a. Nusantara Menjelang datang pengaruh India
Nenek moyang bangsa Indonesia
menyebar ke pulau-pulau yang jauh di seluruh kepulauan nusantara, maka yang
seperti itu haruslah seorang pelaut yang memiliki pengetahuan tentang laut,
angin, musim, dan ilmu falaq (perbintangan). Maka dari itu, penelitian Hornel
berkesimpulan bahwa perahu bercadik merupakan jenis perahu yang dimiliki khusus
bangsa Indonesia. Adanya perahu bercadik di luar kepulauan Indonesia pun
merupakan pengaruh dari bangsa Indonesia.
Disamping sebagai pelaut,
sebagian yang lain bangsa Indonesia menggantungkan hidupnya dari pertanian. Ini
dilihat dari peninggalan berupa kapak persegi yang disinyalir digunakan untuk
menggarap sawah untuk ditanami padi. Dan pada masa itu bangsa Indonesia sudah
menetap, ini dibuktikan dengan ditemukannya tembikar, dan priuk.
Disamping pelayaran dan
pertanian, bangsa Indonesia sudah pula mengenal perdagangan. Ini dibuktikan
denganditemukannya kapak-kapak persegi yang belum dihaluskan, dan disekitarnya
ada pecahan-pecahan batu serupa. Maka tempat tersebut disebut tempat Industri.
Dan jika dilihat dari kenyataan bahwa bahan batu untuk membuat kapak tersebut
tidak terdapat disektar pertemuan kapak tersebut, maka bisa disimpulkan bahwa
batu-batu itu didatangkan melalui cara perniagaan. Dan juga bisa dimungkinkan
bahwa adanya mata uang untuk transaksi berupa kerang dan pecahan-pecahannya.
Yang banyak ditemukan. Yang tidak mungkin sebagai bahan perhiasan.
Bangsa Indonesia pada waktu itu
sudah mengenal pekaian tenunan. Dan juga pakaian dari kulit kayu. Dan dari hal
kesenian sudah banyak ditemukan perhiasan-perhiasan dari batu, logam dan
manik-manik kaca, lukisan berwarna di dinding-dinding gua, memahat patung, dan
juga patung-patung dari logam.[1]
Mengenai kepercayaan, bangsa
Indonesia sudah mengenal pemujaan terhadap roh nenek moyang, ini dibuktikan
dengan temuan menhir, dolmen dan sebagainya.[2]
Dari bukti-bukti tersebut, bisa disimpulkan bahwa sebelum datang zaman sejarah
Indonesia, bangsa Indonesia sudah mulai maju dari sistim masyarakat ataupun
kepercayan. Dan hal-hal tersebut merupaka bekal untuk menghadapi masuknya
pengaruh Hindu/Budha ke Indonesia.
b. Beberapa pendapat tentang masuknya pengaruh Hindu ke Nusantara
Proses masuknya Budaya Hindu
India biasa disebut dengan penghinduan oleh para penelitinya. Dan menurut
mereka hubungan perdagangan antara orang Indonesia dengan India telah
mengakibatkan masuknya budaya India kedalam Budaya Indonesia. Namun dalam hal
ini, bagaimana sebenarnya proses Masuknya agama hindu belum diungkap sepenuhnya
oleh peneliti- peneliti yang telah dilakukan sejak abad lalu.
Pada intinya, terdapat dua
Pendapat dari para peneliti, pertama beranggapan bahwa bangsa Indonesia berlaku
pasif dalam proses tersebut. Dan yang kedua beranggapan bahwa bangsa Indonesia
berperan aktif dala proses tersebut.
Para pendukung pendapat pertama beranggapan
bahwa telah terjadi kolonialisasi oleh orang-orang India. Bahkan ada juga yang
berpendapat bahwa kolonialisasi tersebut disertai pula oleh penaklukan.
Sehingga timbul gambaran orang-orang India adalah golongan yang menguasai
Indonesia. Oleh karena itu F.D.K. Bosch menamai ini dengan Hipotesis Kesatria.[3]
Pendapat lain yang juga berpegang
pada adanya kolonialisasi oleh pihak lain yaitu kolonialisasi oleh para
pedagang. Pendapat ini dikemukakan oleh N.J Krom, Ia mengungkapkan bahwa para
pedagang India lebih mendominasi daripada para kaum kesatria. Para pedagang
tersebut datang dengan jumlah yang banyak untuk kemudian menetap dan memegang
peranan dalam penyebaran budaya India, melalui hubungan mereka dengan para
penguasa-penguasa Indonesia. Krom juga mengisayaratkan adanya hubungan
perkawinan sebagai saluran penyebaran budaya India ke Indonesia. Dan oleh
karena pedagang temasuk kasta waisya dalam budaya India, maka Pendapat ini
disebut dengan Hipotesis Waisya.[4]
J.C. Van leur kebaratan dengan
kedua pendapat diatas mengenai kolonialisasi orang-orang India terhadap bangsa
Indonesia. Karna suatu kolonialisasi yang melibatkan penaklukan oleh golongan
kesatria tentunya akan dicatat sebagai suatu kemenangan. Catatan-catatan
demikian tidak ditemukan pada sumber-sumber tertulis yang ada di India. Dan di
Indonesia pun tidak ada bentuk peringatan berupa prasasti. Selain itu, suatu
kolonialisasi selalu disertai oleh pemindahan segala unsur masyarakat dari
tanah asal. Misalnya, sistem kasta, kerajinan, bentuk rumah, tata kota, bahasa
dan pergaulan. Dalam kenyataannya, apa yang terdapat di Idonesia berbeda dengan
yang terdapat di India.[5]
Mengingat sifat dan unsur-unsur
budaya yang ada di Indonesia, Van Leur cenderung untuk memberikan peran
penyebaran budaya india pada golongan Brahmana. Mereka datang atas undangan
dari penguasa Indonesia. Budaya yang mereka bawa adalah golongan Brahmana. Dan
dorongan terjadinya penyebaran tersebut adalah dari kontak perdagangan.
Menurutnya, tidak hanya orang India yang datang ke Indonesia, tetapi juga orang
Indonesia yang datang ke India. Terdorong untuk mendekatkan dirinya dan
terdorong untuk meningkatkan keadaan negrinya maka dari itu mereka mengundang
golongan Brahmana.
Pada dasarnya, kesaktian kaum
Brahmana yang menyebabkan raja-raja nusantara menaruh hormat pada mereka.
Mereka mendapatkan hormat di keraton dan juga menjadi pensehat kerajaan bukan
hanya dalam bidang keagamaan, melainkan juga megenai pemerintahan, peradilan,
perundang-undangan dan sebagainya.
c. Hasil kebudayaan Hindu di Nusantara
Seperti diketahui, masuknya
pengaruh Hindu di Nusantara bisa dilihat dari peninggalan-peninggalannya. Yaitu
berupa bangunan, alat-alat ritual, peralatan rumah tangga, yang kesemuanya
bercorak Hindu mirip seperti apa yang
ada di India. Beberapa produk kebudayaan hasil kebudayaan Hindu sebagai
berikut:
1.
Candi
Candi merupakan bangunan yang
dalam agama Hindu dipakai untuk ritual memuliakan orang yang wafat khususs
untuk para raja dan orang terkemuka. Setiap daerah, candi memiliki berbagai
macam ciri khas.[6]
2.
Petung
Dewa
Seperti yang sudah dketahui dari
candi, untuk raja yang telah bersatu kembali dengan dewa penitisnya, dibuatkan
sebuah patung, patung ini menjasi arca induk dalam candi. Biasanya sebuah candi
memuat berbagai buah patung dewa-dewa lainnya. Dengan demikian, seni pahat
patung berhubungan dengan dewa-dewa lainnya.[7]
3.
Seni
ukir
Hasil-hasil seni pahat ukir
initerutama sekali berupa hiasan-hiasan pengisibidang pada dinding candi. Yang
menjadi pola hiasan ialah mahluk ajaib dan tumbuh-tumbuhan. Diantara
mahluk-mahluk ajaib itu yang selalu terpancang pada ambang atas pintu atau
relung adalah kepala kala, yang juga disebut Banaspati (raja Hutan).[8]
4.
Barang-barang
logam
Banyak sekali arca-arca yang
terbuat dari logam, sebagian besar terbuat dari perunggu, ada juga yang terbuat
dari emas, dari perak, dan ada juga perunggu berlapis emas. Pada umumnya
arca-arca logam ini yang berukuran kecil. Maka tentunya arca-arca ini dipakai
untuk pemujaan-pemujaan dirumah.[9]
5.
Kesusastraan
Dari peninggalan-peninggalan yang
lain, peninggalan berupa kesusastraan merupakan yang paling banyak. Dari zaman
purba, telah sampai kepada kita sejumlah besar hasil kesusastraan (lebih dari
1000 Nasakah). Yang dapat memberi gambaran betapa tingginya seni sastra kala
itu. Meskipun begitu, benda seperti prasasti-prasasti yang terbuat dari batu
maupul logam, meskipun dintaranya ada yang digubah dalam bahasa yang sangat
indah dan dalam bentuk syair yang betul-betul berupa susastra.[10]
Sumber :
Marwati djoened poesponegoro dan
nugroho notosusanto, Sejarah Nasional
Indonesia II : zaman kuno Edisi pemutakhiran (Jakarta : Balai pustaka
2008).
Soekmono, R., Pengantar sejarah kebudayaan Indonesia 1, (Yogyakarta,
penerbit Kanisius: 1981).
Pengantar
sejarah kebudayaan Indonesia 2, (Yogyakarta, penerbit Kanisius: 1990).
[1] R.Soekmono,
Pengantar sejarah kebudayaan Indonesia 1,
(Yogyakarta, penerbit Kanisius: 1981). H.81
[2] Ibid. H.82
[3] Marwati
djoened poesponegoro dan nugroho notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia II : zaman kuno Edisi pemutakhiran
(Jakarta : Balai pustaka 2008). H. 27-28
[4] Ibid. H. 29
[5] Ibid. H. 31
[6] R.
Soekmono, Pengantar sejarah kebudayaan
Indonesia 2, (Yogyakarta, penerbit Kanisius: 1990). H. 81-92
[7] Ibid. H. 92-99
[8] Ibid. H. 100
[9] Ibid. H. 102
[10] Ibid. H. 104
Tidak ada komentar:
Posting Komentar