Tulisan ini menyatakan bahwa Sebagai salah satu tokoh dari partai Masyumi,
pemikirannya tentang penggunaan sistem demokrasi dalam kehidupan bernegara di
indonesia, dianggapnya merupakan suatu
yang tepat dan sesuai. karena menurutnya, sistem demokrasi merupakan sistem
yang sama sekali tidak bertentangan dengan islam. bahkan menurutnya, demokrasi
sangat sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran islam.
Meskipun awalnya sempat menginginkan islam sebagai ideologi dasar negara,
tatapi dikemudian kemudian pancasila yang ditetapkan sebagai ideologi dasar
negara, M. Natsir juga tetap menerimanya
dengan alasan bahwa sila pertama ketuhanan yang maha Esa, sangatlah dekat
dengan maksud dari arti ketuhanan atau tauhid dalam islam. Dan juga tidak ada
satupun sila-sila yang ada dalam pancasila
bertentangan dengan ajaran maupun nilai-nilai islam, justru sila-sila tersebut
sangat sesuai dengan apa yang diajarkan dalam islam. Dan dari pemikiran itu
banyak sekali pengaruh yang dibawanya, seperti Mosi Integral Natsir yang
berhasil menjaga keutuhan negara Indonesia dan banyak muncul negarawan yang
yang terpengaruh pemikirannya.
Kata kunci: pemikiran M. Natsir, pengaruh, perpolitikan Indonesia.
Pendahuluan
Masa-masa pasca proklamasi 1945 adalah masa
dimana indonesia mulai belajar membangun kehidupan bernegaranya. Masa ini, oleh
para petinggi negaranya kebanyakan dihabiskan pada masalah pencarian identitas
negara. Yang karenanya akan berpengaruh pada kehidupan bernegaranya dikemudian
hari. Perdebatan panjang mengenai hal ini selalu terjadi ketika perumusan
konstitusi. yang pada setiap kubu mengharapkan berasaskan ideologi masing-masing.
Adalah nasionalis, komunis dan islam.
Kubu-kubu tersebut selalu beradu pendapat di majelis konstituante mengenai asas
bernegara yang akan dipakai oleh indonesia pada waktu itu. Bersilang argumen
antara nasionalis yang selalu menginginkan pancasila sebagai asas negara,
dengan islam yang mangharapkan indonesia berlandaskan islam, maupun komunis
yang ingin menerapkan asas-asasnya pada indonesia. Ketiganya selalu berusaha
mamberikan pengaruh pada setiap pertemuan yang ada.
Dalam buku-buku sejarah kebanyakan, sangat
sedikit sekali yang menyinggung tentang pengaruh tokoh-tokoh islam pada
indonesia pasca kemerdekaan. Rata-rata
menuliskan bahwa islam yang
dipunggawai oleh tokoh-tokoh partai masyumi kurang begitu berpengaruh dalam hal
ini. berbeda dengan tokoh-tokoh nasionalis yang selalu menjadi aktor utama
dalam perpolitikan indonesia pada masa
itu. Padahal jika dilihat dari sejarah,
masa awal-awal kemerdekaan adalah masa dimana islam menjadi kekuatan politik
secara kuantitas. Hal demikian adanya karna mayoritas penduduk indonesia adalah
beragama islam. Yang terdiri dari dua kekekuatan, yaitu dari aliran modernis
yang ada dikalangan perkotaan dalam wadah Muhammadiyah, dan aliran
tradisionalis yang berada dipedesaan terkumpul dalam NU.[1] Hal ini
menjadi lebih karena pada waktu itu mayoritas umat muslim dulu masih memakai
islam sebagai idoelogi berpolitik mereka, dan belum ada intervensi dari ideologi
partai politik manapun.
Masyumi sebagai partai yang mewadahi umat
islam tak pelak menjadi kekuatan besar
pada waktu itu. Seperti Pada 1950 ketika parlemen baru dibentuk kembali setelah
sebelumnya lesu akibat agresi militer belanda, masyumi tampil sebagai partai
terbesar yang menduduki 23% kursi di parlemen. Juga dari tujuh kabinet yang
berjalan dibawah sistem demokrasi konstitusional (1950-1957), tiga kabinet
dipercayakan kepemimpinannya kepada masyumi (kabinet Natsir pada 1950-1951;
kabinet Sukiman 1951-1952; kabinet Burhanudin harahap 1955-1956).[2] hal ini
membuktikan bahwa pengaruh islam cukup kuat pada masa setelah kemerdekaan.
Pemikiran tokoh-tokoh masyumi juga dapat
dipastikan memberikan pengaruh pada masa ini. Satu dari tiga tokoh Masyumi yang
pernah memimpin kabinet yang sudah disebutkan sebelumnya akan dibahas dalam
tulisan ini. Yaitu M. Natsir, sebagai tokoh islam dan tokoh indonesia pertama
yang menjadi pemimpin kabinet dimasa demokrasi konstitusional baru dimulai pada
1950. Yang dalam hal ini menguraikan pemikiraanya tentang kehidupan bernegara
dan pengaruhnya.
Pemikiran-pemikiran M. Natsir memang sering
dianggap tidak sesuai dengan kemajmukan masyarakat indonesia, karena
pemikirannya yang konsisten bahwa islam harus menjadi asas bernegara. Namun hal
ini menurut Bachtiar Effendi hanya sebatas kesalah pahaman. Karna menurutnya M.
Natsir menganggap bahwa agama adalah realitas yang hidup. agama telah menjadi
bagian dari sistem sosial, artinya bahwa agama harus berdampingan dengan
kehidupan bernegara. Lebih lanjut Ia menuliskan bahwa “Natsir tidak hanya
berbicara mengenai islam sebagai dasar negara atau persatuan antara agama dan
negara. Ia juga berbicara mengenai
modernisme, demokrasi, hak asasi manusia, dan persamaan hak serta
rasisme sebagai monster bagi kemanusiaan
dan peradaban. Kombinasi kesempatan yang dimilikinya untuk mengenyam pendidikan
Barat dan mempelajari Islam telah memungkinkannya melahirkan pemahaman Islam
modern. Melalui partai yang dipimpinnya, Masyumi, ia memperjuangkan itu semua.”
Ungkapnya.
Terlebih Amien Rais ketika menulis tentang M.
Natsir, Ia mensejajarkannya dengan pelopor kebangkitan islam yang` ada di timur
tengah pada paruh kedua abad 20. Di Mesir ada Al-Ikhwanul muslimin oleh sayyid
qutub, jema’at islamiyah yang dipimpin oleh Al-maududi, serta di Indonesia ada
partai masyumi dengan pemimpinnya yang paling terkenal yaitu Mohamad Natsir. Ketiganya
memiliki persamaan, yaitu sebagai pelopor kebangkitan melalui dengan
pemikiran-pemikirannya. Namun bedanya, hanya Natsir yang pernah menduduki
posisi tinggi dalam suatu sisitem pemerintahan. Lebih jauh Ia menambahkan,
bahwa Natsir merupakan pembawa pemikiran theodemokrasi, yaitu demokrasi yang
berasaskan nilai-nilai luhur ketuhanan. Demokrasi yang merealisasikan nlai-nilai
etika yang telah diajarkan syariat islam.
Sejauh ini, Sudah banyak tulisan-tulisan tentang
tentang pemikiran M.Natsir. tapi
kebanyakan hanya terfokus hubungan islam dan tata negara menurut pemikirannya.
Tidak sampai membahas pengaruhnya terhadap perpolitikan diindonesia pada masa
itu. Ada juga yang membahas tantang perpolitikan indonesia pasca revolusi, tapi
sangat sedikit menyinggung tetang pengaruh natsir ketika Ia mimpin kabinet pada
1950. yang lain, yang sudah sangat banyak dibahas tentang pemikiran M. Natsir
adalah tentang pandangannya terhadap pancasila. Dan itu juga sebatas
menguraikan pemikirannya tentang bagaimana Ia menyikapi pancasila sebagai dasar
negara indonesia dan alasan-alasan mengapa Ia bisa menerima pancasila. Tapi
tidak juga samapai membahas pengaruhnya. Dalam tulisan ini menekankan pada pemikiran
M. Natsir dan pengaruh yang timbul dari pemikirannya tersebut terhadap dinamika
perpolitikan di Indonesia.
Kehidupan yang melatar belakangi pemikirannya
Natsir kecil adalah anak seorang juru tulis bernama
Muhammad idris Sutan Saripado yang bekerja pada pemerintahan belanda di daerah
Alahan panjang pada waktu itu. Ia lahir di daerah itu pada 15 Juli 1908.
Memulai pendidikan dasarnya di sekolah rakyat belanda (HIS), Ia menjadi salah
seorang murid yang cerdas disekolahnya. Selain bersekolah di siang harinya, Ia
juga sekolah di madrasah untuk belajar Islam, dan di malam harinya Ia mengaji
pada seorang kyai dalam surau yang ada
di kampungnya, tak jarang sampai Ia menginap di surau tersebut. Masa kecilnya
tak jauh berbeda dengan anak kebanyakan, Namun pekerjaan bapaknya Menuntut Ia
sering pindah-pindah sekolah karna bapaknya sering di pindah-pindah tempat
dinasnya.
Setelah lulus dari HIS, Natsir malanjutkan
kegiatan studinya dengan beasiswa di MULO –setingkat sekolah menengah– di
Padang. Disinilah Natsir untuk pertama kali duduk berdampingan dengan murid
belanda. Dan di MULO ini Ia belajar main biola, Ia juga aktif di organisasi
kepemudaan islam, jong Islamiten Bond. Dan di Jong Islamiten bond inilah Natsir
bertemu dengan Nur Nahar, Murid perempuan yang aktif dalam Jibda –organisasi
wanita jong islamiten bond– yang kelak medampinginya hingga akhir hayatnya.
Pada tahun 1927 Natsir melanjutkan
pendidikannya di AMS –setingkat sekolah menengah atas—di Bandung. Yang Sekolah
elit dan mahal pada waktu itu. Meskipun pada awalnya Natsir selalu di ejek
karna tidak fasih berbahasa belanda, namun di tahun-tahun berikutnya menjadi
murid yang gemilang di sekolahnya itu. Sekolah di pendidikan belanda membuat
natsir tau tentang dampak buruk penjajahan. Jiwa nasionalismenya mulai tumbuh
dan menyala-nyala. Dan pada masa-masa itu Ia juga masuk dalam Jong Islamiten
Bond cabang Bandung, yang pada 1928-1932 menjadi wakil ketua dalam organisasi
tersebut.
Natsir pada waktu itu adalah seorang yang kutu
buku. Ia melahap buku filsafat barat, buku sastra, sejarah, dan rajin mengikuti
perkembangan Internasional dari berbagai Jurnal. Ia juga membaca bukunya snock
hourgronje Netherland in de islam, buku tersebut merupakan strategi belanda untuk menghadapi islam. Tapi sejak
membaca buku inilah Natsir bertekad untuk melawan belanda melalui pendidikan.
Namun kegiatannya berbelok ketika Ia duduk dikelas 5 AMS (2 SMA), pada waktu
itu Ia berusia 20 tahun, Ia bertemu dengan Ahmad Hasan, pria keturunan India
asal Singapura yang kemudian menjadi ahli agama dalam organisasi persatuan
Indonesia (persis). Kepadanyalah natsir belajar agama, diskusi dan menulis.
Dari A. Hasan Natsir mulai mengenal pemikiran
Islam modern.[3]
dengan sering melakukan Diskusi yang sering mereka adakan tentang keagamaan
membuat natsir teringat dengan pendidikan yang didapatkannya dulu di
kampungnya. Ia selalu mengunjunginya untuk belajar agama kepadanya, sampai
keaktifannya disekolah mulai menurun demi untuk belajar pada tokoh agama
oganisasi Persis itu. Ia belajar kepada A. Hasan tentang qur’an terjemahan,
tafsir dan ilmu-ilmu islam lainnya dan penolakanya terhadap ide-ide kaun
Nasionalis sekuler. Sehingga Ia terpengaruh olehnya dan bahkan Natsir
mendirikan sekolah islam modern pertama yang bertempat di bandung. Hal ini
jelas membelokkan cita-cita awalnya sebagai ahli hukum. Terlebih lagi ketika
lulus, karna mendapat nilai terbaik, natsir ditawari beasiswa ke Leiden,
Belanda, namun Ia menolaknya, dan lebih memilih mengajar disekolah yang Ia
dirikan dengan dana seadanya itu. Di tahun-tahun selanjutnya Ia rajin
menuliskan buah pemikirannya di media masa sebagai bentuk pembelaannya terhadap
Islam.
Penggagas Teodemokrasi
Berangkat dari latar belakang tersebut, maka
timbullah pemikiran-pemikiran natsir yang kebanyakan ditulis di Media masa
seperti majalah Pembela Islam, yang
pada waktu itu sebagai pembelaan terhadap islam atas cercaan oleh kaum nasionalis.
Salah satu pemikirannya adalah Ketika soekarno menggembor-gemborkan sekulerisasi,
yaitu pemisahan antara Agama dengan Negara, meski awalnya pengagum ide-ide kaum
nasionalis, pada waktu itu M.Natsir menjadi pembela utama paham penyatuan
antara agama dengan negara. Karna menurutnya islam bukan hanya sistem suatu
agama saja, dia itu suatu kebudayaan yang lengkap.[4] Baginya
Islam bukan hanya terdiri dari praktik-praktik ibadah, tetapi juga
prinsip-prinsip umum yang relevan untuk mengatur hubungan antar Individu dengan
Masyarakat. Meskipun demikian, Ia menyadari bahwa alqur’an dan sunah Nabi tidak
mempunyai ‘tangan dan kaki’ untuk membuat manusia berjalan dengan aturan-aturan
Islam. Oleh kerna itu menurutnya Islam mamerlukan alat yang cocok untuk
menjamin agar aturan-aturannya dijalankan. Dalam hai ini, Ia meliahat negara
sebagai alat yang cocok untuk menjamin perintah-perintah dan hukum-hukum islam
dijalankan.
Lebih lanjut Ia menegaskan bahwa islam dan
Negara merupakan relogio politik yang menyatu. Baginya negara bukan merupakan
tujuan, melainkan sebagai alat. Maka urusan kenegaraan pada dasarnya adalah
suatu bagian yang tak dapat dipisahkan dengan Islam.[5] Ia percaya bahwa negara dengan berasaskan islam,
umat dari agama-agama lain mendapat kemerdekaan beragama dengan luas. “mereka
tidak akan keberatan kalau di negara itu berlaku hukum islam mengenai soal-soal
kemasyarakatan. Karena hukum tersebut tidak bertentangan dengan agama mereka,
mengingat dalam agama mereka memeng tidak ada hal-hal yang bersangkutan dengan
hal-hal semacam itu.”[6] Hal ini
mengindikasikan bahwa natsir tidak membatasi sistem apa yang harus dianut oleh
Indonesia, namun tetap harus memakai asas Islam.
Pandangannya Mengenai bentuk atau sistem
pemerintahan, Natsir mengutarakan bahwa umat Islam bebas memilih mana yang paling sesuai asalkan tidak
bertentangan dengan hukum-hukum yang telah ditetapkan Oleh Islam.[7] Umat
islam berhak mencontoh pola dan sistem yang dianut oleh negara-negara lain
seperti Inggris, jepang, atau Uni soviet. Ia menyadari bahwa Islam memang
bersifat demokratis. Tapi tidak sama sekali bahwa semua hal, termasuk
hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh islam, masih perlu dikukuhkan atau
ditetapkan oleh dewan perwakilan rakyat melalui pemungutan suara. Dengan kata
lain permusyawaratan itu sebatas pada hal-hal yang belum ditentukan hukumnya,
dan mencari cara-cara terbaik untuk melaksanakan hukum-hukum yang telah
ditetapkan.[8]
Mengenai hal Ini Natsir mengungkapkan seperti yang dikutip oleh Luthfi
Assyaukanie bahwa “negara yang berdasarkan islam bukanlah negara Teokrasi. Ia
adalah negara demokrasi. Ia juga bukan negara sekuler Ia adalah negara
demokrasi islam.”[9]
Sejalan dengan pemikirannya, Masyumi sebagai
suatu partai yang di pimpinnya mengeluarkan manifesto pada desember 1945 yang
bertujuan untuk melaksanakan cita-cita islam dalam kenegaraaan, hingga dapat
mewujudkan suatu negara yang berdasarkan kedaulatan rakyat dan masyarakat yang
berdasarkan keadilan manurut ajaran Islam.[10]
Manifesto tersebut terdiri dari dua poin penting. pertama,republik Indinesia merupakan negara Demokrasi. Politik
islam memamang menuntut terlaksananya Demokrasi yang sebenarnya, yang
bersendikan keadilan kemerdekaan serta bebas dari kekuatan dan ancaman. Oleh
karenanya maka wajar, bahkan wajib Indonesia bersahabat dengan negara-negara
yang sepaham dan seasas dalam politik negara-negara Demokrasi. Kedua, didalam negri mengusahakan
menambah tersiarnya Ideologi Islam dikalangan masyarakat Indonesia dengan tidak
menghalangi pihak yang sejalan memperkokoh pihak sendi ketuhanan yang maha Esa.
Di lain hal, pandangan Natsir tentang
indonesia adalah ketika soekarno menggadang-gadangkan nasionalime. Iya
berpendapat bahwa nasionalisme harus berlandaskan suatu ideologi.[11] Artinya
harus mempunyai tujuan yang suci ilahiah dan harus melampaui hal-hal yang materil.
Dan Ia berkeyakinan Bahwa nasionalisme Indonesia harus bercorak islam. Maka
dari itu Ia mengenalkan konsep kebangsaan
Islam. Hal ini karna Ia melihat kenyataan historis bahwa Islamlah yang
menyadarkan Nasionalisme bangsa Indonesia melalui Sarekat Islam. Dan Ia
menegaskan bahwa jika saja tidak ada gerakan-gerakan dibawah naungan islam, maka
Nasionalisme di Indonesia tidak akan pernah ada. karna Islam yang menanamkan
benih-benih Nasionalisme dan menghapuskan pembedaan perlakuan pulau-pulau yang beragam. Dan menurutnya, dalam Islam tidak perlu
menanamkan kecintaan pada masyarakatnya.[12] Karena
dalam diri manusia itu sendiri sudah ada watak untuk mencintai masyarakatnya.
Dengan hal ini maka kemerdekaan bukanlah tujuan akhir gerakan islam. tetapi,
kemerdekaan juga bertujuan untuk mencapai Ridha Allah semata.[13]
Dalam majalah Hikmah terbitan 9 Mei 1954, seperti yang dikutip oleh Munawir
Sadzali, mengenai pandangan Natsir terhadap pancasila, Nasir menuliskan bahwa “mana
mungkin Al-qur’an yang memancarkan tauhid dapat apriori bertentangan dengan
sila ketuhanan yang maha Esa? Mana mungkin Al-qur’an dengan ajarannya yang
penuh dengan kewajiban menagakkan adalah
ijtima’iyah dapat apriori bertentangan dengan keadilan sosial? Mana mungkin
Al-Qur’an yang justru memberantas feodalisme dan pemerintahan Istibdad
(diktator) sewenang-wenang, serta meletakkan dasar musyawarah dalam susunan
pemerintah, dapat bertentangan dengan apa yang dinamakan kedaulatan rakyat?
Mana mungkin Al-Qur’an yang menegakkan Islah
binannas (damai bersama manusia) dapat apriori bertentangan dengan dengan
apa yang disebut degan perikemanusiaan? Mana mungkin Al-Qur’an yang mengakui
adanya bangsa-bangsa dan meletakkan dasar yang sehat bagi kebangsaan dapat
apriori bertentangan dengan kebangsaan?”.[14] Pertanyaan-pertanyaan natsir tersebut membuat penulis berkesimpulan
bahwa Natsir sangat setuju dengan pancasila, yang setiap silanya Ia tafsirkan
selalu sejalan dengan apa yang diajarkan oleh Al-Qur’an.
Namun dalam sidang konstituante di Bandung
pada tahun 1957 Natsir menolak pancasila sebagai dasar Negara, dan penolakan
itu juga merupakan penolakan resmi partai Masyumi. Hal itu dianggap karna
Natsir melihat pancasila sebagaimana yang ditafsirkan oleh anggota-anggota
konstituante yang berpaham sekuler, khususnya soekarno yang memberikan kesan
bahwa sila ketuhanan yang maha Esa adalah ciptaan Manusia. Natsir juga menentang
pendapat soekarno bahwa pancasila adalah alat pemersatu bangsa. Tetapi
penolakan Natsir terhadap pancasila ini menurut sebagian pengamat bukan
merupakan perubahan pendiriannya yang tadinya menerima pancasila dan ketika
sidang itu menolak pancasila sebagai dasar negara. Karena pendangan natsir
tentang pancasila selalu dikaitkan dengan Al-qur’an. Lebih lanjut Munawir menambahkan bahwa telah
terjadi perkembangan dan pergeseran dalam skap natsir terhadap pancasila pada
waktu itu.[15]
Dari paparan singkat tersebut, dapat dilihat
bahwa semua pemikiran Natsir tentang kenegaraan selalu dihubungkan islam, namun
juga Ia tidak sepenuhnya menginginkan sistem yang telah diterapkan oleh umat
islam terdahulu. Maka dari itu Indonesia dalam pandangannya haruslah memakai
islam sebagai asas bernegara, namun yang dimaksudnya bukanlah Khilafah seperti
yang telah di terapkan oleh umat islam, Tetapi juga bukan sistem demokrasi
liberal seperti yang ada di barat. Maka istilah yang tepat untuk sistem ini
adalah theodemokrasi[16] atau
demokrasi yang berasaskan nilai-nilai ketuhanan.
Pengaruh yang dibawanya
seperti yang telah disampaikan sebelumnya,
bahwa dalam buku-buku sejarah kebanyakan, tokoh islam kurang memiliki pengaruh
dalam perpolitikan Indonesia pasca kemerdekaan. M.Natsir dalam hal ini
mempunyai pemikiran untuk mengembalikan indonesia menjadi negara kesatuan pada
1950. Ia mengluarkan mosi[17] yang
lebih dikenal dengan Mosi Integral M.Natsir. Ia mempidatokannya di parlemen
pada 3 April 1950 sebagai bukti peran besarnya mengembalikan Indonesia menjadi
negara kesatuan. Dalam mosi Integral tersebut sebenarnya sama sekali tidak
memuat ajakan untuk kembali ke negara kesatuan bahkan berkali-kali dalam
pidatonya Ia mengatakan bahwa mosinya tidak berhubungan dengan kontroversi
tentang negara kesatuan dan negara federal. Sebenarnya yang diperjuangkan dalam
mosinya itu adalah persatuan bangsa, bukan Negara kesatuan.
Karena melihat kondisi pada saat itu pihak pemerintah
yang menyerahkan semuanya kepada rakyat mengenai hal tersebut dengan alasan
bahwa Indonesia adalah negara demokrasi. Natsir menyayangkan hal ini. Karna menurutnya
jika pemerintah menyerahkan semuanya kepada
rakyat berarti sama halnya dengan membiarkan terjadinya konflik diantara
masyarakat sendiri. Dan kata nastsir sikap seperti itu menunjukkan bahwa
pemerintah hanya ingin mencari selamat dan tidak bertangung jawab. Dan Dari
itu, Natsir melalui mosinya mengusulkan agar ada penyelesaian menyeluruh
sebelum negara hancur. karena dengan sikap pemerintah seperti itu akan
mengakibatkan banyak terjadi pergolakan di daerah karna sistem negara federal
yang pasti akan semakin memberikan peluang besar kepada daerah yang tidak
sepaham dengan pemerintah untuk memisahkan diri dari Indonesia.
Dengan mosinya itu, natsir sangat berpengaruh terutama
bagi keutuhan negara Indonesia. karna dengan dijadikannya Indonesia sebagai negara
federal menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS) oleh Van mook di Konferensi
Meja Bundar (KMB) pada 1949, berarti sama saja ingin memecah belah Indonesia.
karna melihat kondisi Indonesia pada
awal-awal kemerdekan masih belum stabil, Dan juga sikap pemerintah pada saat itu bersikap semuanya menyerahkan
terhadap rakyat, maka bukan suatu hal yang mustahil jika terjadi
pergolakan-pergolakan diderah yang mengakibatkan perpecahan dan banyak daerah
yang ingin memisahkan diri.
Natsir selalu ingin pemikiran-pemkirannya tentang
islam dapat diketahui oleh banyak orang, memberikan pemahaman tentang islam
melalui tulisan-tulisan yang Ia tulis di banyak media masa pada waktu itu. Dan
juga Gagasa-gagasannya tentang tata nagara Indonesia selalu Ia tanamkan pada
lembaga yang dibawahinya. Seperti Pada Mei 1967, natsir mendirikan dewan dakwah
islamiyah Indonesia (DDII). melalui lembaga inilah Natsir berpengaruh melakukan
karakterisasi Ideologi partai masyumi yang juga Ia ketuai. dan dalam lembaga ini pula Ia mempromosikan
gagasan yang mulanya dikembangkan dalam masyumi. Dan juga menanamkan cita-cita
masyumi agar terus terpelihara.[18]
Sehingga masyumi selalu konsisten dengan apa sudah menjadi tujuan dan yang
selalu diperjuangkannya.
Hingga kini pemikiran Natsir masih mewarnai dinamika
pandangan berpolitik di Indonesia. yaitu Yusril Ihza Mahendra yang juga sebagai
tokoh pengusung partai islam dan juga sebagai bagian dari DII yang pandangan
dalam berpolitiknya terpengaruh oleh Natsir dan partai masyumi. Hal ini
dibuktikan dengan pandangannya terhadap kenegaraan yang selalu sejalan dengan
asas-asas islam. Menurutnya, syari’at harus dimasukkan dalam unsur-unsur
kenegaraan, Seperti dalam penyusunan undang-undang harus dimasukkan syari’at
sebagai salah satu sumber hukum, meski Ia tidak membatasi nama hukum itu
disebut hukum syari’at atau tidak. Ia sangat mengagumi natsir dengan
Masyuminya. Sejalan dengan itu lutfi assyaukanie mengugkapkan bahwa mahendra dengan tulisan-tulisannya
sangat kelihatan terpengaruh oleh Natsir. Seperti Ia menyebut “kalau kita
pelajari dari tulisan-tulisannya terutama dari desertasi Ph.D nya. Tampak jelas
dia mengagumi Masyumi.” itu jelas mengindikasikan bahwa Mahendra sangat
terpengaruh oleh pemikiran Natsir tentang pandangannya mengenai ke tata
negaraan di Indonesia.
Sementara itu Amin Rais secara tegas menyatakan
dirinya terpengaruh oleh M. Natsir dan tokoh-tokoh pemikir islam yang lain
mengenai pandangannya tentang kenegaraaan. Ia mengungkapkan bahwa “wawasan
politik dan latar belakang pengetahuan yang saya miliki, saya tahu persis apa
arti sebuah negara kebangsaan, apa arti kemanjemukan dalam dalam sebuah negara
demokrasi seperti negara kita pancasila, apa arti toleransi beragama, apa arti
keadilan sosial, dan lain-lain. Isya Allah saya mengetahui sampai ke
hakekat-hakekatnya, akar-akarnya, filsafatnya, sampai kepada realitas yang
harus kita capai. Terus terang, dalam hal ini saya agak dipengaruhi tradisi
tokoh-tokoh masyumi yang saya kegumi seperti Mohamad Natsir,...”[19]
Ungkapnya.
Sebenarnya masih banyak tokoh-tokoh politik indonesia
seharusnya dibahas dalam tulisan ini. Tapi Jika dilihat dari dua tokoh diatas
saja, sudah jelas bahwa banyak pengaruh yang berangkat dari pemikiran M.Natsir.
Meskipun Tak bisa dipungkiri bahwa dinamika perpolitikan di Indonesia diwarnai oleh
banyak sekali pemikiran para tokoh dari berbagai latar belakang. Namun, Natsir
dalam hal ini telah membuktikan bahwa Islam menuruh posisi penting dalam
dinamika perpolitikan di Indonesia hingga saat ini.
Belajar dari Natsir
berangkat beberpa hal yang dibahas di atas, kita patut
belajar dari tokoh nasional yang satu ini, diamana dari latar belakanya Ia
adalah sosok yang sederhana, jujur, dan konsisten. Kesederhanaanya patut
dijadikan teladan, seperti dalam penampilan, yang mungkin mustahil dilakukan
pegawai pemerintahan sekarang, karna Ia adalah politisi yang memakai jas yang
bertambal. Hal ini justru kebalikan dari apa yang kita lihat dari para politisi
sekarang, yang berlomba-lomba menarik perhatian masyarakat dengan beribu macam
cara pencitraan, tanpa tau sebenarnya masyarakat sudah muak dengan apa yang
telah mereka lakukan tanpa rasa malu.
Natsir merupakan sosok yang konsisten. Hal ini
terbukti dari pemikirannya yang selalu berbuah dari keyakinanya. Mempertahankan
apa yang sudah Ia yakini sebagai sebuah kebenaran. Yang selalu mengamalkan Islam
yang menjadi landasan berpikirnya, dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam
kaitannya dengan kenegaraan. Ia selalu konsisten menentang ketidak adilan,
meskipun Ia tak lagi sebagai memegang jabatan dalam pemerintahan Indonesia,
seperti pada masa soeharto, Ia menandatangani petisi 50 untuk menolak kebijakan
rezim yang memimpinnya pada waktu itu. Meskipun akibatnya ia dicap sebagai
‘musuh utama’ oleh rezim pada waktu itu.
Ia juga selalu berhubungan baik dengan siapapun
termasuk lawan politiknya. Yang justru kebalikan dari banyak para politisi
sekarang yang saling ingin menjatuhkan satu sama lain. Hal tersebut yang
membuat kita tidak heran dengan banyaknya tokoh-tokoh indonesia saat ini yang
terpengaruh oleh pemikirannya. Seperti beberapa tokoh yang disebutkan di atas,
menandakan bahwa kejernihan pemikirannya tentang kenegaraan patut dicontoh sebagai
acuan hidup bernegara dalam perspektifnya yang selalu membawa islam sebagai
landasan berpikirnnya.[]
DAFTAR PUSTAKA
Afandi, Arif (penyunting), Islam Demokrasi Atas Bawah, Polemik Strategi Perjuangan Umat Model Gus Dur Dan Amin Rais, (yogyakarta: Pustaka pelajar1996)
Assyaukanie, Luthfi. Ideologi Islam dan Utopia, Tiga Model Negara Demokrasi Di Indonesia. (Jakarta : Freedom Institute 2011)
Effendi, Bachtiar. Islam dan Negara Transformasi Pemikiran Dan praktik Politik Islam Di Indonesia, (Jakarta: penerbit paramadina. 1998)
Mahfud MD, Kepahlawanan dan Mosi Integral M.Natsir, dari www.mahfudmd.com, diakses tanggal 07/12/2014.
Majalah Tempo, Edisi 21, 14 – 20 Juli 2008, Jakarta.
Natsir, Muhammad. capita selecta -2 (Jakarta: pustaka pendis 1957)
Ricksefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern, penerjemah Drs. Hardjowidjono, Gadjah Mada (Yogyakarta: University press 2011)
Sjadzali, Munawir,M.A. Islam Dan Tata Negara. Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran (Jakarta : UI-press: 2011)
[1] Bachtiar
Effendi, ISLAM DAN NEGARA, Transformasi
Pemikiran Danpraktik Politik Islam Di Indonesia, penerbit paramadina. Jakarta 1998. hal.93
[2] Ibid. hlm.94
[3]
Mc.ricklefs, sejarah Indonesia Modern, gadjah
mada university press, yogyakarta 2011. Hal. 285
[4] Bachtiar
Effendi, ISLAM DAN NEGARA, Transformasi
Pemikiran Danpraktik Politik Islam Di Indonesia, penerbit paramadina. Jakarta 1998. hal.80
[5] Loc.cit
[6] Natsir, Muhammad. capita
selecta -2. Versi digital. (Jakarta:
pustaka pendis 1957).
[7] Munawir Sjadzali,M.A. Islam Dan Tata
Negara. Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran. Jakarta : UI-press: 2011 hal.193
[8]Loc.cit
[9]Luthfi Assyaukanie,. Ideologi Islam dan Utopia, Tiga Model Negara Demokrasi Di Indonesia. (Jakarta
: Freedom Institute 2011. Hal. 18
[10] Munawir
syadzali. Ibid. Hal 190
[11]
Bachtiar Effendi, Islam Dan Negara
Transformasi Pemikiran Dan praktik Politik Islam Di Indonesia, penerbit paramadina. Jakarta 1998. hal. 72
[12] Ibid.
Hal.73
[13] Ibid.
Hal. 75
[14] Munawir Sjadzali,M.A.
Islam Dan Tata Negara. Ajaran, Sejarah
Dan Pemikiran. Jakarta : UI-press: 2011 hal.195
[15] Ibid.
Hal 196
[16] Penulis
menemukan istilah ini, ketika membaca tulisan Amien Rais ketika menulis tulisan
bertajuk M.natsir, Pemikir-Negarawan dalam
majalah tempo edisi juli 2008. Yang berarti demokrasi yang tidak sepenuhnya
berasaskan kepentingan rakyat, namun juga berasaskan nilai-nliai luhur
ketuhanan. Dalam tulisan itu Dia menuliskan juga pemikiran-pemikiran Natsir
yang bercorak islam dan menyebut keseluruhan pemikiran tentang kenegaraanya itu
dengan istilah Theodemokrasi.
[17] Dalam
kamus besar bahasa indonesia, Mosi berarti keputusan rapat, misalnya parlemen,
yang menyatakan pendapat atau keinginan para anggota rapat.
[18] Luthfi Assyaukanie,. Ideologi Islam dan Utopia, Tiga Model Negara Demokrasi Di Indonesia. (Jakarta
: Freedom Institute 2011. Hal. 112
[19] Arif
Afandi (penyunting), Islam Demokrasi Atas Bawah, Polemik Strategi
Perjuangan Umat Model Gus Dur Dan Amin Rais, (yogyakarta: Pustaka
pelajar1996). Hal. 127
Tidak ada komentar:
Posting Komentar