Kamis, 05 November 2015

Kelas Menengah Musilm : kasus Matinya Kelas Menengah Muslim Minangkabau Abad XX

Pendahuluan
Masyarakat merupakan objek yang tidak habis-habisnya dibahas. Setiap masanya selalu ada hal-hal baru yang selalu menarik untuk dikaji. Dalam sosiologi sebagai suatu ilmu yang khusus mengkaji masyarakat, selalu ada teori-teori baru untuk menggambarkan semakin kompleksnya masalah yang ada. Dalam hal pengkelasan masyarakat, pada awalnya toeri yang ada menggambarkan masyarakat secara sangat sederhana, namun semakin kesini semakin kompleks bahasan tentang masyarakat. 
Istilah kelas menengah bagi kebanyakan orang merupakan istilah yang digunakan untuk mengkalsifikasikan masyarakat berdasarkan tingkatan ekonomi. Seperti marx yang dengan tegas mengungkapkan bahwa masyarakat terdiri dari kelas borjuis dan kelas buruh. Dan diantara keduanya adalah kelas menengah.
Kelas menengah menurut aliran Marx merupakan kelas yang sangat penting perannya dalam struktur suatu negara. Karna posisinya yang sejajar dengan masyarakat bawah, namun secara ekonomi atau pendidikan amat berbeda. Dan juga tidak jauh posisinya dengan kaum borjuis sebagai kaum yang menempati tingkat perekonomian yang tertinggi. Maka dari itu kebangkitan kekuatan kelas menengah dalam suatu negara merupakan awal yang baik bagi kelangsungan kehidupan masyarakat di suatu masyarakat tersebut.
Dalam makalah ini akan membahas tentang kelas menengah di Minang kabau. yang waktu itu di tempati oleh para pengusaha, pedagang, orang-orang terpelajar, dan juga orang orang terpandang seperti ulama dan pemangku adat. Dan dalam temanya di persempit hanya pada kelas menengah Muslim saja. Maka dalam hal ini kami memfokuskan pada kelas menengah muslim. namun meskipun begitu, adanya kaitan dengan kelas menengah yang lain tetap kami bahas dalam makalah ini.
1.      Pemahaman tentang kelas menengah
Kelas menengah merupakan istilah yang dipakai oleh Karl marx untuk menyebut para petani, pengusaha dan pedagang kecil sisa-sisa kelompok ekonomi pra kapitalis. Mereka disebut “borjuis kecil”.posisinya ada diantara kelas pekerja dan kelas kapitalis dan tuan tanah. Maka adanya kelompok ini megaburkan batas antara kaum buruh dan borjuasi.
Namun marx dalam hal ini mengungkapkan dua pandangan yang cenderung kontradiktif. Disatu pihak menyatakan bahwa Ia melihat meningkatnya kaum menengah tersebut. Namun di lain pihak ia berbicara juga mengenai meningkatnya kelas polarisasi masyarakat menjadi dua kelas besar saja.
Lain Marx, lain juga Weber, pendiri sosiologi modern itu membagi masyarakat kapitalis secara Ekonomi sebagai berikut : (1) kelas pemilik lapisan tertas, yang identik dengan kaum borjuasi dalam pandangan Marx,  (2) kelas pekerja di tingkat terbawah yang disebut kaum buruh. Dan diantara dua kelas itu ada diantaranya. Yaitu (3) kelas- kelas Intelegensia, (4) manajer dan administrator, (5) borjuis Kecil dalam arti tradisional, yang meliputi kelas petani, pengusaha dan pedagang. Golongan terakhir inilah yang identik dengan strata peralihan yang dilihat Marx.[1]
Adanya kelas manajer dan administrator dalam Pembagian kelas menurut Weber ini, membuat para penganut Marxis maupun non Marxis, mengembangkan teori mengenai “kelas menengah baru”.  Jika golongan kelas menengah lama menurut aliran Marxis yaitu (1) produsen kecil, (2) pengerajin, (3) kaum profesional yang independen, (4) petani kecil, sedangkan kelas menengah baru muncul sebagai (1) pegawai kecil, (2) pengawas pabrik, (3) pegawai teknis, (4) guru, (5) pegawai pemerintah dan semacamnya yang timbul kemudian di masyarakat kapitalis.
Dalam perkembangan selanjutnya, dari bidang sosiologi tibul upaya untuk membedakan golongan masyarakat secara hirarkis, dengan tekanan, melihat ketidaksamaan atau kepincangan sosial karena perbedaan  (1) tingkat pendapatan, (2) pembagian kekayaan, (3) prestise, (4) umur, etnisitas. Dengan cara ini tidak lagi dilakukan analisis kelas, melainkan stratifikasi, yang menghasilkan strata-strata dalam masyarakat.
Signifikansi golongan menengah malah lebih menonjol, bukan saja karena jumlahnya, yang menunjukan posisinya dalam struktur masyarakat, juga karena sifatnya, yang lebih menunjukkan kualitasnya. Kedudukan golongan menengah yang semakin menguat ini menjadikan argumentasi baru bagi legitimasi masyarakat kapitalis dan sistem Ekonomi bebas. Tidak sebagaimana diramalkan oleh Marx, dimana kematangan kapitalisme ditandai oleh polarisasi masyarakat menjadi kelas buruh dan borjuasi, maka argumentasi baru mengatakan bahwa kematangan kapitalisme ditandai dengan dominannya kuantitatif dan kualitatif, kedudukan dan peranan golongan menengah ini.
Dengan menonjolnya kedudukan dan peran sentral golongan menengah tersebut, maka arti pentingnya golongan borjuasi, sebagai “kelas pemeras” seperti konsep Marxis menjadi berkurang. Dalam kata Marx sendiri, negara adalah “komite penyelenggara” bagi kepentingan kaum borjuasi.
Dalam konsep sosiologi, terdapat perbedaan antara kelas dan elite. Apabila konsep kelas dilihat dari batasan Ekonomi, maka konsep elite didasarkan pada pengertian non Ekonomi. Golongan borjuasi sebagai suatu kelas, bisa merupakan elite ekonomi, tapi belum tentu sekaligus elite politik. Elite bersifat plural, sedangkan kelas mengandung pengertian ekonomi.[2]
2.      Kelas menengah muslim minangkabau
Minangkabau merupakan sekelompok suku ynag mendiami daerah Sumatera Barat sekarang.[3] Jumlah orang minang di lingkaran elite politik, intelektual, profesional Republik ketika awal-awal kemerdekaan, bisa dibilang tidak sepadan dengan jumlah penduduknya yang hanya 3 % dari jumlah penduduk Indonesia.
Ciri utama dari pandangan hidup Minangkabau abad ke-19 adalah bertumbuhnya tradisi-tradisi Islam lokal. Payakumbuh dan pariaman Khususnya tercatat sebagai pusat-pusat studi Islam yang cukup penting. Dan juga menghasilkan tokoh-tokoh agama (ulama terkenal).
Kelas menengah yang dimaksud dalam makalah ini adalah Ulama. Keharuman namanya berkat keistimewaan yang dimilikinya merupakan daya tarik tersendiri bagi murid-murid terhadap perguruannya. Lembaga pendidikan Islam yang dipimpinnya biasanya dilaksanakan di surau-surau.
Surau yang paling terkenal di sumatera Barat dan merupakan contoh yang baik tentang keberhasilan meletakkan dasar pendidikan Islam serta terus melanjutkan ajaran yang dirintis oleh para pendirinya terdahulu ialah surau Ulakhan yang terletak disebuah Nagari kecil di kawasan pantai dekat pariaman.
Tokoh Utama surau Ulakan ialah Syekh Burhanuddin, ialah ulama yang datang dari Abad ke-17, yang konon dilaporkan bahwa Ia pertama kali mendengar tentang Islam dari seorang pelaut Muslim sehingga menggugahnya untuk pergi ke Aceh untuk mempelajari Islam lebih Jauh. Setelah kembali ke Sumatera Barat, Ia mendirikan pusat pendidikan Islam di Ulakan, untuk membekali murid guna menyebarkan Islam di Minangkabau.
Pusat-pusat Agama Islam paling awal lainnya juga berkembang sebagai perguruan Islam yang bersifat mistik atau tarekat. Para pengikutnya mencari pengalaman spiritual dan mistik dengan dibimbing oleh Ulama yang menjadi guru dan pemimpin mereka.
Pusat-pusat studi Islam yang didirikan oleh para Ulama Minangkabau barangkali merupakan basis Utama orang minagkabau yang baru masuk Islam. Pada awalnya para Ulama menanamkan Islam dengan Unsur-unsur Mistik dan tidak begitu dekat hubungannya dengan agama yang dikembangkan Nabi Muhammad, tetapi kemudian juga berkembang ajaran Islam sebagaimana yang di praktikkan, baik di Makkah maupun di Madinnah sejak periode yang sama.[4]
3.      Matinya Kelas menengah muslim Minangkabau
Keadaan minangkabau disaat kedatangan Belanda pada pertengahan abad ke-19, yang memanfaatkan institusi adat nagari telah membuka katup penting dalam sebagian golongan, terutama adalah golongan kelas menengah, sebab adatlah yang memelihara pelestarian pola hubungan antar keluarga setempat yang yang sudah ada sebelumnya.Belanda membutuhkan penduduk setempat, yang memiliki keterampilan teknis dasar membaca, menulis, dan pengetahuan berhitung secukupnya. Dan karena itulah, tak banyak lagi keluarga yang berharap status sebagai kepala “tradisional” dan mereka harus mencari kedudukan dan keunggulan di luar lingkungan yang tradisional.
Bahkan system sosio-ekonomi nagari Minangkabau, dengan tradisi merantau, yakni kebiasaan kaum pemuda meninggalkan kampung halaman mereka untuk mengadu nasib d tempat lain merupakan tradisi yang unik dan cocok bagi mereka untuk mengambil kesempatan yang ditawarkan oleh pemerintah colonial itu. Karena pemerintah colonial memerlukan sejumlah tenaga kerani (pegawai-juru-tulis) dantenaga-tenaga yang memerlukan keterampilan bacatulis.
Dan sejak saat itu banyak  keluarga Minangkabau yang bekerja secara turun-temurun sebagai birokrasi pemerintah Belanda. System  keluarga Minangkabau menekankan pemusatan sumber-sumber untuk diteruskan kekeluarga generasi berikutnya, yang pada gilirannya terus berusaha memperbesar jumlahnya dari generasi sebelumnya. Dengan begitu keluarga Minangkabau  yang kemudian tampil sebagai kelas menengah ini mereka yang berasal dari keluarga guru sekolah, juru tulis di gudang-gudang kopi pemerintah atau menjadi pegawai kecil bagi pemerintah kolonial Belanda.[5]
Dari  kasus pemanfaatan institusi adat inilah sebagian kaum menengah mengalami “kemajuan” dalam arti tanggapan kreatif mereka terhadap kehadiran kekuatan kolonial dan peluang-peluang baru yang ditawarkan untuk memperoleh kekayaan, prestise, kekuasaan dan kedudukan.
Bagi kebanyakan golongan kelas menengah ini jalan terbaik untuk maju terdapat dalam upaya adaptasi mereka dengan pemerintah kolonial dan untuk itu mereka harus belajar keterampilan dan teknik-teknik baru yang menjadi prasyarat masuk lapangan kerja baru.
Pendidikan “Barat” di Sumaera Barat abad ke-19 mencerminkan tanggapan yang amat pragmatic dan menguntungkan beberapa kelompok tertentu terhadap kebutuhan pemerintah Eropa akan tenaga personil yang terdidik dalam birokrasi pemerintah. Orang Minangkabau memandang tinggi  pendidikan. Pandangan positif terhadap pendidikan mulai berkembang dalam masyarakat Minangkabau sejak Belanda melakukan kebijakank husus untuk meningkatkan pendidikan masyarakat Minangkabau pada tahun 1870. Belanda membantu dana pendidikan sekolah-sekolah negeri dan mengubah Sekolah Radja menjadi sentra pendidikan yang setara dengan sekolah-sekolah di HindiaBelanda. Masyarakat, terutama keluarga yang ingin maju, keluarga bangsawan, dan kelas menengah, memandang bersekolah sebagai sebuah prestise.Karena sekolah-sekolah gaya Barat, menghasilkan murid-murid yang nantinya bias bekerja guna mendapatkan keuntungan tertentu dalam dunia material.[6]
Sekolah-sekolah gaya Barat  ini jelas menjadi saingan “sekolah” tradisional seperti membaca Al Quran dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam yang berguna bagi pembentukan moral dan ketaatan seseorang terhadap Tuhan. Sekolah “Barat” nantinya justru menjadi bagian penting dalam kehidupan mereka untuk menghasilkan keuntungan tertentu dalam dunia material dan mengubah status seseorang dalam kehidupan.
Tentu saja reaksi terhadap munculnya pendidikan Barat, sejajar dengan munculnya reaksi terhadap kekuasaan Barat pada umumnya.Para kepala nagari dan kaum bangsawan merupakan “komunitas” utama dalam pembentukan dan perubahan dalam melegitimasi rezim baru. Mereka dibius menjadi bagian dari penguasa baru: Belanda.
Namun disatu sisi, orang Minang juga pandai menangkap dengan jitu aturan main kolonial yang baru dan sekuler itu menurut pengertian mereka sendiri; mengambil yang dibutuhkan dan menyesuaikan untuk tujuan-tujuan khsusus mereka (terkadang dalam tujuan tradisional). Walaupun bekerja untuk Belanda mereka tidak menggantungkan takdir mereka pada aturan kolonial, seperti yang terjadi pada orang Nasrani di Indonesia. Karena tujuan utama mereka menjadi pegawai Belanda adalah semata-matahanya didorong oleh kewirausahaannya, yang mengharuskan mereka untuk memperbaiki ekonomi kehidupan keluarganya.[7]
Penutup
Dari makalah singkat tersebut bisa ditarik benang merah bahwa Kelas menengah merupakan istilah yang dipakai oleh Karl marx untuk menyebut para petani, pengusaha dan pedagang kecil sisa-sisa kelompok ekonomi pra kapitalis. Mereka disebut “borjuis kecil”. Lain Marx, lain juga Weber, pendiri sosiologi modern itu membagi masyarakat kapitalis secara Ekonomi.
Pembagian kelas menurut Weber mengembangkan teori mengenai “kelas menengah baru”. Dalam perkembangan selanjutnya, dari bidang sosiologi tibul upaya untuk membedakan golongan masyarakat secara hirarkis, dengan tekanan, melihat ketidaksamaan atau kepincangan sosial karena perbedaan. Signifikansi golongan menengah malah lebih menonjol, bukan saja karena jumlahnya, yang menunjukan posisinya dalam struktur masyarakat, juga karena sifatnya, yang lebih menunjukkan kualitasnya.
Minangkabau merupakan sekelompok suku yang mendiami daerah Sumatera Barat sekarang. Keadaan minangkabau disaat kedatangan Belanda pada pertengahan abad ke-19, kekuasaan Belanda yang memanfaatkan institusi adat nagari telah membuka katup penting dalam sebagian golongan, terutama adalah golongan kelas menengah, sebab adatlah yang memelihara pelestarian polahubungan antar keluarga setempat yang yang sudah ada sebelumnya. pemerintah colonial memerlukan sejumlah tenaga kerani (pegawai-juru-tulis) dantenaga-tenaga yang memerlukan keterampilan bacatulis.
Dan sejak saat itu banyak keluarga Minangkabau yang bekerja secara turun-temurun sebagai birokrasi pemerintah Belanda. Bagi kebanyakan golongan kelas menengah ini jalan terbaik untuk maju terdapat dalam upaya adaptasi mereka dengan pemerintah kolonial dan untuk itu mereka harus belajar keterampilan dan teknik-teknik baru yang menjadi prasyarat masuk lapangan kerja baru. Karena tujuan utama mereka menjadi pegawai Belanda adalah semata-mata hanya untuk memperbaiki kehidupan keluarganya yaitu didorong oleh kewirausahaannya.

SUMBER:
Graves, Elizabeth E., asal-usul Elite Minangkabau Modern respon terhadap kolonial belanda abad XIX/XX, (Jakarta: yayasanObor Indonesia, 2007).

Rahardjo, M. Dawam., masyarakat madani: agama, kelas menengah dan perubahan sosial, (Jakarta: LP3ES, 1999)

Mansoer M.D. dkk. Sedjarah minangkabau, (Jakarta: Bhratara, 1970)


Artikel di akses tanggal 14 Oktober 2015, dari : http://staff.unand.ac.id/rinamarnita/2015/05/13/pergeseran-bahasa-dan-identitas-sosial-dalam-masyarakat-minangkabau-kota-studi-kasus-di-kota-padang/





[1] M. Dawam rahardjo, masyarakat madani: agama, kelas menengah dan perubahan sosial, (Jakarta: LP3ES, 1999) hlm. 266
[2]M. Dawam rahardjo, masyarakat madani: agama, kelas menengah dan perubahan sosial, (Jakarta: LP3ES, 1999) hlm.270
[3] Mansoer M.D. dkk. Sedjarah minangkabau, (Jakarta: Bhratara, 1970) hlm.1
[4] Elizabeth E Graves, asal-usul Elite Minangkabau Modern respon terhadap kolonial belanda abad XIX/XX,, (Jakarta: yayasanObor Indonesia, 2007) hlm. 47
[5]Elizabeth E Graves, asal-usul Elite Minangkabau Modern respon terhadap kolonial belanda abad XIX/XX, (Jakarta: yayasanObor Indonesia, 2007) hlm 62
[6]Artikel di akses tanggal 14 Oktober 2015, dari :http://staff.unand.ac.id/rinamarnita/2015/05/13/pergeseran-bahasa-dan-identitas-sosial-dalam-masyarakat-minangkabau-kota-studi-kasus-di-kota-padang/
[7]Op. Cit. hlm 279-280

Tidak ada komentar:

Posting Komentar