Jumat, 09 Oktober 2015

Pemikiran M.Natsir dan Pengaruhnya Terhadap Dinamika Perpolitikan di Indonesia


Abstrak : Percaturan politik indonesia di masa pasca kemerdekaan tak akan terlepas dari pengaruh tokoh islam. Dalam hal ini  M. Natsir sebagai salah satu tokoh Islam yang telah mewarnai dinamika kehidupan berpolitik di Indonesia dimasa masa pasca kemerdekaan. M. Natsir merupakan tokoh Islam yang hidup pada masa Indonesia memasuki masa kemerdekaan, yang kemudian setelah indonesia merdeka Ia terjun dalam percaturan politik pada masa-masa awal Indonesia. maka Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan secara singkat kehidupan M.natsir yang melatar belakangi pemikirannya yang bercorak nasionalis-islam. Juga memaparkan pemikirannya tentang kenegaraan menurut pandangannya dan melihat pengaruh dari pemikirannya dalam dinamika perpolitikan di Indonesia.
Tulisan ini menyatakan bahwa Sebagai salah satu tokoh dari partai Masyumi, pemikirannya tentang penggunaan sistem demokrasi dalam kehidupan bernegara di indonesia, dianggapnya  merupakan suatu yang tepat dan sesuai. karena menurutnya, sistem demokrasi merupakan sistem yang sama sekali tidak bertentangan dengan islam. bahkan menurutnya, demokrasi sangat sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran  islam.
Meskipun awalnya sempat menginginkan islam sebagai ideologi dasar negara, tatapi dikemudian kemudian pancasila yang ditetapkan sebagai ideologi dasar negara, M. Natsir juga tetap  menerimanya dengan alasan bahwa sila pertama ketuhanan yang maha Esa, sangatlah dekat dengan maksud dari arti ketuhanan atau tauhid dalam islam. Dan juga tidak ada satupun sila-sila  yang ada dalam pancasila bertentangan dengan ajaran maupun nilai-nilai islam, justru sila-sila tersebut sangat sesuai dengan apa yang diajarkan dalam islam. Dan dari pemikiran itu banyak sekali pengaruh yang dibawanya, seperti Mosi Integral Natsir yang berhasil menjaga keutuhan negara Indonesia dan banyak muncul negarawan yang yang terpengaruh pemikirannya.

Kata kunci: pemikiran M. Natsir, pengaruh, perpolitikan Indonesia.


Pendahuluan

Masa-masa pasca proklamasi 1945 adalah masa dimana indonesia mulai belajar membangun kehidupan bernegaranya. Masa ini, oleh para petinggi negaranya kebanyakan dihabiskan pada masalah pencarian identitas negara. Yang karenanya akan berpengaruh pada kehidupan bernegaranya dikemudian hari. Perdebatan panjang mengenai hal ini selalu terjadi ketika perumusan konstitusi. yang pada setiap kubu mengharapkan berasaskan ideologi masing-masing.

Adalah nasionalis, komunis dan islam. Kubu-kubu tersebut selalu beradu pendapat di majelis konstituante mengenai asas bernegara yang akan dipakai oleh indonesia pada waktu itu. Bersilang argumen antara nasionalis yang selalu menginginkan pancasila sebagai asas negara, dengan islam yang mangharapkan indonesia berlandaskan islam, maupun komunis yang ingin menerapkan asas-asasnya pada indonesia. Ketiganya selalu berusaha mamberikan pengaruh pada setiap pertemuan yang ada.  

Dalam buku-buku sejarah kebanyakan, sangat sedikit sekali yang menyinggung tentang pengaruh tokoh-tokoh islam pada indonesia pasca kemerdekaan. Rata-rata  menuliskan bahwa  islam yang dipunggawai oleh tokoh-tokoh partai masyumi kurang begitu berpengaruh dalam hal ini. berbeda dengan tokoh-tokoh nasionalis yang selalu menjadi aktor utama dalam perpolitikan indonesia  pada masa itu. Padahal  jika dilihat dari sejarah, masa awal-awal kemerdekaan adalah masa dimana islam menjadi kekuatan politik secara kuantitas. Hal demikian adanya karna mayoritas penduduk indonesia adalah beragama islam. Yang terdiri dari dua kekekuatan, yaitu dari aliran modernis yang ada dikalangan perkotaan dalam wadah Muhammadiyah, dan aliran tradisionalis yang berada dipedesaan terkumpul dalam NU.[1] Hal ini menjadi lebih karena pada waktu itu mayoritas umat muslim dulu masih memakai islam sebagai idoelogi berpolitik mereka, dan belum ada intervensi dari ideologi partai politik manapun.

Masyumi sebagai partai yang mewadahi umat islam  tak pelak menjadi kekuatan besar pada waktu itu. Seperti Pada 1950 ketika parlemen baru dibentuk kembali setelah sebelumnya lesu akibat agresi militer belanda, masyumi tampil sebagai partai terbesar yang menduduki 23% kursi di parlemen. Juga dari tujuh kabinet yang berjalan dibawah sistem demokrasi konstitusional (1950-1957), tiga kabinet dipercayakan kepemimpinannya kepada masyumi (kabinet Natsir pada 1950-1951; kabinet Sukiman 1951-1952; kabinet Burhanudin harahap 1955-1956).[2] hal ini membuktikan bahwa pengaruh islam cukup kuat pada masa setelah kemerdekaan.

Pemikiran tokoh-tokoh masyumi juga dapat dipastikan memberikan pengaruh pada masa ini. Satu dari tiga tokoh Masyumi yang pernah memimpin kabinet yang sudah disebutkan sebelumnya akan dibahas dalam tulisan ini. Yaitu M. Natsir, sebagai tokoh islam dan tokoh indonesia pertama yang menjadi pemimpin kabinet dimasa demokrasi konstitusional baru dimulai pada 1950. Yang dalam hal ini menguraikan pemikiraanya tentang kehidupan bernegara dan pengaruhnya.

Pemikiran-pemikiran M. Natsir memang sering dianggap tidak sesuai dengan kemajmukan masyarakat indonesia, karena pemikirannya yang konsisten bahwa islam harus menjadi asas bernegara. Namun hal ini menurut Bachtiar Effendi hanya sebatas kesalah pahaman. Karna menurutnya M. Natsir menganggap bahwa agama adalah realitas yang hidup. agama telah menjadi bagian dari sistem sosial, artinya bahwa agama harus berdampingan dengan kehidupan bernegara. Lebih lanjut Ia menuliskan bahwa “Natsir tidak hanya berbicara mengenai islam sebagai dasar negara atau persatuan antara agama dan negara. Ia juga berbicara mengenai  modernisme, demokrasi, hak asasi manusia, dan persamaan hak serta rasisme sebagai  monster bagi kemanusiaan dan peradaban. Kombinasi kesempatan yang dimilikinya untuk mengenyam pendidikan Barat dan mempelajari Islam telah memungkinkannya melahirkan pemahaman Islam modern. Melalui partai yang dipimpinnya, Masyumi, ia memperjuangkan itu semua.” Ungkapnya.

Terlebih Amien Rais ketika menulis tentang M. Natsir, Ia mensejajarkannya dengan pelopor kebangkitan islam yang` ada di timur tengah pada paruh kedua abad 20. Di Mesir ada Al-Ikhwanul muslimin oleh sayyid qutub, jema’at islamiyah yang dipimpin oleh Al-maududi, serta di Indonesia ada partai masyumi dengan pemimpinnya yang paling terkenal yaitu Mohamad Natsir. Ketiganya memiliki persamaan, yaitu sebagai pelopor kebangkitan melalui dengan pemikiran-pemikirannya. Namun bedanya, hanya Natsir yang pernah menduduki posisi tinggi dalam suatu sisitem pemerintahan. Lebih jauh Ia menambahkan, bahwa Natsir merupakan pembawa pemikiran theodemokrasi, yaitu demokrasi yang berasaskan nilai-nilai luhur ketuhanan. Demokrasi yang merealisasikan nlai-nilai etika yang telah diajarkan syariat islam.

Sejauh ini, Sudah banyak tulisan-tulisan tentang tentang  pemikiran M.Natsir. tapi kebanyakan hanya terfokus hubungan islam dan tata negara menurut pemikirannya. Tidak sampai membahas pengaruhnya terhadap perpolitikan diindonesia pada masa itu. Ada juga yang membahas tantang perpolitikan indonesia pasca revolusi, tapi sangat sedikit menyinggung tetang pengaruh natsir ketika Ia mimpin kabinet pada 1950. yang lain, yang sudah sangat banyak dibahas tentang pemikiran M. Natsir adalah tentang pandangannya terhadap pancasila. Dan itu juga sebatas menguraikan pemikirannya tentang bagaimana Ia menyikapi pancasila sebagai dasar negara indonesia dan alasan-alasan mengapa Ia bisa menerima pancasila. Tapi tidak juga samapai membahas pengaruhnya. Dalam tulisan ini menekankan pada pemikiran M. Natsir dan pengaruh yang timbul dari pemikirannya tersebut terhadap dinamika perpolitikan di Indonesia.

Kehidupan yang melatar belakangi pemikirannya

Natsir kecil adalah anak seorang juru tulis bernama Muhammad idris Sutan Saripado yang bekerja pada pemerintahan belanda di daerah Alahan panjang pada waktu itu. Ia lahir di daerah itu pada 15 Juli 1908. Memulai pendidikan dasarnya di sekolah rakyat belanda (HIS), Ia menjadi salah seorang murid yang cerdas disekolahnya. Selain bersekolah di siang harinya, Ia juga sekolah di madrasah untuk belajar Islam, dan di malam harinya Ia mengaji pada seorang kyai  dalam surau yang ada di kampungnya, tak jarang sampai Ia menginap di surau tersebut. Masa kecilnya tak jauh berbeda dengan anak kebanyakan, Namun pekerjaan bapaknya Menuntut Ia sering pindah-pindah sekolah karna bapaknya sering di pindah-pindah tempat dinasnya.

Setelah lulus dari HIS, Natsir malanjutkan kegiatan studinya dengan beasiswa di MULO –setingkat sekolah menengah– di Padang. Disinilah Natsir untuk pertama kali duduk berdampingan dengan murid belanda. Dan di MULO ini Ia belajar main biola, Ia juga aktif di organisasi kepemudaan islam, jong Islamiten Bond. Dan di Jong Islamiten bond inilah Natsir bertemu dengan Nur Nahar, Murid perempuan yang aktif dalam Jibda –organisasi wanita jong islamiten bond– yang kelak medampinginya hingga akhir hayatnya.

Pada tahun 1927 Natsir melanjutkan pendidikannya di AMS –setingkat sekolah menengah atas—di Bandung. Yang Sekolah elit dan mahal pada waktu itu. Meskipun pada awalnya Natsir selalu di ejek karna tidak fasih berbahasa belanda, namun di tahun-tahun berikutnya menjadi murid yang gemilang di sekolahnya itu. Sekolah di pendidikan belanda membuat natsir tau tentang dampak buruk penjajahan. Jiwa nasionalismenya mulai tumbuh dan menyala-nyala. Dan pada masa-masa itu Ia juga masuk dalam Jong Islamiten Bond cabang Bandung, yang pada 1928-1932 menjadi wakil ketua dalam organisasi tersebut.

Natsir pada waktu itu adalah seorang yang kutu buku. Ia melahap buku filsafat barat, buku sastra, sejarah, dan rajin mengikuti perkembangan Internasional dari berbagai Jurnal. Ia juga membaca bukunya snock hourgronje Netherland in de islam, buku tersebut merupakan strategi  belanda untuk menghadapi islam. Tapi sejak membaca buku inilah Natsir bertekad untuk melawan belanda melalui pendidikan. Namun kegiatannya berbelok ketika Ia duduk dikelas 5 AMS (2 SMA), pada waktu itu Ia berusia 20 tahun, Ia bertemu dengan Ahmad Hasan, pria keturunan India asal Singapura yang kemudian menjadi ahli agama dalam organisasi persatuan Indonesia (persis). Kepadanyalah natsir belajar agama, diskusi dan menulis.

Dari A. Hasan Natsir mulai mengenal pemikiran Islam modern.[3] dengan sering melakukan Diskusi yang sering mereka adakan tentang keagamaan membuat natsir teringat dengan pendidikan yang didapatkannya dulu di kampungnya. Ia selalu mengunjunginya untuk belajar agama kepadanya, sampai keaktifannya disekolah mulai menurun demi untuk belajar pada tokoh agama oganisasi Persis itu. Ia belajar kepada A. Hasan tentang qur’an terjemahan, tafsir dan ilmu-ilmu islam lainnya dan penolakanya terhadap ide-ide kaun Nasionalis sekuler. Sehingga Ia terpengaruh olehnya dan bahkan Natsir mendirikan sekolah islam modern pertama yang bertempat di bandung. Hal ini jelas membelokkan cita-cita awalnya sebagai ahli hukum. Terlebih lagi ketika lulus, karna mendapat nilai terbaik, natsir ditawari beasiswa ke Leiden, Belanda, namun Ia menolaknya, dan lebih memilih mengajar disekolah yang Ia dirikan dengan dana seadanya itu. Di tahun-tahun selanjutnya Ia rajin menuliskan buah pemikirannya di media masa sebagai bentuk pembelaannya terhadap Islam.

Penggagas Teodemokrasi

Berangkat dari latar belakang tersebut, maka timbullah pemikiran-pemikiran natsir yang kebanyakan ditulis di Media masa seperti majalah Pembela Islam, yang pada waktu itu sebagai pembelaan terhadap islam atas cercaan oleh kaum nasionalis. Salah satu pemikirannya adalah Ketika soekarno menggembor-gemborkan sekulerisasi, yaitu pemisahan antara Agama dengan Negara, meski awalnya pengagum ide-ide kaum nasionalis, pada waktu itu M.Natsir menjadi pembela utama paham penyatuan antara agama dengan negara. Karna menurutnya islam bukan hanya sistem suatu agama saja, dia itu suatu kebudayaan yang lengkap.[4] Baginya Islam bukan hanya terdiri dari praktik-praktik ibadah, tetapi juga prinsip-prinsip umum yang relevan untuk mengatur hubungan antar Individu dengan Masyarakat. Meskipun demikian, Ia menyadari bahwa alqur’an dan sunah Nabi tidak mempunyai ‘tangan dan kaki’ untuk membuat manusia berjalan dengan aturan-aturan Islam. Oleh kerna itu menurutnya Islam mamerlukan alat yang cocok untuk menjamin agar aturan-aturannya dijalankan. Dalam hai ini, Ia meliahat negara sebagai alat yang cocok untuk menjamin perintah-perintah dan hukum-hukum islam dijalankan.

Lebih lanjut Ia menegaskan bahwa islam dan Negara merupakan relogio politik yang menyatu. Baginya negara bukan merupakan tujuan, melainkan sebagai alat. Maka urusan kenegaraan pada dasarnya adalah suatu bagian yang tak dapat dipisahkan dengan Islam.[5] Ia  percaya bahwa negara dengan berasaskan islam, umat dari agama-agama lain mendapat kemerdekaan beragama dengan luas. “mereka tidak akan keberatan kalau di negara itu berlaku hukum islam mengenai soal-soal kemasyarakatan. Karena hukum tersebut tidak bertentangan dengan agama mereka, mengingat dalam agama mereka memeng tidak ada hal-hal yang bersangkutan dengan hal-hal semacam itu.”[6] Hal ini mengindikasikan bahwa natsir tidak membatasi sistem apa yang harus dianut oleh Indonesia, namun tetap harus memakai asas  Islam.

Pandangannya Mengenai bentuk atau sistem pemerintahan, Natsir mengutarakan bahwa umat Islam bebas memilih  mana yang paling sesuai asalkan tidak bertentangan dengan hukum-hukum yang telah ditetapkan Oleh Islam.[7] Umat islam berhak mencontoh pola dan sistem yang dianut oleh negara-negara lain seperti Inggris, jepang, atau Uni soviet. Ia menyadari bahwa Islam memang bersifat demokratis. Tapi tidak sama sekali bahwa semua hal, termasuk hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh islam, masih perlu dikukuhkan atau ditetapkan oleh dewan perwakilan rakyat melalui pemungutan suara. Dengan kata lain permusyawaratan itu sebatas pada hal-hal yang belum ditentukan hukumnya, dan mencari cara-cara terbaik untuk melaksanakan hukum-hukum yang telah ditetapkan.[8] Mengenai hal Ini Natsir mengungkapkan seperti yang dikutip oleh Luthfi Assyaukanie bahwa “negara yang berdasarkan islam bukanlah negara Teokrasi. Ia adalah negara demokrasi. Ia juga bukan negara sekuler Ia adalah negara demokrasi islam.”[9]

Sejalan dengan pemikirannya, Masyumi sebagai suatu partai yang di pimpinnya mengeluarkan manifesto pada desember 1945 yang bertujuan untuk melaksanakan cita-cita islam dalam kenegaraaan, hingga dapat mewujudkan suatu negara yang berdasarkan kedaulatan rakyat dan masyarakat yang berdasarkan keadilan manurut ajaran Islam.[10] Manifesto tersebut terdiri dari dua poin penting. pertama,republik Indinesia merupakan negara Demokrasi. Politik islam memamang menuntut terlaksananya Demokrasi yang sebenarnya, yang bersendikan keadilan kemerdekaan serta bebas dari kekuatan dan ancaman. Oleh karenanya maka wajar, bahkan wajib Indonesia bersahabat dengan negara-negara yang sepaham dan seasas dalam politik negara-negara Demokrasi. Kedua, didalam negri mengusahakan menambah tersiarnya Ideologi Islam dikalangan masyarakat Indonesia dengan tidak menghalangi pihak yang sejalan memperkokoh pihak sendi ketuhanan yang maha Esa.

Di lain hal, pandangan Natsir tentang indonesia adalah ketika soekarno menggadang-gadangkan nasionalime. Iya berpendapat bahwa nasionalisme harus berlandaskan suatu ideologi.[11] Artinya harus mempunyai tujuan yang suci ilahiah dan harus melampaui hal-hal yang materil. Dan Ia berkeyakinan Bahwa nasionalisme Indonesia harus bercorak islam. Maka dari itu Ia mengenalkan konsep kebangsaan Islam. Hal ini karna Ia melihat kenyataan historis bahwa Islamlah yang menyadarkan Nasionalisme bangsa Indonesia melalui Sarekat Islam. Dan Ia menegaskan bahwa jika saja tidak ada gerakan-gerakan dibawah naungan islam, maka Nasionalisme di Indonesia tidak akan pernah ada. karna Islam yang menanamkan benih-benih Nasionalisme dan menghapuskan pembedaan perlakuan  pulau-pulau yang beragam.  Dan menurutnya, dalam Islam tidak perlu menanamkan kecintaan pada masyarakatnya.[12] Karena dalam diri manusia itu sendiri sudah ada watak untuk mencintai masyarakatnya. Dengan hal ini maka kemerdekaan bukanlah tujuan akhir gerakan islam. tetapi, kemerdekaan juga bertujuan untuk mencapai Ridha Allah semata.[13]

Dalam majalah Hikmah terbitan 9 Mei 1954, seperti yang dikutip oleh Munawir Sadzali, mengenai pandangan Natsir terhadap pancasila, Nasir menuliskan bahwa “mana mungkin Al-qur’an yang memancarkan tauhid dapat apriori bertentangan dengan sila ketuhanan yang maha Esa? Mana mungkin Al-qur’an dengan ajarannya yang penuh dengan kewajiban menagakkan adalah ijtima’iyah dapat apriori bertentangan dengan keadilan sosial? Mana mungkin Al-Qur’an yang justru memberantas feodalisme dan pemerintahan Istibdad (diktator) sewenang-wenang, serta meletakkan dasar musyawarah dalam susunan pemerintah, dapat bertentangan dengan apa yang dinamakan kedaulatan rakyat? Mana mungkin Al-Qur’an yang menegakkan Islah binannas (damai bersama manusia) dapat apriori bertentangan dengan dengan apa yang disebut degan perikemanusiaan? Mana mungkin Al-Qur’an yang mengakui adanya bangsa-bangsa dan meletakkan dasar yang sehat bagi kebangsaan dapat apriori bertentangan dengan kebangsaan?”.[14] Pertanyaan-pertanyaan  natsir tersebut membuat penulis berkesimpulan bahwa Natsir sangat setuju dengan pancasila, yang setiap silanya Ia tafsirkan selalu sejalan dengan apa yang diajarkan oleh Al-Qur’an.

Namun dalam sidang konstituante di Bandung pada tahun 1957 Natsir menolak pancasila sebagai dasar Negara, dan penolakan itu juga merupakan penolakan resmi partai Masyumi. Hal itu dianggap karna Natsir melihat pancasila sebagaimana yang ditafsirkan oleh anggota-anggota konstituante yang berpaham sekuler, khususnya soekarno yang memberikan kesan bahwa sila ketuhanan yang maha Esa adalah ciptaan Manusia. Natsir juga menentang pendapat soekarno bahwa pancasila adalah alat pemersatu bangsa. Tetapi penolakan Natsir terhadap pancasila ini menurut sebagian pengamat bukan merupakan perubahan pendiriannya yang tadinya menerima pancasila dan ketika sidang itu menolak pancasila sebagai dasar negara. Karena pendangan natsir tentang pancasila selalu dikaitkan dengan Al-qur’an.  Lebih lanjut Munawir menambahkan bahwa telah terjadi perkembangan dan pergeseran dalam skap natsir terhadap pancasila pada waktu itu.[15]  

Dari paparan singkat tersebut, dapat dilihat bahwa semua pemikiran Natsir tentang kenegaraan selalu dihubungkan islam, namun juga Ia tidak sepenuhnya menginginkan sistem yang telah diterapkan oleh umat islam terdahulu. Maka dari itu Indonesia dalam pandangannya haruslah memakai islam sebagai asas bernegara, namun yang dimaksudnya bukanlah Khilafah seperti yang telah di terapkan oleh umat islam, Tetapi juga bukan sistem demokrasi liberal seperti yang ada di barat. Maka istilah yang tepat untuk sistem ini adalah theodemokrasi[16] atau demokrasi yang berasaskan nilai-nilai ketuhanan.

Pengaruh yang dibawanya

seperti yang telah disampaikan sebelumnya, bahwa dalam buku-buku sejarah kebanyakan, tokoh islam kurang memiliki pengaruh dalam perpolitikan Indonesia pasca kemerdekaan. M.Natsir dalam hal ini mempunyai pemikiran untuk mengembalikan indonesia menjadi negara kesatuan pada 1950. Ia mengluarkan mosi[17] yang lebih dikenal dengan Mosi Integral M.Natsir. Ia mempidatokannya di parlemen pada 3 April 1950 sebagai bukti peran besarnya mengembalikan Indonesia menjadi negara kesatuan. Dalam mosi Integral tersebut sebenarnya sama sekali tidak memuat ajakan untuk kembali ke negara kesatuan bahkan berkali-kali dalam pidatonya Ia mengatakan bahwa mosinya tidak berhubungan dengan kontroversi tentang negara kesatuan dan negara federal. Sebenarnya yang diperjuangkan dalam mosinya itu adalah persatuan bangsa, bukan Negara kesatuan.  

Karena melihat kondisi pada saat itu pihak pemerintah yang menyerahkan semuanya kepada rakyat mengenai hal tersebut dengan alasan bahwa Indonesia adalah negara demokrasi. Natsir menyayangkan hal ini. Karna menurutnya jika pemerintah menyerahkan semuanya kepada  rakyat berarti sama halnya dengan membiarkan terjadinya konflik diantara masyarakat sendiri. Dan kata nastsir sikap seperti itu menunjukkan bahwa pemerintah hanya ingin mencari selamat dan tidak bertangung jawab. Dan Dari itu, Natsir melalui mosinya mengusulkan agar ada penyelesaian menyeluruh sebelum negara hancur. karena dengan sikap pemerintah seperti itu akan mengakibatkan banyak terjadi pergolakan di daerah karna sistem negara federal yang pasti akan semakin memberikan peluang besar kepada daerah yang tidak sepaham dengan pemerintah untuk memisahkan diri dari Indonesia.

Dengan mosinya itu, natsir sangat berpengaruh terutama bagi keutuhan negara Indonesia. karna dengan dijadikannya Indonesia sebagai negara federal menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS) oleh Van mook di Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949, berarti sama saja ingin memecah belah Indonesia. karna  melihat kondisi Indonesia pada awal-awal kemerdekan masih belum stabil, Dan juga sikap pemerintah  pada saat itu bersikap semuanya menyerahkan terhadap rakyat, maka bukan suatu hal yang mustahil jika terjadi pergolakan-pergolakan diderah yang mengakibatkan perpecahan dan banyak daerah yang ingin memisahkan diri.

Natsir selalu ingin pemikiran-pemkirannya tentang islam dapat diketahui oleh banyak orang, memberikan pemahaman tentang islam melalui tulisan-tulisan yang Ia tulis di banyak media masa pada waktu itu. Dan juga Gagasa-gagasannya tentang tata nagara Indonesia selalu Ia tanamkan pada lembaga yang dibawahinya. Seperti Pada Mei 1967, natsir mendirikan dewan dakwah islamiyah Indonesia (DDII). melalui lembaga inilah Natsir berpengaruh melakukan karakterisasi Ideologi partai masyumi yang juga Ia ketuai.  dan dalam lembaga ini pula Ia mempromosikan gagasan yang mulanya dikembangkan dalam masyumi. Dan juga menanamkan cita-cita masyumi agar terus terpelihara.[18] Sehingga masyumi selalu konsisten dengan apa sudah menjadi tujuan dan yang selalu diperjuangkannya.

Hingga kini pemikiran Natsir masih mewarnai dinamika pandangan berpolitik di Indonesia. yaitu Yusril Ihza Mahendra yang juga sebagai tokoh pengusung partai islam dan juga sebagai bagian dari DII yang pandangan dalam berpolitiknya terpengaruh oleh Natsir dan partai masyumi. Hal ini dibuktikan dengan pandangannya terhadap kenegaraan yang selalu sejalan dengan asas-asas islam. Menurutnya, syari’at harus dimasukkan dalam unsur-unsur kenegaraan, Seperti dalam penyusunan undang-undang harus dimasukkan syari’at sebagai salah satu sumber hukum, meski Ia tidak membatasi nama hukum itu disebut hukum syari’at atau tidak. Ia sangat mengagumi natsir dengan Masyuminya. Sejalan dengan itu lutfi assyaukanie mengugkapkan  bahwa mahendra dengan tulisan-tulisannya sangat kelihatan terpengaruh oleh Natsir. Seperti Ia menyebut “kalau kita pelajari dari tulisan-tulisannya terutama dari desertasi Ph.D nya. Tampak jelas dia mengagumi Masyumi.” itu jelas mengindikasikan bahwa Mahendra sangat terpengaruh oleh pemikiran Natsir tentang pandangannya mengenai ke tata negaraan di Indonesia.  

Sementara itu Amin Rais secara tegas menyatakan dirinya terpengaruh oleh M. Natsir dan tokoh-tokoh pemikir islam yang lain mengenai pandangannya tentang kenegaraaan. Ia mengungkapkan bahwa “wawasan politik dan latar belakang pengetahuan yang saya miliki, saya tahu persis apa arti sebuah negara kebangsaan, apa arti kemanjemukan dalam dalam sebuah negara demokrasi seperti negara kita pancasila, apa arti toleransi beragama, apa arti keadilan sosial, dan lain-lain. Isya Allah saya mengetahui sampai ke hakekat-hakekatnya, akar-akarnya, filsafatnya, sampai kepada realitas yang harus kita capai. Terus terang, dalam hal ini saya agak dipengaruhi tradisi tokoh-tokoh masyumi yang saya kegumi seperti Mohamad Natsir,...”[19] Ungkapnya.

Sebenarnya masih banyak tokoh-tokoh politik indonesia seharusnya dibahas dalam tulisan ini. Tapi Jika dilihat dari dua tokoh diatas saja, sudah jelas bahwa banyak pengaruh yang berangkat dari pemikiran M.Natsir. Meskipun Tak bisa dipungkiri bahwa dinamika perpolitikan di Indonesia diwarnai oleh banyak sekali pemikiran para tokoh dari berbagai latar belakang. Namun, Natsir dalam hal ini telah membuktikan bahwa Islam menuruh posisi penting dalam dinamika perpolitikan di Indonesia hingga saat ini.

Belajar dari Natsir

berangkat beberpa hal yang dibahas di atas, kita patut belajar dari tokoh nasional yang satu ini, diamana dari latar belakanya Ia adalah sosok yang sederhana, jujur, dan konsisten. Kesederhanaanya patut dijadikan teladan, seperti dalam penampilan, yang mungkin mustahil dilakukan pegawai pemerintahan sekarang, karna Ia adalah politisi yang memakai jas yang bertambal. Hal ini justru kebalikan dari apa yang kita lihat dari para politisi sekarang, yang berlomba-lomba menarik perhatian masyarakat dengan beribu macam cara pencitraan, tanpa tau sebenarnya masyarakat sudah muak dengan apa yang telah mereka lakukan tanpa rasa malu.

Natsir merupakan sosok yang konsisten. Hal ini terbukti dari pemikirannya yang selalu berbuah dari keyakinanya. Mempertahankan apa yang sudah Ia yakini sebagai sebuah kebenaran. Yang selalu mengamalkan Islam yang menjadi landasan berpikirnya, dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kaitannya dengan kenegaraan. Ia selalu konsisten menentang ketidak adilan, meskipun Ia tak lagi sebagai memegang jabatan dalam pemerintahan Indonesia, seperti pada masa soeharto, Ia menandatangani petisi 50 untuk menolak kebijakan rezim yang memimpinnya pada waktu itu. Meskipun akibatnya ia dicap sebagai ‘musuh utama’ oleh rezim pada waktu itu.

Ia juga selalu berhubungan baik dengan siapapun termasuk lawan politiknya. Yang justru kebalikan dari banyak para politisi sekarang yang saling ingin menjatuhkan satu sama lain. Hal tersebut yang membuat kita tidak heran dengan banyaknya tokoh-tokoh indonesia saat ini yang terpengaruh oleh pemikirannya. Seperti beberapa tokoh yang disebutkan di atas, menandakan bahwa kejernihan pemikirannya tentang kenegaraan patut dicontoh sebagai acuan hidup bernegara dalam perspektifnya yang selalu membawa islam sebagai landasan berpikirnnya.[]


DAFTAR PUSTAKA

Afandi, Arif  (penyunting), Islam Demokrasi Atas Bawah, Polemik Strategi Perjuangan Umat Model Gus Dur Dan Amin Rais, (yogyakarta: Pustaka pelajar1996)  

Assyaukanie, Luthfi. Ideologi Islam dan Utopia, Tiga Model Negara Demokrasi Di Indonesia. (Jakarta : Freedom Institute 2011)

Effendi, Bachtiar. Islam dan Negara Transformasi Pemikiran Dan praktik Politik Islam Di Indonesia, (Jakarta: penerbit paramadina. 1998)

Mahfud MD, Kepahlawanan dan Mosi Integral M.Natsir, dari www.mahfudmd.com, diakses tanggal 07/12/2014.

Majalah Tempo, Edisi 21, 14 – 20 Juli 2008, Jakarta.

Natsir, Muhammad. capita selecta -2 (Jakarta: pustaka pendis 1957)

Ricksefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern, penerjemah Drs. Hardjowidjono, Gadjah Mada (Yogyakarta: University press 2011)

Sjadzali, Munawir,M.A. Islam Dan Tata Negara. Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran (Jakarta : UI-press: 2011)





[1] Bachtiar Effendi, ISLAM DAN NEGARA, Transformasi Pemikiran Danpraktik Politik Islam Di Indonesia, penerbit paramadina. Jakarta 1998. hal.93
[2] Ibid. hlm.94
[3] Mc.ricklefs, sejarah Indonesia Modern, gadjah mada university press, yogyakarta 2011. Hal. 285
[4] Bachtiar Effendi, ISLAM DAN NEGARA, Transformasi Pemikiran Danpraktik Politik Islam Di Indonesia, penerbit paramadina. Jakarta 1998. hal.80
[5] Loc.cit
[6] Natsir, Muhammad. capita selecta -2. Versi digital. (Jakarta: pustaka pendis 1957).
[7] Munawir Sjadzali,M.A. Islam Dan Tata Negara. Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran. Jakarta : UI-press: 2011 hal.193
[8]Loc.cit
[9]Luthfi  Assyaukanie,. Ideologi Islam dan Utopia, Tiga Model Negara Demokrasi Di Indonesia. (Jakarta : Freedom Institute 2011. Hal. 18
[10] Munawir syadzali. Ibid. Hal 190
[11] Bachtiar Effendi, Islam Dan Negara Transformasi Pemikiran Dan praktik Politik Islam Di Indonesia, penerbit paramadina. Jakarta 1998. hal. 72
[12] Ibid. Hal.73
[13] Ibid. Hal. 75
[14] Munawir Sjadzali,M.A. Islam Dan Tata Negara. Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran. Jakarta : UI-press: 2011 hal.195
[15] Ibid. Hal 196
[16] Penulis menemukan istilah ini, ketika membaca tulisan Amien Rais ketika menulis tulisan bertajuk M.natsir, Pemikir-Negarawan dalam majalah tempo edisi juli 2008. Yang berarti demokrasi yang tidak sepenuhnya berasaskan kepentingan rakyat, namun juga berasaskan nilai-nliai luhur ketuhanan. Dalam tulisan itu Dia menuliskan juga pemikiran-pemikiran Natsir yang bercorak islam dan menyebut keseluruhan pemikiran tentang kenegaraanya itu dengan istilah Theodemokrasi.
[17] Dalam kamus besar bahasa indonesia, Mosi berarti keputusan rapat, misalnya parlemen, yang menyatakan pendapat atau keinginan para anggota rapat.
[18] Luthfi  Assyaukanie,. Ideologi Islam dan Utopia, Tiga Model Negara Demokrasi Di Indonesia. (Jakarta : Freedom Institute 2011. Hal. 112
[19] Arif Afandi  (penyunting), Islam Demokrasi Atas Bawah, Polemik Strategi Perjuangan Umat Model Gus Dur Dan Amin Rais, (yogyakarta: Pustaka pelajar1996). Hal. 127 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar