Graves, Elizabeth E., asal-usul
Elite Minangkabau Modern
respon terhadap kolonial belanda abad XIX/XX, (Jakarta: yayasanObor Indonesia, 2007).
Rahardjo,
M. Dawam., masyarakat madani: agama,
kelas menengah dan perubahan sosial, (Jakarta: LP3ES, 1999)
Mansoer M.D. dkk. Sedjarah minangkabau, (Jakarta:
Bhratara, 1970)
[1] M. Dawam
rahardjo, masyarakat madani: agama, kelas
menengah dan perubahan sosial, (Jakarta: LP3ES, 1999) hlm. 266
[2]M. Dawam
rahardjo, masyarakat madani: agama, kelas
menengah dan perubahan sosial, (Jakarta: LP3ES, 1999) hlm.270
[4] Elizabeth E Graves, asal-usul Elite Minangkabau Modern respon terhadap kolonial belanda abad XIX/XX,, (Jakarta:
yayasanObor Indonesia, 2007) hlm. 47
[5]Elizabeth E Graves, asal-usul Elite
Minangkabau Modern
respon terhadap kolonial belanda abad XIX/XX, (Jakarta: yayasanObor Indonesia,
2007) hlm 62
[6]Artikel
di akses tanggal 14 Oktober 2015, dari :http://staff.unand.ac.id/rinamarnita/2015/05/13/pergeseran-bahasa-dan-identitas-sosial-dalam-masyarakat-minangkabau-kota-studi-kasus-di-kota-padang/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar