Rabu, 07 Oktober 2015

Masuknya pengaruh Hindu ke Nusantara

a.      Nusantara Menjelang datang pengaruh India

Nenek moyang bangsa Indonesia menyebar ke pulau-pulau yang jauh di seluruh kepulauan nusantara, maka yang seperti itu haruslah seorang pelaut yang memiliki pengetahuan tentang laut, angin, musim, dan ilmu falaq (perbintangan). Maka dari itu, penelitian Hornel berkesimpulan bahwa perahu bercadik merupakan jenis perahu yang dimiliki khusus bangsa Indonesia. Adanya perahu bercadik di luar kepulauan Indonesia pun merupakan pengaruh dari bangsa Indonesia.

Disamping sebagai pelaut, sebagian yang lain bangsa Indonesia menggantungkan hidupnya dari pertanian. Ini dilihat dari peninggalan berupa kapak persegi yang disinyalir digunakan untuk menggarap sawah untuk ditanami padi. Dan pada masa itu bangsa Indonesia sudah menetap, ini dibuktikan dengan ditemukannya tembikar, dan priuk.

Disamping pelayaran dan pertanian, bangsa Indonesia sudah pula mengenal perdagangan. Ini dibuktikan denganditemukannya kapak-kapak persegi yang belum dihaluskan, dan disekitarnya ada pecahan-pecahan batu serupa. Maka tempat tersebut disebut tempat Industri. Dan jika dilihat dari kenyataan bahwa bahan batu untuk membuat kapak tersebut tidak terdapat disektar pertemuan kapak tersebut, maka bisa disimpulkan bahwa batu-batu itu didatangkan melalui cara perniagaan. Dan juga bisa dimungkinkan bahwa adanya mata uang untuk transaksi berupa kerang dan pecahan-pecahannya. Yang banyak ditemukan. Yang tidak mungkin sebagai bahan perhiasan.

Bangsa Indonesia pada waktu itu sudah mengenal pekaian tenunan. Dan juga pakaian dari kulit kayu. Dan dari hal kesenian sudah banyak ditemukan perhiasan-perhiasan dari batu, logam dan manik-manik kaca, lukisan berwarna di dinding-dinding gua, memahat patung, dan juga patung-patung dari logam.[1]

Mengenai kepercayaan, bangsa Indonesia sudah mengenal pemujaan terhadap roh nenek moyang, ini dibuktikan dengan temuan menhir, dolmen dan sebagainya.[2] Dari bukti-bukti tersebut, bisa disimpulkan bahwa sebelum datang zaman sejarah Indonesia, bangsa Indonesia sudah mulai maju dari sistim masyarakat ataupun kepercayan. Dan hal-hal tersebut merupaka bekal untuk menghadapi masuknya pengaruh Hindu/Budha ke Indonesia.

b.      Beberapa pendapat tentang masuknya pengaruh Hindu ke Nusantara

Proses masuknya Budaya Hindu India biasa disebut dengan penghinduan oleh para penelitinya. Dan menurut mereka hubungan perdagangan antara orang Indonesia dengan India telah mengakibatkan masuknya budaya India kedalam Budaya Indonesia. Namun dalam hal ini, bagaimana sebenarnya proses Masuknya agama hindu belum diungkap sepenuhnya oleh peneliti- peneliti yang telah dilakukan sejak abad lalu.

Pada intinya, terdapat dua Pendapat dari para peneliti, pertama beranggapan bahwa bangsa Indonesia berlaku pasif dalam proses tersebut. Dan yang kedua beranggapan bahwa bangsa Indonesia berperan aktif dala proses tersebut. 

Para pendukung pendapat pertama beranggapan bahwa telah terjadi kolonialisasi oleh orang-orang India. Bahkan ada juga yang berpendapat bahwa kolonialisasi tersebut disertai pula oleh penaklukan. Sehingga timbul gambaran orang-orang India adalah golongan yang menguasai Indonesia. Oleh karena itu F.D.K. Bosch menamai ini dengan Hipotesis Kesatria.[3]

Pendapat lain yang juga berpegang pada adanya kolonialisasi oleh pihak lain yaitu kolonialisasi oleh para pedagang. Pendapat ini dikemukakan oleh N.J Krom, Ia mengungkapkan bahwa para pedagang India lebih mendominasi daripada para kaum kesatria. Para pedagang tersebut datang dengan jumlah yang banyak untuk kemudian menetap dan memegang peranan dalam penyebaran budaya India, melalui hubungan mereka dengan para penguasa-penguasa Indonesia. Krom juga mengisayaratkan adanya hubungan perkawinan sebagai saluran penyebaran budaya India ke Indonesia. Dan oleh karena pedagang temasuk kasta waisya dalam budaya India, maka Pendapat ini disebut dengan Hipotesis Waisya.[4]

J.C. Van leur kebaratan dengan kedua pendapat diatas mengenai kolonialisasi orang-orang India terhadap bangsa Indonesia. Karna suatu kolonialisasi yang melibatkan penaklukan oleh golongan kesatria tentunya akan dicatat sebagai suatu kemenangan. Catatan-catatan demikian tidak ditemukan pada sumber-sumber tertulis yang ada di India. Dan di Indonesia pun tidak ada bentuk peringatan berupa prasasti. Selain itu, suatu kolonialisasi selalu disertai oleh pemindahan segala unsur masyarakat dari tanah asal. Misalnya, sistem kasta, kerajinan, bentuk rumah, tata kota, bahasa dan pergaulan. Dalam kenyataannya, apa yang terdapat di Idonesia berbeda dengan yang terdapat di India.[5]

Mengingat sifat dan unsur-unsur budaya yang ada di Indonesia, Van Leur cenderung untuk memberikan peran penyebaran budaya india pada golongan Brahmana. Mereka datang atas undangan dari penguasa Indonesia. Budaya yang mereka bawa adalah golongan Brahmana. Dan dorongan terjadinya penyebaran tersebut adalah dari kontak perdagangan. Menurutnya, tidak hanya orang India yang datang ke Indonesia, tetapi juga orang Indonesia yang datang ke India. Terdorong untuk mendekatkan dirinya dan terdorong untuk meningkatkan keadaan negrinya maka dari itu mereka mengundang golongan Brahmana.

Pada dasarnya, kesaktian kaum Brahmana yang menyebabkan raja-raja nusantara menaruh hormat pada mereka. Mereka mendapatkan hormat di keraton dan juga menjadi pensehat kerajaan bukan hanya dalam bidang keagamaan, melainkan juga megenai pemerintahan, peradilan, perundang-undangan dan sebagainya.

c.       Hasil kebudayaan Hindu di  Nusantara

Seperti diketahui, masuknya pengaruh Hindu di Nusantara bisa dilihat dari peninggalan-peninggalannya. Yaitu berupa bangunan, alat-alat ritual, peralatan rumah tangga, yang kesemuanya bercorak Hindu  mirip seperti apa yang ada di India. Beberapa produk kebudayaan hasil kebudayaan Hindu sebagai berikut:

1.      Candi

Candi merupakan bangunan yang dalam agama Hindu dipakai untuk ritual memuliakan orang yang wafat khususs untuk para raja dan orang terkemuka. Setiap daerah, candi memiliki berbagai macam ciri khas.[6]

2.      Petung Dewa

Seperti yang sudah dketahui dari candi, untuk raja yang telah bersatu kembali dengan dewa penitisnya, dibuatkan sebuah patung, patung ini menjasi arca induk dalam candi. Biasanya sebuah candi memuat berbagai buah patung dewa-dewa lainnya. Dengan demikian, seni pahat patung berhubungan dengan dewa-dewa lainnya.[7]

3.      Seni ukir

Hasil-hasil seni pahat ukir initerutama sekali berupa hiasan-hiasan pengisibidang pada dinding candi. Yang menjadi pola hiasan ialah mahluk ajaib dan tumbuh-tumbuhan. Diantara mahluk-mahluk ajaib itu yang selalu terpancang pada ambang atas pintu atau relung adalah kepala kala, yang juga disebut Banaspati (raja Hutan).[8]

4.      Barang-barang logam

Banyak sekali arca-arca yang terbuat dari logam, sebagian besar terbuat dari perunggu, ada juga yang terbuat dari emas, dari perak, dan ada juga perunggu berlapis emas. Pada umumnya arca-arca logam ini yang berukuran kecil. Maka tentunya arca-arca ini dipakai untuk pemujaan-pemujaan dirumah.[9]

5.      Kesusastraan

Dari peninggalan-peninggalan yang lain, peninggalan berupa kesusastraan merupakan yang paling banyak. Dari zaman purba, telah sampai kepada kita sejumlah besar hasil kesusastraan (lebih dari 1000 Nasakah). Yang dapat memberi gambaran betapa tingginya seni sastra kala itu. Meskipun begitu, benda seperti prasasti-prasasti yang terbuat dari batu maupul logam, meskipun dintaranya ada yang digubah dalam bahasa yang sangat indah dan dalam bentuk syair yang betul-betul berupa susastra.[10]



Sumber :

Marwati djoened poesponegoro dan nugroho notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia II : zaman kuno Edisi pemutakhiran (Jakarta : Balai pustaka 2008).

Soekmono, R., Pengantar sejarah kebudayaan Indonesia 1, (Yogyakarta, penerbit Kanisius: 1981).

                            Pengantar sejarah kebudayaan Indonesia 2, (Yogyakarta, penerbit Kanisius: 1990).






[1] R.Soekmono, Pengantar sejarah kebudayaan Indonesia 1, (Yogyakarta, penerbit Kanisius: 1981). H.81
[2] Ibid. H.82
[3] Marwati djoened poesponegoro dan nugroho notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia II : zaman kuno Edisi pemutakhiran (Jakarta : Balai pustaka 2008). H. 27-28
[4] Ibid. H. 29
[5] Ibid. H. 31
[6] R. Soekmono, Pengantar sejarah kebudayaan Indonesia 2, (Yogyakarta, penerbit Kanisius: 1990). H. 81-92
[7] Ibid. H. 92-99
[8] Ibid. H. 100
[9] Ibid. H. 102
[10] Ibid. H. 104

Tidak ada komentar:

Posting Komentar