Selasa, 14 April 2015

Fana, Baqa dan Itihad

Pendahuluan
Ajaran mistik Islam atau tasawuf adalah bertujuan untuk mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Allah Swt yang termanifestasi dalam seluruh gerak dan tingkah laku. Tasawuf atau sufisme adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan diaoloq antara roh manusia dengan Tuhan.
Keinginan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan secara langsung serta keberhasilan berhubungan dengan-Nya adalah merupakan tujuan utama bagi setiap ibadah melalui berbagai keadaan (hal) dan tahapan (maqamat) para sufi melakukan berbagai macam amalan dan latihan, sehingga mereka mencapai makrifat. Pada tingkat makrifat itu mereka mengenal Tuhan dengan rapat melalui hati. Sedemikian terbimbing dan teranugerahinya ia, sehingga sang sufi sangat berharap bisa mereguk epercik ke-baqa-an, melalui peleburan diri (fanah) ke dalam kesadaran berabadi dalam Tuhan (baqa).
Pada tingkat fana dan baqa,seorang sufi merasa telah bersatu dengan Tuhan yang disebut ittihad, sebagai tingkat terakhir atau puncak perjalanan yang dilaluinya.
1. Pengertian Fana dan Baqa
Secara bahasa Al fana’ berasal dari kata فني - یفني yang berarti meninggal, binasa, kehilangan eksistensi, menjadi nol. Sementara AlBaqa berasal dari kata بقي - یبقي yang berarti tetap, sisa, terus ada. Kalabazi mendefinisikan fana’ sebagai berikut “al fana’ adalah hilangnya segala eksistensi, tidak ada satu eksistensipun pada dirinya, sehingga tidak ada lagi perbedaan, antara satu eksistensi dengan lainnya, semuanya menyatu bersama zat yang menjadi muara peleburan tersebut (zat Allah)”. Keterangan Kalabazi tersebut kemudian diuraikan oleh Ahmad Muhammad Banafi sebagai berikut: “Yang dimaksud dengan hilangnya keinginan adalah melepaskan keinginan, syahwat, termasuk di dalamnya kenikmatan materi untuk berpaling kepada Allah taala, tanpa dilandasi oleh keinginan untuk memperoleh manfaat atau menolak mudarat sama sekali”
Kemudian mengenai ketidakmampuan membedakan segala sesuatu Banafi mengatakan : “Makna hilangnya kemampuan untuk membedakan ditafsirkan ulama-ulama sufi sebagai berubahnya segala perbuatan menjadi sesuai dan sejalan dengan Al Haq, sehingga Al Haq hanya mengalihkan tindakannya kepada hal-hal yang sesuai dengan-Nya dan tidak menyaksikan sama sekali hal-hal yang bertentangandengan-Nya.” Menurut Al Busthami dan Junaid, al Fana’ adalah ’Fana bagi sufi adalah karakteristik pencapaian paling khusus, manifestasi perasaan yang menggelora, jalan menuju ma’rifah dan mahabbah, ia merupakan dasar untuk bersatu dengan Tuhan dan hanyut di dalam Nya”.
Jadi, Fana dalam istilah tasawwuf adalah seorang sufi mengharapkan kematian sebelum kematiannya datang. Maksudnya adalah mematikan diri dari pengaruh dunia sehingga yang tersisa hidup di dalam dirinya hanyalah Tuhan semata. Setelah mengalami ke-fana-an maka tiadalah yang tinggal (tersisa) dalam diri seorang sufi kecuali sesuatu yang hakiki dan sesuatu yang abadi dibalik segala penampilan luaran itulah baqa. Olehnya itu kedua istilah ini tidak dapat dipisahkan yang merupakan kembar dua.
Bagi Al Busthami untuk memperoleh pengalaman fana’ harus melalui beberapa fase. Pertama-tama Ia harus menghilangkan segala sesuatu yang berhubungan dengan fenomena duniawi. Kemudian dilanjutkan dengan upaya untuk melenyapkan segala perasaan yang berhubungan dengan kehidupan akhirat. Dan fase terakhir adalah jika benar-benar telah kehilangan pengamatan secara total. Pada saat itu ia tidak lagi menyadari apa yang dia lakukan.
2. Pengertian Ittihad
Ittihad berarti persatuan dan dalam istilah tasawwuf berarti satu tingkatan di mana seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan. Suatu tingkatan di mana yang mencintai dan dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan kata-kata: hai aku. Dari dua wujud ini dalam ittihad telah menyatu sehingga sulit membedakannya. Dengan tercapainya fana dan baqa sampailah seorang sufi pada tingkat yang tertinggi yaitu ittihad, dimana terjadi penyatuan antara seorang hamba dengan Tuhan.
Dalam sejarah perkembangan Tassawuf, Bayazid dipandang sebagai pembawa arah timbulnya aliran kesatuan wujud, menurutnya jiwa mnusia adalah Nur Ilahi “Aku”nya Manusia itu adalah pancaran dari Yang Maha Esa. Barang siapa yang mampu membebaskan diri dari alam lahiriah ini, atau mampu meniadakan pribadinya dari kesadarannya, maka Ia akan memperoleh jalan kembali menuju sumber asalnya. Ia akan menyatu padu pada yang tunggal, yang dilihat dan dirasakan hanya bsatu. Keadaan yang seperti itulah yang disebut ittihad.
Dari pengalaman ittihad Abu Yazid pernah berkata berkata : Suatu pengetahuan mempunyai pengaruh daya menghapus, esensinya menghilang oleh esensi yang lain, jejak-jejaknya musnah oleh jejak yang lain. selama tiga puluh tahun Allah telah menjadi cerminku. Tetapi sekarang diriku telah menjadi cerminku sendiri, bahkan ia adalah Tuhan yang berbicara dengan menggunakan lidahku, karena diriku sendiri telah lenyap. Diriku keluar sebagaimana gerakan ular tangan yang terbalut (maksudnya sangat tidak terasa). Dan kemudian tampak teranglah aku, sehingga apa yang aku saksikan adalah: bahwa telah terjadi kesatuan antara pencita dan yang dicinta dan cinta itu sendiri, ketiganya adalah satu. Betapa sungguh besar aku.
3. Kontroversi fana, baqa, dan ittihad
Islam adalah agama yang mengandung tiga ajaran dasar, Tauhid yang dibahas dalam bidang Ushuluddin, Syariat yang dibahas dalam Fiqih dan terkhir dalah Akhlak yang dibahas dalam ilmu Tasawwuf.
Ulama fiqh-lah yang banyak menentang ajaran fana, baqa dan ittihad ini, karena menurut mereka ajaran seperti ini tidak sesuai dengan syariat islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw. Bahkan ucapan-ucapan yang diucapkan oleh penganut paham ini diartikan sebagai syirik.
Seperti ketika Abu yazid sampai pada ittihad, banyak mengeluarkan celotehan mistis (syatahat) yang menimbulkan kontroversi seperti Subhani (maha suci aku), Hai Aku Yang Satu, akulah tuhanmu. Atas dasar inilah para ulama syariat mengartikannya sebagai syirik, karena seakan menyamakan atau mensejajarkan dirinya dengan tuhan.
kontroversi sekitar faham fana’, baqa’ dan ittihād dalam tasawuf terus berkembang hingga sekarang. Ibrahim Madkur melihat bahwa faham ittihād ini adalah sesuatu yang paling rumit di dalam tasawuf Islam, sehingga para pengamat tasawuf dalam menilainya bisa dibagi menjadi dua kelompok, ada yang menerimanya tetapi juga ada yang menolaknya. Selanjutnya Madkur dengan tegas mengatakan bahwa faham ittihād ini sebenarnya tidak bersumber dari Islam. Katanya, al-Qur’an dengan ungkapan yang tegas, secara mutlak, tidak memberi tempat pada adanya faham ittihād. Hanya saja, para pendukungnya tidak kehilangan akal untuk melandasinya dengan ayat al-Qur’an dan hadis Nabi.
Penilaian serupa juga dikemukakan oleh Aboebakar Atjeh. Dengan nada yang agak moderat, beliau mengatakan : Sebenarnya tidak ada sesuatu petunjuk pun dalam Qur’an yang dengan tegas-tegas menerangkan ada ittihād itu. Ada beberapa ayat qur’an yang menerangkan keadaan akrabnya Tuhan dengan hamba- Nya, seperti yang disebutkan dalam Ayat berikut: “Kami lebih dekat padanya dari pada kedua urat leharnya” “Ia (Tuhan) selalu bersama kamu, dimanapun kamu berada” Selanjutnya ada sebuah hadis qudsi yang berbunyi: “Mutaqqarribun itu tidaklah dapat mendekati Aku dengan hanya menunaikan segala ibadah yang perlu, yang sudah diwajibkan kepadanya, tetapi seorang hamba-Ku yang senantiasa mengerjakan segala ibadat-ibadat sunnat, dapatlah mendekati Daku, sehinga ia mencintai Daku dan Aku mencintai dia, maka pendengaran-Ku menjadi pendengarannya dan penglihatan-Ku menjadi matanya untuk melihatnya”.
4. Riwayat Hidup Abu Yazid Al-Bustami
Abu Yazid al-Bustami adalah seorang Shufi termuka abad III Hijriyah. ia disebut sebagai sufi yang memperkenalkan tentang konsep al-Fana’, al-Baqa’, dan al-Ittihad dalam dunia tasawwuf. Abu Yazid Al-Bustami, nama lengkapnya adalah Abu Yazid bin Isa bin Syurusan al-Bustami. Beliau dilahirkan sekitar tahun 200 H/814 M di Bustam, salah satu desa di daerah Qumais, bagian Timur Laut Persia. Nama kecilnya adalah Taifur. Kakeknya bernama Surusyan, seorang penganut agama Zoroaster, kemudian masuk dan memeluk agama Islam di Bustam. Keluarga Abu Yazid termasuk berada di daerahnya, tetapi ia lebih memilih hidup sederhana.
Sejak dalam kandungan ibunya, konon kabarnya Abu Yazid telah mempunyai kelainan. Ibunya berkata bahwa ketika dalam perutnya, Abu Yazid akan memberontak sehingga ibunya muntah kalau menyantap makanan yang diragukan kehalalannya.
Ketika masih kecil, Abu Yazid Al-Bustami sudah gemar belajar berbagai ilmu pengetahuan. Sebelum mempelajari ilmu tasawuf, Abu Yazid Al-Bustami mempelajari ilmu tasawuf, dia belajar agama islam terutama dalam bidang fiqh menurut mazhab Hanafi.
Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memakan waktu puluhan tahun. Sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu menjadi seorang fakih dari Mazhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali As-Sindi. Ia mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat, dan ilmu lainnya kepada Abu Yazid. Hanya saja ajaran sufi Abu Yazid tidak ditemukan dalam buku. Dalam menjalani kehidupan zuhud selama 13 tahun, Abu Yazid mengembara digurun-gurun pasir di Syam, hanya dengan tidur, makan, dan minum yang sedikit sekali.
Pengalamannya tentang fana diperolehnya dari Abu ali al-Sindi yang terutama perkataan beliau yang susah ditangkap oleh mereka yang awam, membuat sosok abu Yazid mendapatkan perlwanan dari ulama’-ulama. namun dari perjalalannya dia mempunyai aksetisme yang keras, sehingga ia dimasukkan dalam daftar kelompok Malamatiyat , yaitu suatu kelompok yang memilki kecenderungan pada kalangan sufi yang bersikap merendahkan diri, menghinakan, serta mencercahnya dalam rangka memurnikan pendekatan dan hubunganya dengan Tuhan. Abu yazid pernah ditanya, Bagaimana carannya memperoleh Makrifat? “...dengan perut kosong dan pakaian yang compang camping. Ada yang mengatakan bahwa faham fana dipengaruhi oleh ajaran India.
Ketika Abu Yazid telah fana dan mencapai baqa maka dari mulutnya keluarlah kata-kata yang ganjil, yang jika tidak hati-hati memahami akan menimbulkan kesan seolah-olah Abu Yazid mengaku dirinya sebagai tuhan padahal sesungguhnya ia tetap manuisia biasa, yaitu manusia yang mengalami pengalaman bathin bersatu dengan tuhan. Diantara ucapan ganjilnya ialah: “tidak ada tuhan melainkan saya. Sembahlah saya, amat sucilah saya, alngkah besarnya kuasaku.” Selanjutnya Abu Yazid Mengatakan “Tidak ada tuhan selain aku, maka sembahlah aku, Maha Suci Aku, Maha Besar Aku.”
Abu Yazid Meninggal pada usia tuanya di Bustham pada tahun 261 H/874 M. Beliau adalah salah seorang Sultan Aulia, yang merupakan salah satu Syekh yang ada di silsilah dalam thariqah Sadziliyah.
Penutup
Al Fana’ adalah leburnya sifat-sifat dan motivasi-motivasi subyektif manusia dalam upayanya untuk mendekatkan diri pada Allah.
Baqa’ adalah peneguhan sifat-sifat yang baik atau sifat-sifat ketuhanan pada diri hamba, yang terjadi bersamaan dengan proses Fana dan Al fana’ dan Al Baqa’ terjadi melalui aktifitas-aktifitas ibadah setelah melalui terlebih dahulu fase-fase penyucian diri (maqamat).
Seorang hamba mencapai tataran Fana’ dan Baqa’ ketika ia tidak lagi memperhatikan eksistensi selain Allah. Implikasinya semua perilaku dan tindak tanduknya benar-benar menunjukkan kesesuaian dengan sifat-sifat/ketentuan Allah.
banyak menentang ajaran fana, baqa dan ittihad ini, karena menurut mereka ajaran seperti ini tidak sesuai dengan syariat islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw. Bahkan ucapan-ucapan yang diucapkan oleh penganut paham ini diartikan sebagai syirik.
Tokoh penggagas paham fana, baqa dan ijtihad ini yaitu Abu Yazid Al-Bustami, yang dilahirkan sekitar tahun 200 H/814 M di Bustam. Keluarga Abu Yazid termasuk berada di daerahnya, tetapi ia lebih memilih hidup sederhana. Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memakan waktu puluhan tahun. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali As-Sindi. Ia mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat, dan ilmu lainnya kepada Abu Yazid. Dalam menjalani kehidupan zuhud selama 13 tahun, Abu Yazid mengembara digurun-gurun pasir di Syam, hanya dengan tidur, makan, dan minum yang sedikit sekali.


Daftar Pustaka
Darajat,Zakiah Pengantar Ilmu Tassawuf (Jakarta: PTAIN Sumatera Utara)

Nasution,Harun Islam ditinjau dari berbagai aspek (Jakarta:1979)

Ahmadi Isa, Tokoh-tokoh Sufi, (Jakarta :PT.Raja Grafindo Persada,2000)

Atjeh, Aboebakar. Pengantar Sejarah Sufi & Tasawuf. Solo: Ramadhani, 1984.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar